Saturday, November 6, 2010

Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Pornografi Menurut Hukum Pidana Islam

 Oleh 
Rocky Marbun, S.H., M.H.
Hukum Islam telah banyak memberikan kontribusinya dalam hukum positif di Indonesia seperti misalnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006, Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat dan masih banyak lagi. 
Hal tersebut tidak terlepas daripada kenyataan yang ada di depan mata bahwa penduduk Indonesia mayoritas adalah beragama Islam. Sehingga memang diperlukan peraturan-peraturan yang mengatur kehidupan bagi umat Islam tanpa menafikkan umat agama lain.

Penggunaan Hukum Islam dalam pembangunan hukum nasional dapat dibenarkan secara filosofis, konstitusional, maupun dari segi kebijakkan umum pembangunan negara. Secara filosofis, sila Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan landasan kuat bagi pengguna hukum agama dalam hukum nasional. Secara konstitusional, ditegaskan bahwa Negara Republik Indonesia berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa; dan dalam kebijakkan negara, pembangunan hukum agama bagi pembinaan hukum nasional termuat dalam Wawasan Nusantara.[1]
Dalam rangka menjaga masyarakat dari dampak perzinaan maka Islam tidak hanya menggunakan senjata “pengasingan”, bahkan menjabarkan penyelesaian dan pencegahan secara ketat, luas dan dengan maksud untuk mengadakan perbaikkan.

Pada prinsipnya, pelaksaanan Hukum Pidana Islam dalam menanggulangi pornografi sepenuhnya berada pada Pemerintahan/Negara Islam. Dikarenakan tiada adanya pemerintahan tersebut maka bukan suatu kewajiban untuk melaksanakan Hukum Pidana Islam, namun melihat firman Allah swt pada Al Qur’an Surat Ali Imran ayat 110 yang berbunyi sebagai berikut :
Kamu adalah umat pilihan yang telah dilahirkan untuk seluruh manusia, karena kamu menyuruh mengerjakan kebajikan dan melarang mengerjakan kemungkaran, lagi pula kamu beriman kepada Allah
Q.S. Al Maidah ayat 44 :
Barangsiapa yang tidak memutuskan hukum menurut yang diturunkan Allah, maka mereka adalah orang-orang yang kafir
Q.S. Al Maidah ayat 45 :
Barangsiap yang tidak menghukum menurut yang diturunkan Allah, maka mereka orang-orang aniaya
Dan Q.S. Al Maidah ayat 47 :
Siapa yang tidak memutuskan hukum menurut yang diturunkan Allah, maka mereka adalah orang-orang yang fasik
Serta Q.S. Al Maidah ayat 50 :
Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki? Dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada hukum Allah bagi orang-orang yang yakin?”
Sehingga menurut penulis, berdasarkan ayat tersebut diatas maka umat Islam dianjurkan dan diwajibkan untuk menyampaikan kebenaran yang berasal dari Allah dan Rasul-Nya termasuk menyampaikan tentang hukum-hukum Allah. Begitu juga pada saat kita memandang masalah pornografi ini, secara tegas rasanya tidak mungkin hukum pidana Islam masuk sebagai hukum positif di Indonesia namun paling tidak kita dapat menerapkan asas-asasnya ke dalam hukum positif di Indonesia.
Kejahatan bukanlah sesuatu yang ada sendirinya pada diri manusia. Kejahatan bukan pula profesi yang diusahakan oleh manusia. Juga bukan penyakit yang menimpa manusia. Kejahatan (jarimah) adalah tindakan melanggar peraturan, yang mengatur perbuatan-perbuatan manusia dalam hubungannya dengan Rabbnya, dengan dirinya sendiri, dan dengan manusia yang lain.
Perintah dan larangan tidak akan berarti sama sekali jika tidak ada sanksi bagi orang yang melanggarnya. Syariat Islam menjelaskan bahwa bagi pelanggar akan dikenai sanksi di akhirat dan di dunia.[2]
Jarimah atau kejahatan itu dapat dibagi menjadi beberapa macam dan jenis sesuai dengan aspek yang ditonjolkan. Pada umumnya, para ulama membagi jarimah atau kejahatan berdasarkan aspek berat dan ringannya hukuman serta ditegaskan atau tidaknya oleh Al Qur’an atau Al Hadits. Atas dasar ini, membaginya menjadi tiga macam, yaitu :
1.             Jarimah atau kejahatan Hudud meliputi : perzinaan, qadzaf (menuduh zina), minum khamr, pencurian, perampokan, pemberontakkan dan murtad.
2.              Jarimah atau kejahatan qishash/diyat, meliputi : pembunuhan sengaja, pembunuhan semi sengaja, pembunuhan karena kesalahan, pelukaan sengaja dan pelukaan semi sengaja.
3.              Jarimah atau kejahatan ta’zir suatu kejahatan yang belum ada ketentuan, baik di Al-Qur’an maupun di Sunnah, baik dari segi ketentuan dan/atau segi sanksinya[3]. Namun kejahatan tersebut menyangkut pada kemashlahatan umat, sehingga para ulama sepakat akan adanya kategori Kejahatan Ta’zir.
Mengenai pengelompokkan jenis kejahatan seperti tersebut berdasarkan dari beberapa referensi yang penulis baca ternyata terdapat perbedaan namun perbedaan tersebut tidak terlalu mencolok. Karena hanya berbeda dalam hal penamaan saja.
Dalam penulisan thesis ini penulis akan lebih berkonsentrasi pada pembahasan mengenai Jarimah Ta’zir.  Secara bahasa, ta’zir bermakna al-man’u (pencegahan­­­). Menurut istilah, ta’zir bermakna at-ta’dib (pendidikan) dan at-tankil (pengekangan). Adapun definisi ta’zir secara syar’i yang digali dari nash-nash adalah yang menerangkan tentang sanksi-sanksi yang bersifat edukatif, adalah sanksi yang ditetapkan atas tindakan maksiat yang didalamnya tidak ada had dan kifarat.[4]
Termasuk Jarimah atau kejahatan Ta’zir adalah percobaan perzinahan atau pemerkosaan dan perbuatan yang mendekati zina, seperti mencium dan meraba-raba, meskipun dilakukan dengan tidak ada paksaan karena Hukum Islam tidak memandangnya sebagai pelanggaran terhadap hak perseorangan. Akan tetapi juga hal itu dipandang sebagai pelanggaran terhadap hak masyarakat. Jelasnya bukan delik aduan melainkan delik biasa.[5]
Jenis-jenis sanksi dalam ta’zir adalah :
1.             Hukuman mati (tidak semua fuqaha setuju);
2.             Hukuman dera/jilid;
3.             Hukuman penjara ( kurungan );
4.             Pengasingan;
5.             Hukuman Salib;
6.             Hukuman Pengucilan;
7.             Ancaman, teguran dan peringatan;
8.             Denda.[6]
9.             Dicela, misalnya dipecat dari jabatannya dan diumumkan kesalahannya.[7]
Sanksi di dunia dilaksanakan oleh imam (khalifah) atau orang yang mewakilinya. Yaitu diselenggarakan oleh negara dengan cara menegakkan hudud Allah, dan melaksanakan hukum-hukum jinayat, ta’zir dan mukhalafat. Sanksi di dunia bagi pelaku dosa atas dosa yang dikerjakannya di dunia dapat menghapus sanksinya di akhirat. Hal itu karena, ‘uqubat’ (sanksi) berfungsi sebagai zawajir (pencegah) dan jawabir (penebus). Sanksi akhirat bagi seorang muslim akan gugur oleh sanksi yang dijatuhkan oleh negara di dunia.
Dalilnya adalah : Sabda Rasulullah saw :
Dari ‘Ubadah bin Shamit ra: “Kami bersama Rasulullah saw dalam suatu majelis dan beliau bersabda,”Kalian telah membai’atku untuk tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu, tidak mencuri, tidak berzina, kemudian beliau membaca keseluruhan ayat tersebut: “Barangsiapa di antara kalian memenuhinya, maka pahalanya di sisi Allah, dan barangsiapa mendapatkan dari hal itu sesuatu maka sanksinya adalah kifarat (denda) baginya, dan barangsiapa mendapatkan dari hal itu sesuatu, maka Allah akan menutupinya, mungkin mengampuni atau (mungkin) mengazab.”
( HR. Bukhari )
Hadist ini menjelaskan bahwa sanksi dunia diperuntukkan untuk dosa tertentu, yakni sanksi yang dijatuhkan negara bagi pelaku dosa, dan ini akan menggugurkan sanksi akhirat.[8]
Maksud utama sanksi ta’zir adalah sebagai preventif dan represif serta kuratif (islah) dan edukatif. Oleh karena itu, maka tidak heran bila para ulama dalam hal sanksi ta’zir yang berupa penjara tidak memberikan batas waktu bagi lamanya penjara, melainkan batas yang mereka tentukan adalah sampai si terhukum bertobat sebagai pembersih dari dosa.[9]
Sanksi negara yang dijatuhkan atas dosa-dosa dan kejahatan merupakan satu-satunya metode untuk melaksanakan perintah dan larangan-Nya. Allah SWT mensyari’atkan hukum-hukum sekaligus mensyari’atkan hukum lain untuk melaksanakannya, yakni hukum-hukum uqubat. Allah juga mensyari’atkan hukum jilid dan rajam untuk melaksanakan hukuman bagi yang melanggar larangan Allah.[10]
 Menurut penulis, dalam pandangan Hukum Islam, bahwa perbuatan pornografi adalah termasuk ke perbuatan keji menuju perzinaan. Maka mereka sebagai pelaku hanya dikenakan sanksi yang tidak serupa dengan hukuman zina yaitu ta’zir yang sepenuhnya ditangani oleh seorang Hakim. Ta’zir dapat berupa penahanan atau dalam bentuk di dera (cambuk).
Ta’zir telah disyari’atkan bagi setiap pelanggaran yang syar’i yang tidak ada ketetapan ukuran sanksinya oleh syar’i. Semua yang belum ditetapkan kadar sanksinya, maka sanksinya diserahkan kepada penguasa untuk menetapkan jenis sanksinya. Sanksi semacam inilah yang disebut dengan ta’zir.[11]
Apabila ta’zir ini berupa hukum dera maka deraannya harus tidak lebih dari sepuluh kali deraan. Ini berdasarkan hadits: “Tidak boleh didera lebih dari sepuluh kali, kecuali melanggar batas-batas yang ditentukan Allah[12]
(H.R. Bukhari, Muslim dan Abu daud)
Sanksi ta’zir ditetapkan sesuai dengan tingkat kejahatannya. Pelaku kejahatan yang kecil tidak boleh dikenai sanksi melampaui batas, agar tidak termasuk mendzalimi pelaku dosa tersebut.
Sebagian fuqaha telah menetapkan bahwa ta’zir tidak boleh melebihi hudud. Mereka berpendapat, bahwa ta’zir tidak boleh melebihi kadar sanksi had yang dikenakan pada jenis kemaksiatan. Mereka berdalil dengan hadits yang diriwayatkan oleh Abi Bardah ra dari Nabi saw, bahwa beliau saw bersabda: “Barangsiapa melebihi had pada selain had (hudud), maka ia termasuk kaum yang melampaui batas[13]
Namun, bila ada seorang yang datang langsung menghadap, mengakui serta menyesali perbuatan semacam itu maka seorang Hakim cukup menuntun dan menasehatinya agar bertobat dan memohon ampun kepada Allah SWT, sebagaimana yang diceritakan oleh Ibnu Mas’ud ra:
Seorang laki-laki telah datang menghadap Rasulullah SAW seraya berkata: “Wahai Rasulullah, aku telah menggumuli seorang wanita dipinggiran kota. Aku menggumulinya namun tidak kucampuri. Inilah aku, datang mengakui, maka hukumilah aku!” Umar bin Khattab kemudian menanggapinya,”Allah akan memaafkanmu apabila kamu hentikan perbuatanmu. Rasulullah tetap diam tidak menanggapi laki-laki itu. Laki-laki itu kemudian meninggalkan Beliau. Kemuadian Rasulullah menyuruh seorang jama’ah untuk membuntutinya dan membacakan firman Allah SWT: “Dan dirikanlah shalat itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada sebahagian permulaan dari pada malam. Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk. Itulah peringatan bagi orang yang ingat. (Q.S. Hud: 114)” Lantas berdirilah salah seorang diantara jama’ah seraya bertanya,”Wahai, Rasulullah. Apakah yang demikian hanya untuk orang tadi?” Rasulullah kemudia menjawab,”Bahkan untuk seluruh umat manusia.”
(H.R. Muslim, Abu Daud, Tirmidzi dan Nasa’i)
Sabda Rasulullah saw :
Hindarkan hudud dalam keadaan ragu, lebih baik salah membebaskan daripada salah dalam menghukum.[14]
Sabda Rasulullah saw :
Dari Abu Hurairah ra, “Rasulullah bersabda: “Hindarilah hukuman selama kamu masih menemukan alasan untuk menghindarinya
(HR. Ibnu Majah)
Hadits tersebut diatas pada prinsipnya diperuntukkan untuk kejahatan hudud namun dapat dijadikan dasar bagi Hakim untuk memutuskan hukuman bagi pelaku kejahatan ta’zir.


[1] Jaenal Aripin dan M. Arskal Salim GP, ed., Pidana Islam di Indonesia. Peluang, Prospek dan Tantangan, ( Jakarta : Pustaka Fidaus, 2001 ), hlm. 21.
[2] Abdurrahman Al-Maliki dan Ahmad Ad-Da’ur, Sistem Sanksi dan Hukum Pembuktian Dalam Islam  (Nidzam al-uqubat Ahkam al-Bayyinat), diterjemahkan oleh Syamsuddin Ramadlan, (Bogor : Pustaka Thariqul Izzah, 2004), hlm. 4 .
[3] H.A. Djazali, Fiqh Jinayah, (Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 2000), hlm. 2-3.
[4] Abdurrahman Al-Maliki dan Ahmad Ad-Da’ur, Op. cit., hlm. 219
[5] H.A. Djazali, Op. cit.,  hal.181
[6] Topo Santoso, Menggagas Hukum Pidana Islam, Cet II, (Bandung : Asy Syaamil Press & Grafika, 2000), hlm. 188.
[7] H.A. Djazali, Op.cit., hlm. 215.
[8] Abdurrahman Al-Maliki dan Ahmad Ad-Da’ur, Op. cit., hlm. 6
[9] H.A. Djazali, Op. cit., hal. 191
[10] Abdurrahman Al-Maliki dan Ahmad Ad-Da’ur, Op. cit., hlm. 7-8
[11] Ibid, hlm. 220
[12] Abul A’la Al-Maududi, Kejamkah Hukum Islam, Cet. III, (Jakarta : Gema Insani Press 1995)
[13] Abdurrahman Al-Maliki dan Ahmad Ad-Da’ur, Op. cit., hlm. 222-223.
[14] Topo Santoso, Op. cit.,hlm. 120.

No comments:

Post a Comment