Saturday, November 6, 2010

CERDAS & TAKTIS MENGHADAPI KASUS HUKUM

Tidak seorang pun dapat dikenakan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan, selain atas perintah tertulis oleh kekuasaan yang sah dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang (Pasal 7 Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman).
      Sejak awal keberadaannya, hukum acara pidana diperuntukkan bagi perlindungan masyarakat terhadap kesewenang-wenangan penguasa. Oleh karena itu, sering dikatakan bahwa fungsi dari aturan hukum acara pidana adalah membatasi kekuasaan negara dalam bertindak terhadap warga masyarakat yang terlibat dalam proses peradilan pidana. Ketentuan-ketentuan dalam hukum acara pidana antara lain berfungsi  melindungi para tersangka dan terdakwa, terhadap tindakan aparat penegak hukum dalam menjalankan fungsi penegakan hukum.

      Salah satu perkembangan yang menjadi isu internasional adalah penerapan hak- hak asasi manusia (HAM), yang lazimnya berkaitan erat dengan proses peradilan pidana atau penyalahgunaan kekuasaan dari suatu rejim pemerintahan yang tidak lagi patuh atau dibatasi oleh hukum. Selain kekuasaan yang tak terbatas, yang juga menjadi perhatian adalah proses peradilan pidana dimana pun di dunia ini sering menjadi sorotan, baik oleh negara maju, negara berkembang maupun negara yang menganut prinsip-prinsip hukum modern, yaitu hukum yang selalu mengikuti perkembangan masyarakat dan menghargai, serta menjunjung tinggi harkat kemanusiaan.
      Ketentuan sebagaimana disebutkan dalam pasal Pasal 7 Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman merupakan suatu penghargaan yang tinggi terhadap HAM bagi setiap warga negara, baik warga negara Indonesia maupun bagi warga negara asing yang berada di wilayah hukum Indonesia, yang di duga atau disangkakan melakukan suatu tindak pidana.
      Hukum acara pidana menjadi pegangan bagi polisi, jaksa, hakim, bahkan termasuk penasihat hukum dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan, penangkapan, penahanan, dan pemeriksaan di pengadilan. Para pelaksana hukum ini, dalam melaksanakan tugasnya, tidak boleh menyimpang dari asas-asas hukum acara pidana. Oleh karena itu, diperlukan pengawasan dan pembinaan bagi para aparat penegak hukum dalam menjalankan fungsinya, untuk terwujudnya penegakan hukum di Indonesia.
      Pengawasan tidak hanya dari internal institusi yang bersangkutan, tetapi juga dapat dilakukan oleh masyarakat, yang dalam suatu sistem peradilan pidana terpadu, masyarakat merupakan unsur yang menjadi satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Berkaitan dengan hal ini, pembekalan dan sosialisasi kepada masyarakat terhadap hak-hak masyarakat di dalam suatu proses pemeriksaan, khususnya dalam pemeriksaan pendahuluan, yaitu dalam pemeriksaan tingkat kepolisian, menjadi kewajiban.
      Sebagaimana diungkapkan oleh Prof. Soerjono Soekamto, yang menegaskan bahwa masalah pokok dari penegakan hukum sebenarnya terletak pada faktor-faktor yang mungkin mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut memiliki arti netral, sehingga dampak positif atau negatifnya terletak pada isi faktor-faktor tersebut. Adapun faktor-faktor tersebut adalah faktor hukum itu sendiri, faktor dari penegak hukum, faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum, faktor masyarakat, serta faktor budaya.
      Dalam pembahasan yang sama, Satjipto Rahardjo, menyebutkan bahwa masyarakat atau warga negara merupakan sasaran dari penerapan suatu produk hukum atau peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu,  sudah sepantasnya dan merupakan suatu kewajiban bagi pemerintah melakukan sosialisasi setiap produk perundang-undangan kepada masyarakat. Hal tersebutlah yang melatarbelakangi penulisan buku ini, bahwa adalah hak dari masyarakat untuk mengetahui hak-hak nya dalam proses pemeriksaan, khususnya di tingkat kepolisian, dan lebih khusus lagi bagi masyarakat yang tersangkut permasalahan tindak pidana dan menjalani pemeriksaan tersebut.
      Dalam pemeriksaan pendahuluan (pemeriksaan di tingkat kepolisian), banyak masyarakat yang tidak mengetahui apa yang harusnya dilakukan. Bahkan, kadang-kadang  kesan bingung dan panik sering muncul, baik dari yang diperiksa maupun dari pihak keluarga. Kurangnya pengetahuan akan prosedural pemeriksaan dan tidak mengetahui hak-haknya sebagai pihak yang diperiksa menyebabkan kadang-kadang terjadi pelanggaran hak asasi sebagai manusia.
      Pada prinsipnya, seseorang yang masuk dalam pemeriksaan kepolisian, terutama bagi yang diduga melakukan suatu tindak pidana, maka harus dipahami benar bahwa ia belum bisa atau dapat dikatakan sebagai orang yang bersalah hingga keluarnya putusan tetap dari pengadilan. Sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 8 Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang menyebutkan
Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan/atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap.” Hal ini  juga di tegaskan dalam Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia pada Pasal 18 ayat (1), yang menyebutkan “Setiap orang yang ditangkap, ditahan, dan dituntut karena disangka melakukan sesuatu tindak pidana berhak dianggap tidak bersalah, sampai dibuktikan kesalahannya secara sah dalam suatu sidang pengadilan dan diberikan segala jaminan hukum yang diperlukan untuk pembelaannya, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”
      Melihat kedua pasal tersebut, setiap orang yang mengalami pemeriksaan di tingkat kepolisian adalah bukan orang yang bersalah atau bukan sebagai hukuman. Namun, opini yang sengaja dimunculkan dalam pemeriksaan adalah bahwa orang tersebut bersalah. Hal ini karena dari seluruh rangkaian tugas penegakan hukum dapat diketahui bahwa tugas kepolisian bukan merupakan tugas yang ringan. Dengan segala keterbatasan, keterampilan dalam melakukan penyidikan masih tetap harus ditingkatkan guna “mengejar” modus kriminalitas yang semakin kompleks.
      Sering terjadi keluhan dalam masyarakat bahwa tugas yang dilakukan oleh kepolisian dalam rangka penegakan hukum, sering melanggar aturan-aturan yang telah ditentukan. Aparat kepolisian dianggap tidak menghormati hak-hak yang dimiliki tersangka dan sering melakukan kekerasan dalam memeriksa tersangka. Kekuasaan yang dimiliki oleh penyidik masih menjadi faktor penentu dalam melakukan penegakan hukum, sehingga terdapat kecenderungan ketidakpercayaan pada lembaga kepolisian.
      Untuk mengantisipasi hal-hal yang berkaitan dengan penyimpangan perilaku aparat penegak hukum tersebut, masyarakat harus mengetahui apa yang harusnya dilakukan dan bagaimana melakukan langkah-langkah antisipasi. Pada saat ini, secara praktis, dapat saja seseorang atau pihak keluarga yang diperiksa menyerahkan sepenuhya kepada kuasa hukum atau penasihat hukumnya (pengacara/advocat). Namun, ibarat aparat penegak hukum, bahwa tidak semua nya berjalan sesuai “rel” nya, setidaknya sedikit banyak pengetahuan akan ilmu hukum khususnya hukum acara pidana yang berkaitan dengan perlindungan hak-haknya, harus dipahami atau diketahui.

No comments:

Post a Comment