Saturday, November 6, 2010

Analisis Terhadap Pasal Ketentuan Pidana UU No 44 Tahun 2008 tentang Pornografi

Oleh:
Rocky Marbun, S.H., M.H. 
Pada tulisan ini, saya mencoba untuk memberikan masukan kepada masyarakat berkaitan dengan maraknya peredaran barang-barang pornografi, baik yang secara sadar dan tidak sadar, secara langsung atau tidak langsung, yang dibuat sendiri oleh seseorang, yang dituduhkan sebagai pelaku Pornografi, sehingga dapat dipahami akan ketentuan yang akan menjeratnya.
Dalam Pemidanaan, maka salah satu unsur yang harus dipenuhi adalah subyek hukum nya. Biasanya di dalam berbagai rumusan disebutkan dengan istilah “barangsiapa” atau “setiap orang”. Pada unsur “barangsiapa” memiliki cakupan yang lebi luas, tidak hanya manusia tapi juga bisa badan hukum. Sedangkan pada unsur “setiap orang” terbatas hanya kepada manusia sebagai subyek hukum.
Pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana selalu terkait dengan dapat tidaknya seseorang tersebut dimintakan pertanggungjawabannya. Sehingga unsur “setiap orang” harus mencerminkan bahwa pelaku adalah merupakan subyek hukum. Untuk dapat dianggap sebagai subyek hukum, maka harus ada beberapa kriteria menurut KUHP, antara lain:
a.              Belum dewasa atau di bawah 16 tahun
b.             Jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena penyakit
c.              Karena UU mendapat alasan pemaaf dan alasan penghapus pidana
Terkait dengan “belum dewasa” atau anak-anak, maka mengacu kepada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak pada Pasal 1 angka 1 yang menegaskan bahwa Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.
Sehingga bila terdapat pelaku Tindak Pidana Pornografi adalah anak-anak di bawah 18 Tahun, maka ketentuan pemidanaannya disesuaikan dengan UU Perlindungan Anak tersebut, karena berlaku asas hukum lex specialist derogat lex generalis.
Di dalam UU Pornografi terdapat 10 pasal yang merupakan pemidanaan bagi para Pelaku Tindak Pidana Pornografi. Dimana masing-masing pasal memuat ketentuan pidana penjara dan pidana denda.
Adapun ketentuan pidana tersebut dapat berupa pidana tunggal atau pidana kumulatif, artinya Hakim dapat saja menjatuhkan pidana penjara atau pidana denda ataupun pidana penjara dan pidana denda karena menggunakan frase “dan/atau”.
Adapun penjelasan pasal per pasal adalah sebagai berikut:

Pasal 29 :
Setiap orang yang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah).

Penjelasan & Komentar
Pasal tersebut merupakan ancaman pidana atau pemidanaan bagi setiap orang yang melanggar Pasal 4 ayat (1), dimana pasal tersebut menegaskan sebagai berikut:
“Setiap orang dilarang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi yang secara eksplisit memuat:
a.              Persenggamaan, termasuk persenggamaan yang menyimpang;
b.             Kekerasan seksual;
c.              Masturbasi atau onani;
d.             Ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan;
e.              Alat kelamin; atau
f.               Pornografi anak.”
Didalam ketentuan ini terlihat dengan jelas adanya penegasan berkaitan mengenai subyek hukum, yaitu “setiap orang” (unsur Subyektif). Sehingga kualifikasinya adalah manusia dan bukan badan hukum.
Berdasarkan ketentuan tersebut, maka perbuatan yang dilarang adalah:
a.              Memproduksi;
b.             Membuat;
c.              Memperbanyak;
d.             Menggandakan;
e.              Menyebarluaskan;
f.               Menyiarkan;
g.              Mengimpor;
h.              Mengekspor;
i.                Menawarkan;
j.               Memperjualbelikan;
k.             Menyewakan;
l.                Menyediakan;
Segala sesuatu yang memuat hal-hal yang bernuansa pornografi. Sedangkan yang dimaksud dengan konten pornografi adalah:
a.              Persenggamaan, termasuk persenggamaan yang menyimpang.
Yang dimaksud dengan menyimpang tersebut bukan hanya persenggamaan secara alamiah dan normal, namun dapat saja berupa persenggamaan atau aktivitas seksual lainnya dengan mayat, binatang, oral seks, anal seks, lesbian, dan homoseksual.
b.             Kekerasan seksual;
Yang dimaksud dengan ”kekerasan seksual” antara lain persenggamaan yang didahului dengan tindakan kekerasan (penganiayaan) atau mencabuli dengan paksaan atau pemerkosaan.
c.              Masturbasi atau onani;
Pengeluaran mani (sperma) tanpa melakukan sanggama.
d.             Ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan;
Yang dimaksud dengan “mengesankan ketelanjangan” adalah suatu kondisi seseorang yang menggunakan penutup tubuh, tetapi masih menampakkan alat kelamin secara eksplisit. Di dalam beberapa kamus disamakan artinya dengan polos, transparan, terbuka gamblang, dan bugil.
e.              Alat kelamin;
Alat pada tubuh manusia untuk mengadakan keturunan; kemaluan; genitalia
f.               Pornografi anak.
Pornografi anak adalah segala bentuk pornografi yang melibatkan anak atau yang melibatkan orang dewasa yang berperan atau bersikap seperti anak.
Ketentuan tersebut diatas, ditujukan bagi pembuat yang memiliki motif ekonomi. Karena di dalam penjelasan UU Pornografi disebutkan bahwa yang dimaksud dengan “membuat” adalah tidak termasuk untuk dirinya sendiri dan kepentingan sendiri.
Artinya bila seseorang hanya membuat untuk kepentingan pribadi, maka dikecualikan oleh ketentuan tersebut.
Namun, bila kemudian tersebar atau pada akhirnya dapat diketahui dan ditonton oleh orang lain, maka dia akan dianggap telah menyebarluaskan, walaupun tanpa sepengetahuan.
Hal tersebut didasarkan pada teori dolus eventualis sebagaimana telah dijelaskan di atas.

Pasal 30 :
Setiap orang yang menyediakan jasa pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).

Penjelasan & Komentar
Pasal 30 ini merupakan ancaman pemidanaan terhadap pelanggaran atas Pasal 4 ayat (2) UU Pornografi 2008. Adapun Pasal 4 ayat (2) tersebut menegaskan sebagai berikut:
“Setiap orang dilarang menyediakan jasa pornografi yang:
a.              Menyajikan secara eksplisit ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan;
b.             Menyajikan secara eksplisit alat kelamin;
c.              Mengeksploitasi atau memamerkan aktivitas seksual; atau
d.             Menawarkan atau mengiklankan, baik langsung maupun tidak langsung layanan seksual.”
Ketentuan ini diperuntukkan untuk orang-orang yang memiliki usaha yang bergerak dalam Jasa Pornografi baik perseroangan maupun dengan melalui badan hukum. Adapun modus operandinya adalah melalui pertunjukan langsung, televisi kabel, televisi teresterial, radio, telepon, internet, dan komunikasi elektronik lainnya serta surat kabar, majalah, dan barang cetakan lainnya.
Ketentuan di dalam Pasal 4 ayat (2) mewajibkan kepada Aparat Hukum untuk tidak sewenang-wenang dalam menegakan hukum, karena di dalam ketentuan tersebut yang harus dibuktikan adalah kontinyuitas dan motif ekonomi dari si pelaku dalam menyajikan hal-hal yang memuat unsur pornografi yang menjadi unsur utama.
Sehingga pelaku yang merupakan perseorangan yang tidak mencari nafkah dari Jasa Penyediaan Pornografi tidak dapat dikenakan pasal ini. Misalnya: Seorang yang mendownload film porno dari internet atau mencopy CD/DVD film porno kemudian mempertontokan kepada kawan-kawannya di depan umum, sangat lah tidak pas bila dijerat dengan pasal ini.

Pasal 31 :
Setiap orang yang meminjamkan atau mengunduh pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
Penjelasan & Komentar:
Pasal ini merupakan manifestasi dari semangat menjaga moral anak bangsa sebagaimana diamanatkan di dalam TAP MPR No.VI/2001 khusus mengatur tentang etika kehidupan berbangsa.
Bahwa seseorang dilarang meminjamkan kepada siapapun file atau data atau media apapun yang memuat konten pornografi, sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 4 ayat (1), atau meminjamkan mengunduh file.
Yang dimaksud dengan mengunduh adalah mendownload atau mengambil file atau data melalui jaringan internet atau dari media lain yang dapat menyebabkan berpindahnya file atau data.
Pada dasarnya istilah mengunduh atau mendownload dipergunakan untuk mengambil data dari internet dengan sistem download untuk dipindahkan ke media penyimpanan baik berupa Harddisk internal atau eksternal ataupun dalam bentuk Flashdisk USB.
Sedangkan perpindahan dari handphone ke handphone melalui fasilitas infrared, blutooth maupun MMS, pada saat ini juga termasuk ke dalam istilah mengunduh atau download. Bahkan menerima file atau data yang dikirim melalui e-mail pun juga termasuk mengunduh atau download. Hal tersebut dikarenakan didalam penjelasan resmi UU Pornografi 2008 menggunakan kalimat: “...........jaringan komunikasi lainnya.”
Sehingga UU Pornografi 2008 ini memiliki ruang lingkup yang sangat luas hingga sekecil-kecilnya.
Berkaitan dengan istilah “meminjamkan”, ini juga memuat permasalahan hukum yang baru. Terkait dengan kondisi apabila seseorang meminjamkan suatu media data kepada kawannya, yang tanpa ia sadari hal tersebut memuat Pornografi.
Maka Aparat Penegah Hukum harus mampu membuktikan bahwa hal tersebut dilakukan tanpa ketidaksengajaan, walaupun masih menutup kemungkinan untuk dijerat dengan menggunakan unsur culpa atau kelalaian. Namun demikian, bila benar-benar bisa dibuktikan bahwa ia benar-benar tidak sengaja meminjamkan, dalam proses Penyidikan, adalah bijaksana bila perkara tersebut tidak diteruskan.

Pasal 32 :
Setiap orang yang memperdengarkan, mempertontonkan, memanfaatkan,  memiliki, atau menyimpan produk pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).

Penjelasan & Komentar:
Pasal 6 UU Pornografi 2008 menegaskan sebagai berikut:
“Setiap orang dilarang memperdengarkan, mempertontonkan, memanfaatkan, memiliki, atau menyimpan produk pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), kecuali yang diberi kewenangan oleh peraturan perundang-undangan.”
Isi dari penjelasan dalam suatu UU terkadang dicantumkan “cukup jelas”, padahal bila kita bahas lebih jauh lagi masih banyak ketidakjelasan yang terungkap.
Kata “memperdengarkan” tidak ada penjelasan resmi mengenai kata tersebut. Justru mengakibatkan makna kata “memperdengarkan” menjadi dengan sempit yaitu diperdengarkan dan yang mendengar adalah khalayak ramai secara jelas. Padahal pengertian makna tersebut akan menjadi berbeda bila dipersempit lagi.
Misalkan: seseorang memutar CD/DVD porno di kamar kost nya. Tanpa dia sadari seorang anak SMP tanpa sengaja mendengar suara yang keluar dari CD/DVD Player nya, dan akhir menguping.
Bila illustrasi ini benar-benar terjadi, maka efek bahayanya justru lebih berbahaya dibandingkan dengan memperdengarkan di tempat umum. Yang dimaksud lebih berbahaya efeknya adalah secara psikologis akan menstimulus otak dan perilaku si Anak untuk mencari tahu dan berbuat sama.
Sehingga kata “memperdengarkan” akan menimbulkan perdebatan yang seharusnya tidak perlu.
Kata “mempertontonkan” pun jadi tidak jelas. Bahkan kata ini tidak membedakan mengenai tempat dimana pornografi tersebut dipertontonkan, sehingga menjadi bias. Apakah “mempertontonkan” pada kalangan terbatas, misalnya kawan-kawan atau tetangga, atau pada masyarakat umum? Mana yang dapat dijerat?
Permasalahan kedua, apakah yang dipertontonkan hanya media semata? Bagaimana bila si pelaku mempertontonkan dirinya sendiri dengan menggunakan pakaian yang mengesankan ketelanjangan.
Disinilah letak dimana Aparat Penegak Hukum menggunakan Asas Diskresi yang dimiliki nya untuk menafsirkan sendiri ketentuan tersebut. Namun memang secara logika normal kata “mempertontonkan” terkait erat dengan media informasi dan komunikasi.
Kata “memanfaatkan”, “memiliki”, dan “menyimpan” oleh UU Pornografi telah dibatasi pengertiannya melalui penjelasan resmi UU Pornografi 2008. Bahwa pihak-pihak yang telah diberikan kewenangan oleh peraturan perundang-undangan saja yang dapat memanfaatkan, memiliki, atau menyimpan barang pornografi. Diluar dari kewenangan tersebut adalah melanggar hukum.
Apakah selesai permasalahannya? Ternyata tidak. UU Pornografi 2008 ternyata melakukan pengecualian. Dengan menyebutkan bahwa larangan “memiliki atau menyimpan” tidak termasuk untuk dirinya sendiri dan kepentingan sendiri. Kalimat tersebut kembali menimbulkan bias hukum.
Seseorang boleh saja memiliki dan menyimpan barang pornografi dengan cacatan untuk “kepentingannya sendiri”.
Contoh kasus yang nyata adalah kasus Luna Maya-Ariel Peterpan-Cut Tari. Film-film tersebut adalah koleksi pribadi Ariel Peterpan, untuk kepentingan Ariel Peterpan pribadi bukan untuk konsumsi publik. Namun kenyataannya, sekarang beredar dan menjadi konsumsi publik.
Kalimat “untuk kepentingan sendiri” perlu kembali diperjelas. Akan lebih etis dan masuk akal, bila makna “untuk kepentingan sendiri” dikaitkan dengan pekerjaan dari orang yang memiliki dan menyimpan barang pornografi. Bila pekerjaannya tidak ada hubungannya dengan seksualitas maka adalah terlarang memiliki dan menyimpan barang pornografi tersebut.

Pasal 33 :
Setiap orang yang mendanai atau memfasilitasi perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp7.500.000.000,00 (tujuh miliar lima ratus juta rupiah).

Penjelasan & Komentar:
Di dalam Penjelasan resmi UU Pornografi 2008 dikatakan “cukup jelas”. Namun menurut Penulis, isi dari Pasal 7 tersebut harus diperjelas kembali.
Adapun Pasal 7 menegaskan sebagai berikut:
“Setiap orang dilarang mendanai atau memfasilitasi perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4.”
Maka pengertian setiap orang dalam hal ini menunjukkan kualifikasi yang jelas bahwa subyek hukum adalah manusia dan bukan badan hukum. Sehingga pendanaan yang dilakukan adalah perbuatan individu dan bukan perbuatan suatu korporasi. Karena kata “mendanai atau memfasilitasi” memiliki kecenderungan beranggapan bahwa pasal ini terkait dengan tindakan hukum dari suatu korporasi atau perusahaan.
Untuk dapat dikatakan mendanai suatu perbuatan sebagaimana dimuat di dalam Pasal 4 maka harus dibuktikan keterlibatannya secara nyata. Dimana aliran dana yang diterima oleh Pelaku secara tegas menunjukkan dari siapa dana tersebut berasal dan diperuntukkan untuk apa dana tersebut.
Ketegasan aliran dana tersebut bisa kemudian diperoleh dari kwitansi atau tanda terima uang. Atau bisa dihubungkan dengan perbuatan si Pelaku, dimana berdasarkan perhitungan finansial, si pelaku tidak mungkin melakukan perbuatan yang disebutkan di dalam Pasal 4. Sehingga adalah kemungkinan besar si Pelaku memperoleh masukan dana ke dalam keuangannya.
Unsur “memfasilitasi” juga tidak memiliki ketegasan, apakah menyediakan peralatan atau tempat juga dianggap sebagai memfasilitasi? Bila iya, maka pengelola Warnet sebagai Jasa Penyedia Layanan Internet, memiliki kecenderungan besar dapat dianggap sebagi Pelaku yang memfasilitasi. Dengan dilandasi pada Pasal 4 ayat (2) huruf d yang menegaskan bahwa: “Setiap orang dilarang menyediakan jasa pornografi yang: Setiap orang dilarang menyediakan jasa pornografi yang: menawarkan atau mengiklankan, baik langsung maupun tidak langsung layanan seksual.”
Pengelola Warnet adalah orang yang menawarkan atau mengiklankan secara tidak langsung layanan seksual kepada masyarakat umum. Karena setiap kali kita browsing ke salah satu situs tertentu secara acak dimana tanpa kita kehendak terkadang muncul link-link yang memuat konten pornografi, sehingga orang yang melihatnya akan termotivasi untuk melihat atau sekedar iseng.
Bila kita mencermati sistem kerja Warnet, maka kita dapat mengetahui bahawa Operator Warnet mampu mengawasi setiap bilik dan setiap orang, baik dewasa maupun anak-anak, membuka atau mengunduh dari situs mana. Bahkan dari sistem yang paling sederhana, Operator warnet dapat mengenalikan situs-situs yang tidak boleh dibuka atau yang berkontenkan pornografi.
Dimana kewajiban Pengelola Warnet tersebut didasari pada Pasal 15 UU Pornografi, yang menegaskan bahwa:
“Setiap orang berkewajiban melindungi anak dari pengaruh pornografi dan mencegah akses anak terhadap informasi pornografi.”
Jika hal tersebut dilakukan, menurut Penulis, Pengelola Warnet terlepas dari kategori Pasal 4 ayat (2) huruf d jo Pasal 7 UU Pornografi 2008.
Berbeda dengan orang yang memfasilitasi tempat dan sarana kepada orang lain, maka ada kewajiban untuk mengetahui akan dipergunakan sebagai apakah tempat tersebut. Karena pada prinsipnya, peristiwa hukum berupa penggunaan tempat dan sarana adalah masuk ke dalam ranah hukum perdata yaitu perikatan baik tertulis maupun tidak tertulis. Maka dibatasi oleh adanya suatu aturan bahwa perikatan menjadi batal bila bertentangan dengan Undang-undang dan kesusilaan.
Sehingga pemilik tempat dan sarana lainnya wajib dikenakan sebagai pemfasilitasi Pelaku Tindak Pidana Pornografi. Dalam hal ini, dalam sistem hukum pidana dikenal dengan Tindak Pidana Penyertaan atau Perbantuan.
Sehingga Pasal 7 ini tidak dapat berdiri sendiri, harus ditentukan terlebih dahulu pelaku Tindak Pidana Pornografi, setelah itu baru dikaitkan dengan fasilitator sebagai Penyertaan/Perbantuan.

Pasal 34 :
Setiap orang yang dengan sengaja atau atas persetujuan dirinya menjadi objek atau model yang mengandung muatan pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

Penjelasan & Komentar:
Di dalam penjelasan resmi disebutkan bahwa “ketentuan ini dimaksudkan bahwa jika pelaku dipaksa dengan ancaman atau diancam atau di bawah kekuasaan atau tekanan orang lain, dibujuk atau ditipu daya, atau dibohongi oleh orang lain, pelaku tidak dipidana.”
Bila kita perhatikan penjelasan tersebut, maka diketahui bahwa UU Pornografi 2008 menyebutkan si objek atau sang model sebagai PELAKU. Sehingga Pasal  8 adalah pasal yang berdiri sendiri atau mandiri, tidak bisa disebut sebagai Penyertaan dalam Tindak Pidana Pornografi.
UU Pornografi 2008 adalah Undang-Undang yang berlaku khusus sehingga berlakulah asas “lex specialist derogat lex generalis” (Undang-undang khusus mengeyampingkan Undang-undang yang umum).
Di dalam rumusan Pasal 8 tersebut mengandung makna bahwa seseorang dapat dijerat dengan pidana apabila dengan sukarela memberikan persetujuan tanpa adanya paksaan, ancaman, atau tipu daya bujuk rayu dari si Pembuat. Dalam hal ini si objek atau sang model memiliki pilihan-pilihan hukum untuk mengatadakan bersedia atau tidak.
Bila kemudian si Pembuat tidak dapat dimintakan pertanggungjawabannya karena sesuatu dan lain hal, maka si objek atau sang model telah dikualifikasikan sebagai Pelaku Tindak Pidana Pornografi.

Pasal 35 :
Setiap orang yang menjadikan orang lain sebagai objek atau model yang mengandung muatan pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah).

Penjelasan & Komentar:
Dalam Hukum Pidana, yang membujuk atau menyuruh melakukan suatu tindak pidana disebut uitlokken, sedangkan orang nya disebut uitlokkeer. Hal tersebut diatur di dalam Pasal 55 ayat (1) KUHP dengan sangat singkat, ialah “yang menyuruh melakukan”, tetapi pada bentuk orang yang sengaja menganjurkan ini dirumuskan dengan lebih lengkap, dengan menyebutkan unsur obyektif yang sekaligus unsur subyektif. Rumusan itu selengkapnya ialah: “mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu, dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, memberikan kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan”.
Dalam hal ini uitlokken termasuk ke dalam runag lingkup Penyertaan (deelneming), dimana berdasarkan sifatnya deelneming dibagi menjadi dua jenis, yaitu bentuk deelneming yang berdiri sendiri dan deelneming yang tidak berdiri sendiri. Uitlokken termasuk kedalam deelneming yang tidak berdiri sendiri, artinya antara satu pelaku dengan pelaku lainnya saling terkait. Salah satu dipidana, maka yang lain juga dipidana. Sehingga antara pembujuk dan yang dibujuk merupakan satu kesatuan yang saling terikat.
Namun, UU Pornografi 2008 memberikan pengecualian terhadap asas umum deelneming atau uitlokken, yaitu dengan memberikan batasan unsur “dengan sengaja atau atas persetujuannya” pada rumusan dalam Pasal 8.
Pada suatu Tindak Pidana Pornografi yang terjadi dimana pembujuk dan yang terbujuk adalah merupakan pelaku yang berdiri sendiri. Karena si objek atau sang model diberikan oleh UU suatu pilihan hukum untuk melakukan pemikiran atas bujukan dari si pembujuk melalui kalimat “...................atas persetujuannya” pada Pasal 8.
Contoh:
Kondisi I : Si A membujuk Si B untuk melakukan shooting film porno, untuk dapat sebagai Tindak Pidana Pornografi, maka harus ada kata persetujuan dari Si B. Bila kata persetujuan itu tidak ada, maka Si A tidak dapat disebut sebagai Pembujuk. Karena konteks kalimat yang ada adalah “..............menjadikan orang lain...........” menjadi tidak terwujud. Rumusan tersebut bermakna shooting film porno telah terjadi dan telah selesai. Di dalam UU Pornografi 2008 tidak dikenal Percobaan Tindak Pidana Pornografi.

Kondisi II : Si A dan si Si B berpacaran, kemudian si A dan si B melakukan persenggamaan, selama proses persenggamaan si A mengambil handphone berkamera untuk merekam, dan si B mengetahuinya namun mendiamkan. Perilaku mendiamkan oleh si B bukanlah persetujuan, namun memenuhi unsur “................dengan sengaja.............”. Dengan demikian, baik si A maupun si B secara bersama-sama melakukan Tindak Pidana Pornografi.

Kondisi III : Si A dan si B terikat kontrak pemotretan model iklan minuman. Dan si B mendapatkan fasilitas baju-baju baru sebagai kostum untuk pemotretan tersebut. Kemudian si A meyakinkan kepada si B agar melakukan fitting (mencoba baju) di dalam bilik ganti baju yang telah disediakan. Ternyata bilik tersebut, telah dipasang hidden camera (kamera tersembunyi).
Maka hanya si A yang dapat dipidana.

Perumpamaan-perumpaan tersebut tidak hanya terbatas pada ketiga kondisi semata, karena bisa jadi muncul objek atau model karena dorongan pihak ketiga, misalnya seperti orang tua yang menghendaki anak nya menjadi seorang model pada suatu produk yang bermuatan pornografi. Dalam hal ini, si pembuat tidak terkena atas Pasal 9, namun Pihak III lah yang terkena Pasal 9 ini.
Karena UU Pornografi telah melakukan generalisasi melalui unsur “setiap orang”, sehingga siapapun bisa menjadi pembujuk atau penganjur untuk menjadi objek atau model pornografi.

Pasal 36 :
Setiap orang yang mempertontonkan diri atau orang lain dalam pertunjukan atau di muka umum yang menggambarkan ketelanjangan, eksploitasi seksual, persenggamaan, atau yang bermuatan pornografi lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

Penjelasan & Komentar:
Ada beberapa unsur yang harus diperhatikan di dalam Pasal 10 UU Pornografi 2008, yaitu sebagai berikut:
a.              Setiap orang
Unsur “setiap orang” menunjukan bahwa subyek dalam tindak pidana pornografi adalah manusia sebagai subyek hukum. Sehingga yang harus diperhatikan adalah kecakapan hukum dimana hal tersebut berhubungan dengan kemampuan untuk bertanggung jawab.
Secara umum dalam Hukum Pidana dijelaskan bahwa batas usia sebagai penentu apakah seseorang dapat dianggap cakap hukum atau tidak, sehingga sesuai dengan pengertian dari istilah Tindak Pidana, orang tersebut ddapat kenakan hukuman pidana karena dianggap bertanggung jawab.
Ini adalah syarat subyekif yang utama dalam membebankan tanggung jawab hukum. Karena bila seseorang tidak masuk dalam kualifikasi “cakap hukum”, maka gugurlah kewajibannya untuk bertanggung jawab.
b.             Mempertontonkan diri atau orang lain
Unsur ini mengandung makna, bahwa setiap orang dilarang mengeksploitasi dirinya sendiri maupun orang lain untuk kepentingan yang selain telah ditentukan oleh UU Pornografi. Seringkali kita mendengar statement-statement yang diungkapkan bahwa “badan ini adalah badan saya dan terserah saya hendak saya buat”.
Ternyata statement tersebut telah dibatasi oleh Pasal 10 UU Pornografi. Setiap orang diwajibkan untuk memiliki rasa penghormatan terhadap norma kesusilaan yang ada di masyarakat dimana ia berada. Hal tersebut sesuai dengan peribahasa “dimana bumi dipijak, distu langit dijunjung”.
c.              Di dalam pertunjukan atau di muka umum ;
Unsur ini merupakan tempat terjadinya suatu tindak pidana atau locus delicti. Makna dari kata “di dalam pertunjukan” bukanlah bermakna sempit hanya di dalam sebuah pagelaran atau pameran semata, namun dapat berupa film ataupun sinetron dan semua bentuk hasil dari media elektronik yang sifatnya dapat dilihat oleh lebih dari satu orang.
Sedangkan unsur “di muka umum” bukan berarti bahwa tindak pidana tersebut harus dilihat oleh khalayak ramai saja namun masuk pula ke dalam pengertiannya juga adalah tempat-tempat yang sudah diketahui oleh umum dan menjadi jalur lewatnya setiap orang. Misalnya: taman atau perpustakaan.
Taman mungkinsaja sepi, tapi tidak ada larangan orang untuk sekedar lewat di taman atau sekedar beristirahat. Sehingga unsur “di muka umum” lebih dimaknai kepada tempat yang seyogyanya diketahui oleh umum dan bebas untuk umum.
d.             Yang menggambarkan ketelanjangan, eksploitasi seksual, persenggamaan, atau
Unsur “yang menggambarkan ketelanjangan” tidak harus dimaknai bahwa seseorang dianggap pelaku maka ia harus benar-benar telanjang, namun menimbulkan kesan seolah-olah telanjang pun dapat dikategorikan ke dalam unsur ini. Misalnya menggunakan baju tipis dan menerawang sehingga terlihat jelas alat-alat vital nya atau menggunakan pakaian yang super ketat dan orang lain dapat dengan jelas melihat bentuk dan ukurannya.
Unsur “eksploitasi seksual” bermakna segala bentuk pemanfaatan organ tubuh seksual atau organ tubuh lain dari korban untuk mendapatkan keuntungan, termasuk tetapi tidak terbatas pada semua kegiatan pelacuran dan percabulan.
Unsur “persenggamaan”, ini unsur tidak hanya dimaknai secara harfiah, namun juga dimaknai seolah-olah bersenggama. Karena bersenggama atau seolah-olah bersenggama menimbulkan efek yang sama yaitu merangsang birahi yang melihatnya.
e.              Bermuatan pornografi lainnya
Yang dimaksud dengan “pornografi lainnya” antara lain kekerasan seksual, masturbasi, atau onani. Namun tidak hanya terbatas kepada tiga jenis itu saja, termasuk di dalamnya adalah penyimpangan seksual.
Ketentuan di dalam Pasal 10 tersebut tidak mensyaratkan adanya norma kesusilaan yang dilanggar, sehingga berlaku secara umum. Dan berdasarkan ketentuan Pasal 10 ini tidak disyaratkan mengenai motif dari pelaku apakah ada motif ekonomi atau tidak. Sehingga siapapun yang memenuhi unsur-unsur di dalam Pasal 10, maka dapat dijerat melalui Pasal 36 ini.

Pasal 37 :
Setiap orang yang melibatkan anak dalam kegiatan dan/atau sebagai objek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dipidana dengan pidana yang sama dengan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29, Pasal 30, Pasal 31, Pasal 32, Pasal 34, Pasal 35, dan Pasal 36, ditambah 1/3 (sepertiga) dari maksimum ancaman pidananya.

Penjelasan & Komentar:
Ketentuan pasal ini merupakan ancaman pemidanaan terhadap pelanggaran dari Pasal 11. Dimana ditegaskan di dalam Pasal 11 bahwa “Setiap orang dilarang melibatkan anak dalam kegiatan dan/atau sebagai objek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 8, Pasal 9, atau Pasal 10.”
Sehingga bila didalam setiap perilaku atau perbuatan yang menghasilkan barang pornografi sesuai dengan ketentuan mulai dari Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 8, Pasal 9, atau Pasal 10, maka akan diancam pemidanaannya melalui Pasal 29, Pasal 30, Pasal 31, Pasal 32, Pasal 34, Pasal 35, dan Pasal 36 disesuai dengan unsur-unsur yang terpenuhi.
Keterlibatan anak di dalam Tindak Pidana Pornografi merupakan tindak pidana yang diperberat sehingga ancaman hukumannya ditambah 1/3 dari pidana pokoknya.

Pasal 38 :
Setiap orang yang mengajak, membujuk, memanfaatkan, membiarkan, menyalahgunakan kekuasaan, atau memaksa anak dalam menggunakan produk atau jasa pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).

Penjelasan & Komentar:
Keberadaan pasal ini menjadi kabur dan bias karena memiliki kesamaan makna dan maksud dengan ketentuan Pasal 37. Hampir tidak ada urgensi atas keberadaan pasal ini. Seharusnya bisa digabungkan dengan Pasal 37 sehingga lebih menghemat dan padat isi dari UU Pornografi.

No comments:

Post a Comment