Saturday, November 6, 2010

Pembenaran Penggunaan Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Indonesia Secara Filosofis Dan Ketatanegaraan

 Oleh:
Rocky Marbun, S.H., M.H.
Hukum Islam pertama diperkenalkan oleh para pedagang Gujarat dan India yang beragama Islam dan berkembang terutama di daerah pesisir pantai. Para pedagang melakukan asimilasi dengan penduduk pribumi sehingga lambat laun makin sejalan dengan diterimanya agama Islam maka hukum Islam semakin familiar bagi kalangan pribumi. Dan menyusup ke dalam pemerintahan Kerajaan. Sehigga berdiri pula Kerajaan Islam pertama di Aceh. Dan terus berkembang ke Pulau Jawa melalui jalur perdagangan.

Pemberlakuan hukum Islam di kerajaan-kerajaan Islam terwujud dengan adanya lembaga peradilan Islam seperti misalnya Serambi dan Qadhi. Kedua lembaga tersebut, pada masa penjajahan, mendapat pengakuan dari pemerintah kolonial walaupun akhirnya mendapat pembatasan, khususnya pada perkara perdata seperti perkawinan dan warisan. Untuk hal perkara pidana masih dapat dilakukan sepanjang tidak bertentangan dengan kebijakan publik dari pemerintah kolonial.
Pada zaman kemerdekaan hingga sekarang, konsep hukum Islam juga diakui dan disahkan secara terbatas di dalam sistem hukum di Indonesia. Dengan mengikuti konsep kolonial, maka pembatasan pemberlakuan hukum Islam juga terbatas pada perkara perdata, seperti, perkawinan, perceraian, harta warisan dan wakaf.
Dalam bentuk peraturan perundang-undangan pun hukum Islam diakomodasi dalam bentuk UU Perkawinan, Kompilasi Hukum Islam, Pengadilan Agama, UU Zakat dan lain-lain.
Hal tersebut merupaka salah wujud dari sumbangan konsep Hukum Islam dalam pembangunan hukum Nasional di Indonesia, walaupun hanya penerapannya secara parsial saja.
Reformasi Hukum merupakan salah satu amanat penting dalam rangka pelaksanaan agenda reformasi nasional. Di dalamnya tercakup agenda penataan kembali berbagai institusi hukum dan politik mulai dari tingkat pusat sampai ke tingkat pemerintahan desa, pembaruan berbagai perangkat peraturan perundang-undangan mulai dari UUD sampai ke tingkat Peraturan Desa, dan pembaruan dalam sikap, cara berpikir dan berbagai aspek perilaku masyarakat hukum kita ke arah kondisi yang sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman. Dengan perkataan lain, dalam agenda reformasi hukum itu tercakup pengertian reformasi kelembagaan (institutional reform), reformasi perundang-undangan (instrumental reform), dan reformasi budaya hukum (cultural reform).[1]
Dalam membentuk suatu perundang-undangan yang merupakan produk nasional, maka perlu diadakan penelitian terhadap norma-norma yang hidup dan berkembang di dalam masyarakat di Indonesia. Karena selama ini selalu didengungkan bahwa KUHP sebagai kitab induk di Indonesia adalah merupakan produk kolonial yang tidak sesuai dengan nilai dan norma yang berkembang di masyarakat.
Sehingga kemudian perlu dikaji lebih mendalam untuk memberlakukan atau mengadopsi sistem hukum Islam, sebagai salah satu unsur nilai dan norma yang hidup di Indonesia, ke dalam Sistem Hukum Pidana di Indonesia.
Bahwa keberadaan hukum Islam di Indonesia adalah bersamaan dengan keberadaan Islam di Indonesia. Oleh karena itu masyarakat Indonesia menyatakan Islam, secara otomatis berarti mengaku otoritas hukum Islam atas dirinya. Inilah yang disebut dengan teori Syahadat.[2]
Perkembangan ke arah adopsi yang makin luas terhadap sistem Hukum Islam yang bersesuaian dengan dinamika kesadaran hukum dalam masyarakat kita, yang dituangkan dalam berbagai bentuk peraturan perundang-undangan serta diwujudkan dalam esensi kelembagaan hukum yang dikembangkan dapat dikaitkan pula dengan pertimbangan-pertimbangan yang bersifat filosofis dan ketatanegaraan. Secara umum dapat diakui bahwa UUD 1945 mengakui dan menganut ide ke-Tuhanan Yang Maha Esa dalam kehidupan bermasyarakat, berbanga dan bernegara. Ide Ketuhanan Yang Maha Esa itu tidak saja ditegaskan dalam rumusan Pembukaan UUD yang menyebut secara eksplisit adanya pengakuan ini, tetapi juga dengan tegas mencantumkan ide Ketuhanan Yang Maha Esa itu sebagai sila pertama dan utama dalam rumusan Pancasila. Bahkan, dalam Pasal 29 UUD 1945, ditegaskan pula bahwa Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, dan dalam Pasal 9 ditentukan bahwa setiap Presiden dan Wakil Presiden sebelum memangku jabatan diwajibkan untuk bersumpah ‘Demi Allah’.
Ide Ke-Maha Esaan Tuhan itu bahkan dikaitkan pula dengan ide Ke-Maha Kuasaan Tuhan yang tidak lain merupakan gagasan Kedaulatan Tuhan dalam pemikiran kenegaraan Indonesia. Namun, prinsip Kedaulatan Tuhan itu berbeda dari paham teokrasi barat yang dijelmakan dalam kekuasaan Raja, maka dalam sistem pemikiran ketatanegaraan berdasarkan UUD 1945, hal itu dijelmakan dalam prinsip-prinsip kedaulatan rakyat.[3]
Selanjutnya, prinsip kedaulatan rakyat dijelmakan ke dalam sistem kelembagaan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang selanjutnya akan menentukan haluan-haluan dalam penyelenggaraan negara berupa produk-produk hukum tertinggi, yang akan menjadi sumber bagi penataan dan pembinaan sistem hukum nasional. MPR-lah yang dijadikan sumber kewenangan hukum bagi upaya pemberlakuan sistem hukum Islam itu dalam kerangka sistem hukum nasional.
Dari perspektif Hukum Islam, proses pemikiran demikian dapat dikaitkan dengan pemahaman mengenai konsep ‘theistic democracy’ yang berdasar atas hukum ataupun konsep ‘divine nomocracy’ yang demokratis yang berhubungan erat dengan penafsiran inovatif terhadap ayat al-Quran yang mewajibkan ketaatan kepada Allah, kepada Rasulullah, dan kepada ‘ulul amri’. Pengertian ‘ulul amri’ yang seringkali disalahpahami sebagai konsep mengenai ’pemimpin’ (waliyu al-amri), justru dipahami sebagai konsep mengenai ‘perwakilan kepemimpinan’ atau ‘para pemimpin yang mewakili rakyat’ (ulul amri). Karena itu, konsep parlemen dalam pengertian modern dapat diterima dalam kerangka pemikiran Hukum Islam, melalui mana norma-norma hukum Islam itu diberlakukan dengan dukungan otoritas kekuasaan umum, yaitu melalui pelembagaannya menjadi ‘qanun’ atau peraturan perundang-undangan negara. Karena itu, dapat dikatakan bahwa eksistensi Hukum Islam dalam kerangka Sistem Hukum Nasional Indonesia sangat kuat kedudukannya, baik secara filosofis, sosiologis, politits, maupun juridis. Meluasnya kesadaran mengenai reformasi hukum nasional dewasa ini justru memberikan peluang yang makin luas bagi sistem Hukum Islam untuk berkembang makin luas dalam upaya memberikan sumbangan terhadap perwujudan cita-cita menegakkan supremasi sistem hukum sesuai amanat reformasi.
Namun secara ideal, konstitusi menghendaki sifat hukum nasional yang tidak sekuler, yang kemudian dalam pelaksanaan gagasan ideal itu masih harus dijabarkan dan dilaksanakan ke dalam semua bidang hukum, termasuk bidang hukum pidana.
Menurut Jimly Asshiddiqie, bahwa hal tersebut tergantung pula kepada kepada bagaimana persepsi para perancang dan pejabat pembentuk hukum pidana itu sendiri mengenai agama.[4]
Berkaitan dengan pendapat tersebut, penulis sepakat sekali. Karena pada saat sekarang ini terjadi kerancuan pemikiran dan ketakutan-ketakutan yang tidak didasari secara ilmiah.
Sumbangan pemikiran dari sisi hukum Islam tidak berarti menjadikan sistem hukum Nasional menjadi sistem hukum Islam. Sumbangan pemikiran tersebut, menurut penulis, hanyalah merupakan suatu alternatif dan/atau perbandingan terhadap sistem hukum di Indonesia semata.


[1] Jimly Asshiddiqie, Hukum Islam Dan Reformasi Hukum Nasional, Disampaikan dalam Seminar Penelitian Hukum tentang Eksistensi Hukum Islam Dalam Reformasi Sistem Nasional, diselenggarakan oleh BPHN Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, di Jakarta, 27 September 2000.
[2] Abdul Halim Barkatullah & Teguh Prasetyo, Hukum Islam Menjawab Tantangan Zaman Yang Terus Berkembang, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), hlm. 68.
[3] Jimly Asshiddiqie, Hukum Islam Dan Reformasi Hukum Nasional, Disampaikan dalam Seminar Penelitian Hukum tentang Eksistensi Hukum Islam Dalam Reformasi Sistem Nasional, diselenggarakan oleh BPHN Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, di Jakarta, 27 September 2000.
[4] Jimly Asshiddiqie, Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: Angkasa, 1996), hlm. 37.

No comments:

Post a Comment