Saturday, November 6, 2010

Faktor Penghambat Dalam Menerapkan Konsep Hukum Pidana Islam Dalam Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana Pornografi

Oleh:
Rocky Marbun, S.H., M.H[1]

Bila di lihat dari substansi isi pasal dari RUU KUHP 2005, maka dapat diketahui bahwa isi pasal pornografi & pornoaksi dari RUU KUHP 2005 diadopsi secara utuh dari RUU Pornografi & Pornoaksi (sebelum disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi).
Sehingga hal tersebut memicu pro kontra sebagaimana munculnya kontraversi terhadap Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi dengan dihembuskannya Islamisasi hukum pidana Indonesia. Penolakan terhadap RUU KUHP sama gencarnya dengan penolakan UU Pornografi tersebut. 
Pengembosan opini melalui jalur agama, budaya dan Hak Asasi Manusia (HAM) selalu mencoba memberangus keberadaan kedua RUU tersebut. Penundingan dan fitnah yang dilontar kepada para pemikir dan ahli hukum Islam cenderung memojokan akan kehendak berdirinya Negara Islam di Indonesia ini.
Memang tidak bisa dipungkiri bahwa ide awal dari pembentukan UU Pornografi berasal dari usulan Majelis Ulama Indonesia (MUI) khusus pada Komisi Hukum Dan Politik Wanita Islam Pusat. Dapat pula dipahami akan kekhawatiran pandangan dari golongan yang kontra terhadap kedua RUU tersebut.
Berdasarakan uraian dari penulis di atas maka terciptalah gambaran mengenai bagaimana hukum pidana dalam menyikapi masalah pornografi & pornoaksi sebagai bagian dari tindak pidana kesusilaan.
Bahwa keberadaan ketentuan-ketentuan tersebut, tidak menjangkau dalam melakukan penegakan hukum. Sehingga menimbulkan kebingungan aparat penegak hukum dalam menjalan isi undang-undang.
Rumusan dari KUHP mengenai tindak pidana kesusilaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 281 dan 282 tidak menyaratkan adanya aduan dari pihak manapun, yang berbeda dengan delik mukah/overspell/zinah. Karena Pasal 281 dan Pasal 282 KUHP bukan delik aduan, sehingga pihak aparat penegak hukum seharusnya dapat proaktif dalam menjalankan ketentuan dalam baik KUHP maupun UU Media Massa (Pers, Penyiaran, & Perfilman).
Kondisi tersebut terbentuk dikarenakan adanya beberapa permasalahan yang menjadi penyebab, yaitu antara lain:
1.             Perubahan Nilai-Nilai Dalam Masyarakat
Mengapa dalam kurun waktu sekian puluh tahun masyarakat mengalami perubahan dalam mempertahankan norma-norma yang hidup di dalam masyarakat itu sendiri?
Menurut Dr. Soerjono Soekanto, SH, MA, beliau mengatakan perubahan-perubahan sosial yang di dalam suatu masyarakat dapat terjadi oleh karena bermacam-macam sebab. Sebab-sebab tersebut dapat berasal dari masyarakat itu sendiri (intern) muapun dari luar masyarakat (ekstern). Sebagai sebab-sebab intern antara lain dapat disebutkan misalnya pertambahan penduduk; penemuan-penemuan baru; pertentangan (conflict); atau mungkin karena terjadinya suatu revolusi. Sebab-sebab ekstern dapat mencakup sebab-sebab yang berasal dari lingkungan alam fisik, pengaruh kebudayaan lain, peperangan dan seterusnya. Suatu perubahan dapat terjadi dengan cepat apabila suatu masyarakat lebih sering terjadi kontak komunikasi dengan masyarakat lain, atau telah mempunyai sistem pendidikan yang maju.[2]
Dikarenakan terdapatnya perubahan norma-norma sosial dalam masyarakat sehingga ketentuan-ketentuan yang termuat di peraturan perundang-undangan dengan mengkaitkan norma sosial sebagai indikasi adanya pelanggaran hukum sudah tidak dapat menjerat para pelaku tindak pidana pornografi.
Sehingga betapa tepatnya ungkapan oleh Syekh Muhammad Al-Ghozali, yang mengatakan bahwa “Jika kita telah sepakat bahwa TBC adalah penyakit, tentulah kita tidak akan berselisih tentang sebab-sebab penularannya. Demikian pula jika kita telah sepakat bahwa zina adalah perbuatan keji, tentulah kita tidak akan berselisih tentang pencegahan semua bentuk pamer aurat (tabarruj) dan propaganda ke arahnya yang akan menyebabkan terjadinya perzinaan tersebut.”[3]
2.             Pemahaman Yang Keliru Terhadap Hukum Islam
Pada prinsipnya, pelaksanaan Hukum Pidana Islam dalam menanggulangi pornografi sepenuhnya berada pada Pemerintahan/Negara Islam. Dikarenakan tiada adanya pemerintahan tersebut maka bukan suatu kewajiban untuk melaksanakan Hukum Pidana Islam, namun melihat firman Allah swt pada Al Qur’an Surat Ali Imran ayat 110 yang berbunyi sebagai berikut :
Kamu adalah umat pilihan yang telah dilahirkan untuk seluruh manusia, karena kamu menyuruh mengerjakan kebajikan dan melarang mengerjakan kemungkaran, lagi pula kamu beriman kepada Allah.”
Q.S. Al Maidah ayat 44 :
Barangsiapa yang tidak memutuskan hukum menurut yang diturunkan Allah, maka mereka adalah orang-orang yang kafir
Q.S. Al Maidah ayat 45 :
Barangsiap yang tidak menghukum menurut yang diturunkan Allah, maka mereka orang-orang aniaya
Dan Q.S. Al Maidah ayat 47 :
Siapa yang tidak memutuskan hukum menurut yang diturunkan Allah, maka mereka adalah orang-orang yang fasik
Serta Q.S. Al Maidah ayat 50 :
Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki? Dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada hukum Allah bagi orang-orang yang yakin?”
Sehingga menurut penulis, berdasarkan ayat tersebut diatas maka umat Islam dianjurkan dan diwajibkan untuk menyampaikan kebenaran yang berasal dari Allah dan Rasul-Nya termasuk menyampaikan tentang hukum-hukum Allah. Begitu juga pada saat kita memandang masalah pornografi ini, secara tegas rasanya tidak mungkin hukum pidana Islam masuk sebagai hukum positif di Indonesia namun paling tidak kita dapat menerapkan asas-asasnya ke dalam hukum positif di Indonesia.
Lantas, mengapa umat Islam sendiri menjadi penentang akan diterapkannya konsep hukum Islam ke dalam Sistem Hukum Pidana di Indonesia??
Yang menjadi persoalannya adalah terletak pada sistem dakwah yang terkesan parsial bagi umat Islam sendiri. Dan tidak adanya pemahaman fiqh dakwah dengan baik bagi para da’i dan ulama, khususnya di Indonesia.
Dalam menyampaikan maksud dan kehendak dari sistem hukum Islam tidak dapat hanya menggunakan pendekatan fiqh semata namun juga harus melalui pendekatan fiqh dakwah. Maka tidak heran bila masyarakat Indonesia yang mayoritas umat Islam pun menolak adanya konsep hukum Islam.
Wajah yang ditampilkan terhadap hukum Islam hanya dari pemidanaan nya semata yang selalu berkaitan dengan rajm, cambuk dan hukuman mati. Namun tidak pernah diungkapkan secara lugas dan transparan mengenai hikmah-hikmah di balik pemidanaan tersebut.
Munculnya prilaku yang seperti ini kadang-kadang tidak dapat disalahkan karena adanya upaya-upaya yang mencoba membangun tatanan hukum Islam hanya melalui informasi lahiriyah ayat-ayat Al-Qur'an. Dengan demikian maka hukum-hukum Al-Qur'an selalu dipandang tidak manusiawi, sangat tradisional dan bertentangan dengan kehidupan dan kebudayaan manusia modern.
Al Qur’an sebagai kitab petunjuk untuk seluruh manusia maka Al-Qur'an sudah pasti memuat prinsip-prinsip hukum yang sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan budaya masyarakat itu sendiri. Adanya prinsip yang dibangun oleh al-Qur'an mengindikasikan bahwa tidak semua kasuistik yang terjadi dapat diserap melalui pernyataan-pernyataan ayat.
Justru itu redaksi-redaksi Al-Qur'an hanya berbicara dalam tataran filosofis yang bersifat universal. Prinsip-prinsip ini bertujuan untuk mengcover semua kasuistik dalam tataran maknawiyah tidak dalam tataran lahiriyah. Melalui tataran maknawiyah inilah maka prinsip-prinsip hukum yang terkandung dalam Al-Qur'an dapat dipersaingkan atau disandingkan dengan prinsip-prinsip hukum sekuler modern.[4]
Menurut Prof. Juhaya S. Praja, bahwa prinsip-prinsip ketauhidan merupakan langkah awal yang perlu dikedepankan yang kemudian disandingkan dengan Prinsip Amar Ma’ruf Nahi Munkar.[5]
Menurut Ibnu Qayyim Al Jauziyah, bahwa kalimat tauhid ini apabila dipersaksikan oleh orang yang beriman dengan cara mengetahui pengertian dan hakikatnya baik bersifat penolakan (menolak Tuhan selain Allah) dan penetapan (Tuhan itu hanya Allah) yang dilaksanakan dengan hati, lisan, dan anggota badannya, maka kalimat ini dapat mengangkat amal perbuatan orang yang mempersaksikannya.[6]
3.             Perbedaan Mahzab Di Dalam Islam
Permasalahan pelik yang sering kali terjadi sehingga terjadi pergesekan di dalam masyarakat Islam khususnya di Indonesia, adalah selalu berkaitan dengan kepada Mahzab mana ia menundukkan dirinya dalam menjalankan ibadah keapda Allah SWT. Sehingga perbedaan tersebut tentu pada akhirnya akan pula menimbulkan kendala yang cukup serius.
Sungguh suatu pelajaran yang berharga bagi kita semua apabila kita memperhatikan bersama dengan apa yang telah terjadi pasca-kemenangan Afghanistan terhadap penjajahan (Uni Sovyet) yang melanda negerinya selama berabad-abad.
Tarik ulur mengenai Mahzab mana yang akan diterapkan ke dalam konstitusi mereka akhirnya justru melemahkan mereka sendiri dalam bernegara, berbangsa dan bermasyarakat. Ketaatan dan ketertundukan terhadap suatu Mahzab secara tak sadar menyeret suatu kaum pada pengikaran akan ketaatan dan ketertundukan kepada Allah SWT dan Rasul-Nya.
Anggapan bahwa menganut Mahzab tertentu maka akan sama dengan taat dan tunduk kepada Allah dan Rasul-Nya. Bahwa Allah SWT telah menentukan bahwa manusia hanya taat kepada Allah SWT dan Rasul-Nya sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an Surat At-Taubah: 71.
Dalam Islam dibedakan antara taqlid dan itba’, bahwa taqlid adalah mengikuti seseorang tanpa adanya proses seleksi terhadap segala perbuatan orang yang diikutinya tersebut.
Sedangkan Itba’ adalah mengikuti seseorang tentang apa yang bersumber dari Nabi SAW dan para shahabatnya. Sedangkan sesuatu bersumber dari generasi berikutnya dari kalangan tabi’in diseleksi terlebih dahulu.[7]
Empat Imam Mahzab (Imam Syafi’i, Imam Maliki, Imam Hanafi dan Imam Ahmad bin Hambal) telah melarang pengikut mereka untuk bertaqlid kepada mereka, dan mereka mengecam orang yang mengambil pendapat mereka tanpa didasarkan kepada hujjah (dalil) yang nyata. Imam Syafi’i berkata: “Perumpamaan orang yang menuntut ilmu pengetahuan tanpa didasarkan kepada hujjah laksana orang yang mencari kayu bakar di malam hari, dimana dia membawa ikatan kayu bakar yang didalamnya ada ular yang berbisa yang akan mematuknya, dan dia tidak mengetahuinya.”
(Al-Baihaqi)
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka penulis berpendapat dalam mendalami hukum secara kaffah (menyeluruh dan komprehensif) hendaknya perlu diadakan suatu studi perbandingan lintas mahzab. Yang perlu digarisbawahi adalah studi perbandingan tersebut bukanlah mencari mahzab mana yang benar dan shahih, namun yang perlu di cari adalah suatu norma yang dapat diterapkan dengan kondisi dan situasi ke-Indonesia-an. Hal tersebut didasari bahwa pendapat mahzab yang satu tidak membatalkan mahzab yang lain.
Satu hal yang perlu juga kita pahami bersama adalah bahwa perbedaan mahzab tersebut hanya sebatas pada masalah-masalah cabang yang hukumnya masih sumir (syubhat) namun untuk masalah utama adalah hal yang qath’i (jelas).
4.             Penyimpangan Penafsiran Undang-Undang
Dalam berbagai peraturan perundang-undangan khususnya KUHP dan UU Media Massa, selalu termuat unsur kesopanan, kesusilaan, dan norma agama.
Namun ironisnya, beberapa ahli hukum dan sosial budaya serta penegak hukum tidak mengindahkan norma agama sebagai salah satu unsur dalam penegakan hukum terhadap tindak pidana kesusilaan khususnya pornografi & pornoaksi.
Menurut Rosihan Anwar, seorang budayawan, berkaitan dengan norma agama mengatakan “Persoalannya adalah norma mana yang harus dianut? Indonesia adalah negara multiagama yang berarti ada banyak norma yang berlaku di Indonesia. Belum lagi jika kita melihat norma-norma lokal dan adat setempat. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa setiap norma memiliki ruangnya masing-masing. Di sana ada relativitas. Jadi, meskipun norma diusung bersama, tetapi di sana ada ruang relativitas: Norma agama mana? Norma adat yang mana? Bijakkah memaksakan suatu norma agama tertentu kepada pemeluk agama lain? Apakah suatu komunitas dikatakan melanggar jika menerapkan norma yang dianutnya, yang notabene bertolak belakang dengan norma yang dianut oleh komunitas di luarnya?”
Pendapat tersebut bagi seorang sekaliber Rosihan Anwar adalah sangat naif dan tidak akademis. Beliau tidak pernah melakukan penelitian secara mendalam sebelum mengeluarkan statement-nya.
Dalam setiap agama dan kepercayaan yang di akui di Indonesia diajarkan kebajikan dan pelarangan terhadap pelanggaran perintah Tuhan. Untuk membantah pendapat dari Rosihan Anwar, penulis melakukan penelitian kepustakaan terhadap seluruh agama yang diakui di Indonesia, dimana hampir 99% memuat norma agama yang menolak adanya pornografi. Sehingga adalah tidak benar bila penerapan norma agama akan bertentangan atau menyinggung agama lain.
Justru yang menjadi pertanyaan besar adalah : ”Mengapa norma agama yang ada di dalam setiap ajaran agama dan aliran kepercayaan yang diakui di Indonesia tidak mampu membendung arus globalisasi Pornografi dan Porboaksi?” Yang pertama harus dipahami adalah bahwa selain norma hukum maka norma agama, norma kesopanan dan norma kesusilaan tidak memiliki daya paksa dan daya ikat kepada individu atau masyarakat yang melanggar. Kedua, bahwa harus diakui bahwa kepatuhan umat beragama memang tergantung pada masing-masing ulama dan pemuka agama dari agama tersebut untuk menyampaikan atau tidak menyampaikan.
Sebagaimana yang diungkapkan oleh Oemar Seno Adji, delik kesusilaan di ancam pidana di Indonesia bukan karena di muka umum, tetapi menurut pandangan agama perbuatan melanggar kesusilaan itu dilarang.[8]
Pendapat tersebut sebenarnya telah diakomodasi oleh Undang-Undang Darurat Nomor 1/Drt/1951 tentang Tindakan-Tindakan Sementara Untuk Menyelenggarakan Kesatuan Susunan, Kekuasaan Pengadilan-Pengadilan Sipil pada Pasal 5 ayat (3) sub b yang menyebutkan sebagai berikut:
Bahwa suatu perbuatan menurut hukum yang hidup dianggap perbuatan pidana, akan tetapi tiada bandingnya dalam KUHP Sipil,……”
Berdasarkan alasan-alasan tersebut seharusnya Pemerintah bersama DPR sebagai Lembaga Legislatif segera melakukan revisi terhadap UU Pornografi dengan memasukan norma agama secara universal dan tidak lagi hanya bergantung kepada norma susila dan kesopanan semata.


[1] Rocky Marbun, S.H., M.H., dikutip dari Tesis Pascasarjana Universitas Jayabaya dengan judul: “Upaya Penerapan Norma Hukum Islam Terhadap Tindak Pidana Pornografi & Aksi Melalui Media Massa”, Tahun 2007
[2] Soerjono Soekamto, Pokok-pokok Sosiologi Hukum, (Jakarta: RajaGrafindo, 1997), hlm. 99.
[3] Ni’mat Shidqy, Pamer Aurat ( At-Tabarruj), (Jakarta : Granada Nadia, 1994)
[4] Drs. Achyar Zein, M.Ag, “Prinsip-prinsip Hukum Dalam Al-Qur’an”, Sumber: http://www.waspada.co.id/serba_waspada/mimbar_jumat/artikel.php?article_id=65043, tanggal 26 Agustus 2005
[5] Ibid; Hal tersebut dapat kita cermati dengan fenomena “Madinah Banjir Khamr” dan “Pemenuhan Sumpah Nabi Ayyub, as Terhadap Istrinya.”
[6] Ibnu Qayyim Al Jauziyah, Panduan Hukum Islam, Jakarta: Pustaka Azzam, 2000, hlm. 155.
[7] Ibid, hlm. 343.
[8] Andi Hamzah, Pornografi Dalam Hukum Pidana. Suatu Studi Perbandingan, (Jakarta : Bina Mulia), hlm. 31

1 comment: