Wednesday, December 8, 2010

UPAYA PENERAPAN LEMBAGA RETALIASI DALAM MENGATASI PELANGGARAN PRINSIP MOST FAVOURED NATION MENURUT GATTS/WTO. (STUDI KASUS BANANA — AMERIKA DENGAN UNI EROPA)

Abstract
Dalam praktek di WTO,  instrument retaliasi sungguh jarang dilakukan oleh Negara anggota. Hal  ini dikarenakan banyak hal yang melatarbelakangi tidak dilakukannya  retaliasi di antara anggota WTO. Salah satu alasan yang mungkin dapat  diterima adalah tingginya nuansa politis dalam penerapan retaliasi  suatu Negara anggota kepada negara anggota lainnya.
Menurut Pasal 22 DSU Agreement WTO dikemukakan bahwa  ganti kerugian dan penangguhan konsesi atau kewajiban lainnya  merupakan tindakan sementara yang diberikan apabila rekomendasi  dan keputusan tidak dilaksanakan dalam jangka waktu yang wajar. Bila  permintaan ganti kerugian ini tidak dapat dilaksanakan oleh pihak yang  tergugat maka pihak penggugat dapat melakukan tindakan retaliasi  sebagaimana yang diatur dalam pasal 22 (3) DSU Agreement


BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Globalisasi ekonomi sebenarnya sudah terjadi sejak lama, masa perdagangan rempah-rempah, masa tanaman paksa (cultuur stelsel) dan masa dimana modal swasta Belanda zaman kolonial dengan buruh paksa. Pada ketiga periode tersebut hasil bumi Indonesia sudah sampai ke Eropa dan Amerika. Sebaliknya impor tekstil dan barang-barang manufaktur. Betapapun sederhananya, telah berlangsung lama.[1]
Globalisasi ekonomi sekarang ini adalah manifestasi yang baru dari pembangunan kapitalisme sebagai sistem ekonomi internasional. Sebagai suatu ideologi, globalism menawarkan seperangkat ide, konsep, keyakinan, norma dan tata nilai mengenai tatanan masyarakat dunia yang dicita-citakan serta bagaimana cara untuk mewujudkannya. [2]
Seperti pada waktu yang lalu, untuk mengatasi krisis, perusahaan multinasional mencari pasar baru dan memaksimalkan keuntungan dengan mengekspor modal dan reorganisasi struktur produksi. Pada tahun 1950 an, investasi asing memusatkan kegiatan penggalian sumber alam dan bahan mentah untuk pabrik-pabriknya. Tigapuluh tahun terakhir ini, perusahaan manufaktur menyebarkan keseluruh dunia, dengan pembagian daerah operasi melampaui batas-batas negara, perusahaan-perusahaan tidak lagi memproduksi seluruh produk disatu negara saja, manajemen diberbagai benua, penugasan personel lagi terikat pada bahasa, batas negara dan kewarganegaraan.[3] Pada masa lalu bisnis internasional hanya dalam bentuk export – import dan penanaman modal.
Kini transaksi menjadi beraneka ragam dan rumit seperti kontrak pembuatan barang, waralaba, imbal beli, “turkey project”, alih teknologi, aliansi strategis internasional, aktivitas financial, dan lain-lain, globalisasi menyebabkan berkembangnya saling ketergantungan pelaku-pelaku ekonomi dunia. Manufaktur, perdagangan, investasi melewati batas-batas negara, meningkatkan intensitas persaingan, gejala ini dipercepat oleh kemajuan komunikasi dan transportasi teknologi.
Berbicara mengenai globalisasi tidak terlepas dengan keberadaan World Trade Organization (WTO) yang tidak dapat dilepaskan dari suatu proses yang sedang berjalan dalam tatanan hubungan internasional yaitu globalisasi. Kata “Globalisasi” ini begitu seringnya kita ucapkan mulai dari globalisasi ekonomi, globalisasi politik, sampai istilah terorisme global yang perlu dihadapi dengan perang global melawan terorisme dan sebagainya. Kata ajaib itu begitu sering diucapkan sehingga terkadang menjadi kata-kata tanpa makna, dan baru menjadi perhatian kita bilamana globalisasi menimbulkan kerugian bagi kita.
Globalisasi termasuk di bidang ekonomi secara singkat merupakan suatu situasi dimana terjadi saling ketergantungan di antara pihak dalam hal ini negara-negara di dunia. Di bidang ekonomi termasuk perdagangan dan investasi juga terjadi saling ketergantungan antar negara, yang dalam hal ini tentunya dapat menimbulkan peluang dan tantangan yang berbeda bagi satu negara dengan negara lainnya.[4]
Setelah berbicara mengenai globalisasi perekonomian termasuk dibidang perdagangan dan investasi misalnya, biasanya diikuti oleh jargon-jargon seperti adanya saling ketergantungan antar negara, liberalisasi, daya saing dan sebagainya. Bahkan dalam konteks politik bisa muncul issue seperti masalah kedaulatan nasional suatu negara dalam arti luas mulai dari masalah territorial misalnya  free  trade   area  dan  freedom  of transit  sampai   kepada   proses pembuatan kebijakannya.
Dengan melihat semakin terbukanya pola hubungan antar negara di bidang perdagangan serta semakin cepatnya perubahan yang terjadi pada pola tersebut, maka pertanyaannya adalah bagaimana dapat dirancang dan diwujudkan suatu tatanan atau system yang dapat mengakomodasikan beragam kepentingan yang dalam pelaksanaannya dijaga oleh suatu lembaga multilateral, yang tentunya tidak boleh didominasi oleh satu atau sekelompok negara tertentu. Tanpa adanya tatanan dan lembaga seperti itu, maka hubungan perdagangan antara negara dapat timbul situasi dimana pihak yang kuat menekan pihak yang lemah. Selain itu akan banyak tindakan perdagangan yang dilakukan secara unilateral. Situasi itu jelas akan menimbulkan ketidak pastian dalam hubungan perdagangan interna  sional. Oleh sebab itu, keberadaan system perdagangan multilateral yang ada sejak tahun 1947 dalam bentuk Persetujuan Umum dan Tariff dan Perdagangan atau GATT (General Agreement on Tariffs and Trade-GATT) yang terus menerus diperbaiki sehingga menjadi seperangkat persetujuan perdagangan multilateral yang komprehensif beserta lembaganya yaitu World Trade Organization (WTO) pada tahun 1994 dan efektif beroperasi sejak tahun 1995, menjadi sangat penting.
Indonesia selama ini dikenal aktif berperan dalam upaya menyempurnakan system perdagangan multilateral melalui berbagai organisasi yang diikuti. Peran Indonesia sangat menonjol dalam perundingan Putaran Uruguay yang berlangsung 1986-1994 baik secara individu maupun sebagai anggota ASEAN. Indonesia juga aktif sebagai anggota International Textiles and Clothing Bureau (ITCB), suatu kaukus antara negara produsen dan eksportir tekstil dan pakaian jadi yang dibentuk dalam merundingkan dan mengikuti proses liberalisasi perdagangan tekstil dan pakaian jadi dalam kerangka WTO. Indonesia juga menjadi anggota Cairns Group, suatu kaukus negara-negara pengekspor produk pertanian yang aktif mendorong liberalisasi perdagangan produk pertanian dalam kerangka WTO. Saat inipun Indonesia juga aktif dalam proses perundingan perdagangan multilateral WTO dalam kerangka Doha Development Agenda (DDA). Indonesia menjadi Koordinator G-33 yang anggotanya terdiri dari 45 negara dan berkepentingan dalam memperjuangkan Special Product (SP) dan Special Safeguard Measures (SSM) bagi produk pertanian negara berkembang.
Pada tatanan regional, Indonesia tergolong aktif dalam proses liberalisasi perdagangan dalam kerangka ASEAN dan APEC. Akhir-akhir ini Indonesia juga mulai aktif dalam menjajagi kemungkinan adanya suatu persetujuan perdagangan bebas secara bilateral atau Free Trade Area (FTA) dengan sejumlah negara mitra dagang tertentu.
Sebagaimana diketahui bahwa persinggungan antar negara-negara dalam proses pelaksanaan perdagangan bebas (free trade), maka tidak mungkin terhindar dari benturan-benturan kepentingan dari masing-masing negara.
Benturan-benturan tersebut dapat berupa bernilai ekonomis atau sisi keuntungan dari setiap pelaku usaha, maupun benturan akibat adanya perbedaan penafsiran perangkat hukum yang mengatur hubungan perdagangan tersebut.
Benturan yang diakibatkan perbedaan penafsiran perangkat hukum menimbulkan ekses (dampak) negatif bagi perekonomian suatu negara yang terikat perjanjian perdagangan.
Berkaitan dengan penulisan ini, penulis mencoba mengangkat permasalahan hukum terkait Banana Case, yang berintikan pada penerapan lembaga Retaliasi oleh Amerika kepada Uni Eropa sebagai akibat pelanggaran terhadap Prinsip Most Favioured Nation.
B. Permasalahan
  1. Bagaimana ketentuan dalam GATTS/WTO dalam menyelesaikan sengketa yang terjadi diantara negara anggotanya?
  2. Bilamanakah lembaga Retaliasi digunakan oleh negara anggota GATTS/WTO sebagai upaya penyelesaian sengketa?






BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Sejarah Terbentuk GATTS/WTO
Dengan diselesaikannya perundingan perdagangan multilateral Putaran Uruguay dan disepakati secara resmi oleh para menteri pada tanggal 15 April 1994 di Marrakesh, Maroko, dimulailah babak baru dalam hubungan perdagangan internasional dengan harapan agar perdagangan dunia yang bebas, adil dan terbuka dapat tercapai.
Salah satu keberhasilan perundingan perdagangan multilateral Putaran Uruguay adalah dalam upaya memperkuat kelembagaan/institusi perdagangan multilateral dengan membentuk “World Trade Organization (WTO)” pada tanggal 1 Januari 1995.[5] World Trade Organization (WTO) merupakan lembaga yang dihasilkan dari perundingan Putaran Uruguay untuk melaksanakan persetujuan-persetujuan multilateral yang dirundingkan oleh negara-negara anggotanya.
Lembaga ini dibentuk karena lemahnya dasar hukum General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) selama ini karena adanya dua masalah yang menjadi agenda dalam Putaran Uruguay namun selama ini belum pernah ditangani oleh GATT yaitu perdagangan jasa (services) dan hak atas kekayaan intelektual (intellectual property rights).
Persetujuan-persetujuan multilateral yang dihasilkan Putaran Uruguay tediri dari multilateral trade agreements dan plurilateral trade agreements. Persetujuan-persetujuan tersebut merupakan hasil perundingan atas 15 subyek Putaran Uruguay yang menyangkut masalah Tariff, Non-Tariff Measures, Tropical Products, Natural Resource-Based Products, Textiles and Clothing, Agriculture, GATT Articles, MTN Agreements and Arrangements, Subsidies and Countervailing Measures, Dispute Settlement, Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPs) including trade in counterfeit goods, Trade Related Investment Measures (TRIMs), Functioning of the GATT system (FOGs), Safeguard, dan Trade in Services.[6]
Selain menciptakan manfaat, liberalisasi perdagangan, yang merupakan sasaran akhir kesepakatan perdagangan di dalam naungan badan perdagangan dunia WTO juga menimbulkan ancaman serius terhadap perekonomian negara-negara yang melaksanakannya. Pertama, liberalisasi perdagangan mencakup penghapusan instrumen penghambat lalu lintas barang antar negara, sehingga pasar domestik setiap negara terbuka, yang berarti rentan terhadap resiko gejolak pasar dunia. Kedua, pasar dunia secara intensif mengandung resiko. Ketiga, liberalisasi perdagangan membuka peluang bagi negara-negara besar untuk menyalurkan gejolak pasar domestiknya ke pasar dunia, untuk selanjutnya disalurkan ke negara-negara mitra dagangannya (beggar thy neighbour policy).
Oleh karena itu, adalah essensial bagi setiap negara untuk tetap memiliki fleksibilitas dalam mengambil tindakan guna melindungi diri terhadap ancaman gejolak pasar dunia.
Beralihnya wadah pelaksana sistim hubungan perdagangan intemasional dari GATT 1947 sebagai “treaty” menjadi WTO sebagai suatu lembaga permanen dengan cakupan tanggung jawab yang lebih luas mulai tanggal 1 Januari 1995 memerlukan suatu tahap transisi yang tertib baik dari segi administratif maupun substantif. Oleh sebab itu, dalam lmplementation Conference yang diadakan pada tanggal 8 Desember 1994 menetapkan adanya suatu “period of co-existence” dari GATT 1947 dan WTO selama satu tahun. Periode tersebut disepakati selain agar memberikan waktu yang cukup bagi negara-negara yang tidak dapat menyelesaikan proses ratifikasi Persetujuan Pembentukan WTO sebelum 1 Januari 1995, juga agar terdapat waktu yang memadai untuk menyelesaikan kasus-kasus sengketa perdagangan yang masih belum terselesaikan dibawah GATT 1947.
Implementation Conference juga menyepakati “period of co-existence” selama satu tahun antara Agreement on Anti-Dumping dan Agreement on Subsidies and Countervailing Measures hasil Tokyo Round dan Persetujuan di bidang-bidang tersebut di bawah WTO. Selain itu juga menyepakati waktu 2 tahun bagi dipertahankannya mekanisme penyelesaian sengketa dari Komite-komite yang dibentuk dari Persetujuan-persetujuan hasil Tokyo Round.[7]
Keputusan-keputusan lainnya dari Implementation Conference adalah transfer semua asset dan liabilitas GATT kepada WTO mulai 1 Januari 1995; menyepakati anggaran bersama GATT/WTO tahun 1995; kemungkinan bagi negara penandatangan Final Act yang belum meratifikasi Persetujuan Pembentukan WTO namun diperbolehkan turut serta dalam persidangan WTO tanpa hak suara selama 7 bulan sejak berlakunya persetujuan Pembentukan WTO yaitu sampai 31 Juli 1995; dan pengaturan-pengaturan transisi guna menghindari duplikasi prosedural dan kelembagaan antara GATT dan WTO, termasuk ketentuan mengenai notifikasi tunggal (single notification) bagi kedua badan tersebut dan adanya pertemuan-pertemuan bersama bilamana diperlukan.

B. Prinsip Most Favoured Nation
Hubungan-hubungan perdagangan internasional antar negara sudah ada sejak lama. Hubungan-hubungan ini sudah ada sejak adanya negara-negara dalam arti negara kebangsaan, yaitu bentuk-bentuk awal negara dalam arti modern. Perjuangan negara-negara ini untuk memperoleh kemandirian dan pengawasan (kontrol) terhadap ekonomi internasional telah memaksa negara-negara ini untuk mengadakan hubungan-hubungan perdagangan yang mapan dengan negara-negara lainnya.
Sejarah membuktikan bahwa perdagangan internasional memegang peranan sangat menentukan dalam meneiptakan kemakmuran seluruh bangsa, tetapi di pihak lain perdagangan dan investasi internasional itu juga dapat menyengsarakan bangsa sehingga akhimya menjadi negeri jajahan. Oleh sebab itu kita perlu bertindak sangat hati-hati. Di bidang perdagangan internasional, saling ketergantungan tidak dapat dihindarkan lagj pada saat ini, apalagi dalam abad ke 21. [8]
World Trade Organization (WTO) sebagai sebuah organisasi perdagangan internasional diharapkan dapat menjembatani semua kepentingan negara di dunia dalam sektor perdagangan melalui ketentuan-ketentuan yang disetujui bersama. WTO ditujukan untuk menghasilkan kondisi-kondisi yang bersifat timbal balik dan saling menguntungkan sehingga semua negara dapat menarik manfaatnya. Melalui WTO, diluncurkan suatu model perdagangan dimana kegiatan perdagangan antar negara diharapkan dapat berjalan dengan lancar.
Pada prinsipnya World Trade Organization (WTO) merupakan suatu sarana untuk mendorong terjadinya suatu perdagangan bebas yang tertib dan adil di dunia ini. Dalam menjalankan tugasnya untuk mendorong terciptanya perdagangan bebas tersebut, World Trade Organization (WTO) memberlakukan beberapa prinsip yang menjadi pilar-pilar World Trade Organization (WTO). Yang terpenting di antara prinsip-prinsip tersebut adalah sebagai berikut: Prinsip Perlindungan Melalui Tarif, Prinsip National Treatment, Prinsip Most Favoured Nations, Prinsip Reciprocity (Timbal Balik), Prinsip Larangan Pembatasan Kuantitatif. Prinsip Most Favoured Nations merupakan prinsip dasar (utama) WTO yang menyatakan bahwa suatu kebijakan perdagangan harus dilaksanakan atas dasar nondiskriminatif, yakni semua negara harus diperlakukan atas dasar yang sama dan semua negara menikmati keuntungan dari suatu kebijaksanaan perdagangan.[9]
Di dalam perkembangannya, WTO memiliki 5 (lima) prinsip dasar  GATT/WTO yaitu :[10]
  1. Perlakuan yang sama untuk semua anggota (Most Favoured Nations Treatment-MFN).
Prinsip ini diatur dalam pasal I GATT 1994 yang mensyaratkan semua komitman yang dibuat atau ditandatangani dalam rangka  GATT-WHO harus diperlakukan secara sama  kepada semua negara anggota  WTO (azas non diskriminasi) tanpa syarat. Misalnya suatu negara tidak diperkenankan untuk menerapkan tingkat tarif yang berbeda kepada suatu negara dibandingkan dengan negara lainnya.
Dengan berdasarkan prinsip MFN, negara-negara anggota tidak dapat begitu saja mendiskriminasikan mitra-mitra dagangnya. Keinginan tarif impor yang diberikan pada produk suatu negara harus diberikan pula kepada produk impor dari mitra dagang negara anggota lainnya.
  1. Pengikatan Tarif (Tariff binding)
Prinsip ini diatur dalam pasal II GATT 1994 dimana setiap negara anggota GATT atau WTO harus memiliki daftar produk yang tingkat bea masuk atau tarifnya harus diikat (legally bound). Pengikatan atas tarif ini dimaksudkan  untuk menciptakan  “prediktabilitas” dalam urusan bisnis perdagangan internasional/ekspor. Artinya suatu negara anggota tidak diperkenankan untuk sewenang-wenang merubah atau menaikan tingkat tarif bea masuk.
1. Perlakuan nasional (National treatment)
Prinsip ini diatur dalam pasal III GATT 1994 yang mensyaratkan bahwa suatu negara tidak diperkenankan untuk memperlakukan secara diskriminasi antara produk impor dengan produk dalam negeri (produk yang sama) dengan tujuan untuk melakukan proteksi. Jenis-jenis tindakan yang dilarang berdasarkan ketentuan ini antara lain, pungutan dalam negeri, undang-undang, peraturan dan persyaratan yang mempengaruhi  penjualan, penawaran penjualan, pembelian, transportasi, distribusi atau penggunaan produk, pengaturan tentang jumlah yang mensyaratkan campuran, pemrosesan  atau penggunaan produk-produk dalam negeri. Negara anggota diwajibkan untuk memberikan perlakuan sama atas barang-barang impor dan lokal- paling tidak setelah barang impor memasuki pasar domestik.
2. Perlindungan hanya melalui tarif.
Prinsip ini diatur dalam pasal XI dan mensyaratkan bahwa perlindungan atas industri dalam negeri hanya diperkenankan melalui tarif.
3. Perlakuan  khusus dan berbeda bagi negara-negara berkembang (Special dan Differential Treatment  for developing countries – S&D).[11]
Untuk meningkatkan partisipasi nagara-negara berkembang dalam perundingan perdagangan internasional, S&D ditetapkan menjadi salah satu prinsip GATT/WTO. Sehingga semua persetujuan WTO memiliki ketentuan yang mengatur perlakuan khusus dan berbeda bagi negara berkembang. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan kemudahan-kemudahan bagi negara-negara berkembang anggota WTO untuk melaksanakan persetujuan WTO.
Berkaitan dengan dengan pembahasan dalam penulisan ini, maka perlu diketahui bahwa Prinsip Most Favoured Nation (MFN) mengandung arti bahwa setiap kali salah satu negara anggota menambah keuntungan yang diberikan kepada satu mitra dagang tersebut harus memberikan perlakuan “terbaik” yang sama kepada seluruh anggota lain dalam WTO sehingga semua tetap sejajar.
Setiap negara harus memberikan perlakuan yang sama – tanpa keberpihakan atau diskriminasi – terhadap barang dan jasa seluruh anggota WTO.
Prinsip ini mewajibkan kepada negara-negara yang meratifikasi GATT agar memberikan kebijakan perdagangan didasarkan atas perlakuan nondiskriminatif. Prinsip ini mewajibkan semua negara anggota terikat untuk memberikan negara-negara lainnya perlakuan yang sama dalam pelaksanaan dan kebijakan impor dan ekspor serta yang menyangkut biaya-biaya lainnya. Perlakuan yang sama tersebut harus dijalankan dengan segera dan tanpa syarat (immediately and unconditionally) terhadap produk yang berasal atau yang diajukan kepada semua anggota GATT. Oleh karena itu, suatu negara tidak boleh memberikan perlakuan istimewa kepada negara lain atau melakukan tindakan diskriminasi terhadapnya. Semua negara harus diperlakukan atas dasar yang sama dan semua negara menikmati keuntungan dari suatu kebijaksanaan perdagangan.
Beberapa pengecualin bisa diterima. Misalnya negara-negaradalam satu kawasan dapat membuat kesepakatan perdagangan bebas yang tidak berlaku untuk barang-barang dari luar kelompok tersebut. Selain itu, sebuah negara dapat membatasi produk-produk dari negara tertentu yang dianggap diperdagangkan dengan secara tidak fair. Di bidang jasa, negara-negara diizinkan untuk melakukan diskriminasi dilingkungan terbatas. Akan tetapi, kesepakatan hanya memberikan pengecualian-pengecualian dengan syarat yang ketat.
Pelaksanaan prinsip MFN dapat dikecualikan berdasarkan pada aturan dalam GATT, khususnya dalam menyangkut kepentingan negara sedang berkembang. Pengecualian atau penanggalan (waiver) terhadap prinsip MFN dalam GATT berdasarkan Pasal XXIV. Pengecualian yang dimaksud adalah sebagai berikut :[12]
  1. Anggota-anggota GATT yang membentuk suatu Free Trade Area yang memenuhi persyaratan Pasal XXIV tidak harus memberikan perlakuan yang sama kepada negara anggota lainnya. Negara-negara yang membentuk pengaturan preferensial regional dan bilateral yang tidak memenuhi persyaratan Pasal XXIV, dapat membentuk pengecualian dengan menggunakan alasan penanggalan (waiver) terhadap ketentuan GATT. Penanggalan ini dapat dilakukan atau diminta oleh suatu negara anggota, memohon pengecualian dari kewajiban tertentu yang ditetapkan oleh GATT ketika ekonominya atau keadaan perdagangannya dalam keadaan yang sulit.
  2. Pembentukan Custom Union, yang merupakan kesepakatan antara beberapa negara dengan batas-batas wilayah tertentu untuk memberikan keistimewaan berupa pembebasan bea masuk terhadap barang-barang impor dari negara-negara yang bergabung.
  3. Adanya perjanjian yang di kemudian hari akan berakibat pada adanya pembetukan custom union maupun free trade area.
Menurut Huala Adolf, penaggalan prinsip MFN selain dari Pasal XXIV, juga dapat diberlakukan apabila menyangkut hal-hal sebagai berikut:[13]
  1. Pemberian preferensi tarif oleh negara-negara maju kepada produk impor dari negara yang sedang berkembang atau negara-negara yang kurang beruntung (least developed) melalui fasilitas Generalized System of Preference (Sistem Preferensi Umum).
  2. Negara memperoleh keuntungan dikarenakan adanya jarak lalu lintas, sebagaimana diatur dalam Pasal VI.
  1. C. Penyelesaian Sengketa Dalam Kerangka GATTS/WTO
Sistem Penyelesaian Sengketa World Trade Organization (WTO)/ Dispute Settlement Understanding (DSU) adalah tulang punggung dari rejim perdagangan multilateral saat ini. Sistem ini diciptakan oleh para Negara anggota WTO pada saat Uruguay Round dengan harapan untuk  menciptakan suatu sistem yang kuat dan dapat mengikat semua pihak  dalam rangka menyelesaikan sengketa perdagangan dalam kerangka WTO. Dengan sistem penyelesaian sengketa ini juga diharapkan agar  negara anggota dapat mematuhi peraturan-peraturan yang disepakati dalam WTO Agreement. Sistem penyelesaian sengketa ini juga dinilai sebagai kontribusi unik dari WTO terhadap kestabilan perekonomian global. Sistem penyelesaian sengketa WTO dibentuk sebagai  pembaruan dari sistem penyelesaian sengketa General Agreement on  Tariff and Trade (GATT) yang sebelumnya ada. Dengan sistem  penyelesaian sengketa WTO diharapkan akan diperoleh kestabilan dan  perkiraan peraturan perdagangan internasional yang berpihak pada  kegiatan bisnis, petani, pekerja dan konsumen dari seluruh dunia.
Sistem penyelesaian sengketa WTO memainkan peran penting dalam mengklarifikasi dan penegak an kewajiban anggota dalam WTO Agreement. Penyelesaian sengketa memang bukan kegiatan utama dalam  kinerja organisasi WTO, namun penyelesaian sengketa adalah bagian  yang sangat penting dalam kenyataan kinerja organisasi. Penyelesaian sengketa WTO juga menjadi perangkat penting dalam manajemen  negara anggota WTO dan kaitannya dengan hubungan ekonomi yang luas.
Sengketa dapat muncul ketika suatu negara menetapkan suatu  kebijakan perdagangan tertentu yang bertentangan dengan  komitmennya di WTO atau mengambil kebijakan kemudian  merugikan negara lain. Selain negara yang paling dirugikan  oleh  kebijakan tersebut, negara ketiga yang tertarik pada kasus tersebut dapat  mengemukakan keinginannya untuk menjadi pihak ketiga dan mendapatkan hak-hak tertentu selama berlangsungnya proses   penyelesaian sengketa.
Negara – negara anggota WTO telah sepakat bahwa jika ada  negara anggota yang melanggar peraturan perdagangan WTO, negara-negara anggota tersebut akan menggunakan system penyelesaian  multilateral daripada melakukan aksi sepihak. Ini berarti negara-negara  tersebut harus mematuhi prosedur yang telah disepakati dan menghormati putusan yang diambil.[14]
Meskipun banyak prosedur WTO yang mirip dengan proses pengadilan, negara-negara anggota yang bersengketa tetap diharapkan untuk melakukan perundingan dan menyelesaikan masalah mereka  sendiri sebelum terbentuknya panel. Oleh karena itu, tahap pertama  yang dilakukan adalah konsultasi antar pemerintah yang terlibat dalam  suatu kasus. Bahkan sekiranya kasus tersebut melangkah ke kasus berikutnya, konsultasi dan mediasi tetap dimungkinkan.
Persetujuan DSU juga menutup kemungkinan suatu Negara yang kalah dalam kasus tertentu untuk menghalang-halangi putusan. Di bawah ketentuan GATT, suatu putusan disahkan  berdasarkan konsensus, yang berarti tidak ada keputusan jika terdapat keberatan dari suatu negara.
Di bawah ketentuan WTO, putusan secara  otomatis disahkan kecuali ada konsensus untuk menolak hasil putusan,  dengan mekanisme ini maka negara yang ingin menolak suatu hasil  putusan harus melobi seluruh anggota WTO lainnya untuk  membatalkan keputusan panel termasuk anggota WTO yang menjadi lawan dalam kasus tersebut.
Jadi penyelesaian sengketa WTO mengandung prinsip-prinsip:  adil, cepat, efektif dan saling menguntungkan. Berkaitan dengan proses penyelesaian sengketa dalam ketentuan WTO, maka terdapat 2 (dua) tingkat proses yaitu sebagai berikut:
1. DSB dan Panel[15]
Penyelesaian sengketa menjadi tanggung jawab Badan  Penyelesaian Sengketa (Dispute Settlement Body/ DSB) yang  merupakan penjelmaan dari Dewan Umum (General  Council/GC). DSB adalah satu-satunya badan yang memiliki  otoritas membentuk Panel yang terdiri dari para ahli yang  bertugas menelaah kasus. DSB dapat juga menerima atau  menolak keputusan Panel atau keputusan pada tingkat banding. DSB tersebut memonitor pelaksanaan putusan-putusan dan  rekomendasi serta memiliki kekuasaan/wewenang untuk  mengesahkan retaliasi jika suatu negara tidak mematuhi suatu putusan.
2. Banding [16]
Tiap pihak yang bersengketa dapat mengajukan banding atas   putusan panel. Kadang-kadang kedua belah pihak sama-sama  mengajukan banding. Namun banding harus didasarkan pada  suatu peraturan tertentu seperti interpretasi legal atas suatu ketentuan/pasal dalam suatu persetujuan WTO. Banding tidak  dilakukan untuk menguji kembali bukti-bukti yang ada atau bukti- bukti yang muncul, melainkan untuk meneliti argumentasi yang  dikemukakan oleh Panel sebelumya. Tiap upaya banding diteliti oleh tiga dari tujuh anggota tetap Badan Banding (Appelate  Body/AB) yang ditetapkan oleh DSB dan berasal dari anggota  WTO yang mewakili kalangan luas. Anggota AB memiliki masa kerja 4 (empat) tahun.  Mereka harus berasal dari individu- individu yang memiliki reputasi dalam bidang hukum dan  perdagangan internasional, dan lepas dari kepentingan negara  manapun Keputusan pada tingkat banding dapat menunda,  mengubah ataupun memutarbalikan temuan-temuan dan putusan  hukum dari panel. Biasanya banding membutuhkan waktu tidak  lebih dari 60 hari, dan batas maksimumnya 90 hari. DSB harus  menerima ataupun menolak laporan banding tersebut dalam jangka waktu tidak lebih dari 30 hari dimana penolakan hanya  dimungkinkan melalui konsensus.
D. Lembaga Retaliasi
Retaliasi atau tindakan pembalasan di bidang perdagangan antar Negara dalam kerangka WTO dilakukan oleh suatu Negara sebagai akibat dari tidak tercapainya suatu kesepakatan dalam proses  penyelesaian sengketa. Pengertian yang terdapat dalam Ketentuan  WTO[17], retaliasi dilakukan sebagai upaya terakhir ketika dalam suatu penyelesaian sengketa, upaya pemenuhan konsesi tidak dapat tercapai  dalam jangka waktu yang telah ditentukan.[18]
Dalam praktek di WTO,  instrument retaliasi sungguh jarang dilakukan oleh Negara anggota. Hal  ini dikarenakan banyak hal yang melatarbelakangi tidak dilakukannya  retaliasi di antara anggota WTO. Salah satu alasan yang mungkin dapat  diterima adalah tingginya nuansa politis dalam penerapan retaliasi  suatu Negara anggota kepada negara anggota lainnya.
Sebelum WTO terbentuk pada tahun 1995, di dalam kerangka GATT telah dikenal pula instrument retaliasi berarti adalah suatu  tindakan yang dilakukan oleh suatu Negara dimana ekspor dari negara  tersebut terkena imbas kenaikan tarif masuk dan hambatan  perdagangan lainnya yang dilakukan oleh pemerintah negara lain.  GATT mengijinkan negara yang merasa dirugikan untuk melakukan  tindakan pembalasan secara terbatas kepada negara lain yang menjadi  penyebab kerugian perdagangan, namun hal ini dilakukan setelah  konsultasi dengan negara-negara anggota lainnya, atau negara-negara  yang mengalami nasib yang sama akibat tindakan dari suatu negara  tersebut. Dalam teorinya volume perdagangan yang terkena tindakan  retaliasi nilainya harus diperkirakan sama dengan nilai proteksi impor  yang diberlakukan oleh negara yang mana retaliasi ingin diterapkan.
Menurut Pasal 22 DSU Agreement WTO dikemukakan bahwa  ganti kerugian dan penangguhan konsesi atau kewajiban lainnya  merupakan tindakan sementara yang diberikan apabila rekomendasi  dan keputusan tidak dilaksanakan dalam jangka waktu yang wajar. Bila  permintaan ganti kerugian ini tidak dapat dilaksanakan oleh pihak yang  tergugat maka pihak penggugat dapat melakukan tindakan retaliasi  sebagaimana yang diatur dalam pasal 22 (3) DSU Agreement. [19]
Dalam melakukan retaliasi, suatu negara dapat melakukan  pemberlakuan bea masuk tambahan berkaitan dengan barang yang menjadi objek sengketa.



BAB III
KASUS BANANA
(AMERIKA vs UNI EROPA)

A. Kronologis Kasus
Kasus Buah Pisang ini dimulai persengketaannya pada tahun 1995, pada tahun pertama WTO terbentuk, namun kecaman terhadap  kebijakan European Union dalam hal perdagangan pisang telah  dimulai jauh sebelum tahun 1995. Uni Eropa memiliki kebijakan  impor yang sangat rumit dalam bidang perdagangan pisang dimana Uni  Eropa memberikan kekhususan dalam impor pisang dari negara-negara  eks koloni negara yang tergabung dalam Uni Eropa, juga memberikan perlakukan khusus kepada importer pisang dari negara-negara eks  koloni tersebut.
Dalam kasus lain Uni Eropa juga memberlakukan kekhususan impor buah pisang dari negara – Negara bekas koloni Uni Eropa di Amerika Latin. Hal ini menuai protes dari negara-negara lain termasuk Amerika  Serikat.
B. Penyelesaian Sengketa
Pada bulan September 1995, Amerika Serikat, Guatemala, Meksiko dan Honduras mengajukan permintaan konsultasi kepada Badan Penyelesaian Sengketa WTO (WTO Dispute Settlement Body/DSB). Ekuador kemudian menggabungkan diri dengan ketiga negara tadi  untuk mengajukan tuntutan kepada Uni Eropa. Menanggapi  permintaan dari negara-negara anggotanya, WTO kemudian  membentuk Panel dan mulai bekerja menangani permasalahan peraturan impor pisang Uni Eropa ini. Panel yang telah dibentuk  tersebut kemudian mengeluarkan laporan yang isinya secara umum  menyatakan bahwa Uni Eropa dengan peraturan impornya telah  melanggar beberapa peraturan yang diamanatkan dalam Ketentuan WTO.
Menanggapi laporan dari Panel tersebut Uni Eropa kemudian mengajukan banding ke Appelate Body atas laporan dan kesimpulan yang dihasilkan oleh Panel. Di tingkat banding di Appelate Body, ternyata Appelate Body mendukung  keputusan yang telah dihasilkan  oleh Panel, dan memperkuat putusan tersebut di dalam Laporan  Appelate Body. Appelate Body dalam laporannya menyatakan bahwa  memang benar EU telah menerapkan kebijakan impor yang melanggar beberapa ketentuan dalam WTO.
Dengan adanya keputusan tersebut maka Uni Eropa harus membenahi peraturannya untuk dapat selaras dengan ketentuan dalam WTO. Setelah melalui beberapa tahap perundingan dan sidang Panel serta Appelate Body yang kemudian dilanjutkan ke tahap arbitrase untuk menentukan jangka waktu yang diberikan kepada Uni Eropa untuk menyelaraskan peraturan impornya dalam hal buah pisang. Keputusan Arbitrase WTO memberikan jangka waktu 15 bulan atau bagi Uni  Eropa untuk memperbaiki ketentuan impornya atau paling lambat  hingga bulan Januari 1999. Uni Eropa berargumentasi bahwa  pelaksanaan pengaturan yang akan disesuaikan dengan keputusan DSB  baru akan dilaksanakan setelah 15 bulan.
Terhadap argumentasi Uni Eropa tersebut DSB menolak penafsiran itu dan meminta Uni Eropa untuk segera melakukan penyesuaian. Terhadap kasus yang lain Amerika Serikat bersama dengan negara- Negara pengekspor buah pisang seperti Guatemala, Mexico, dan  Honduras mengajukan konsultasi terhadap kebijakan Uni Eropa  tersebut ke Dewan Panel Dispute Settlement Body. Dalam putusannya,  Dewan Panel memutuskan bahwa yang dilakukan oleh Uni Eropa  bertentangan dengan prinsip dan ketentuan WTO, khususnya  mengenai prinsip Most Favoured  Nation. Uni Eropa mengajukan banding ke Appelate Body WTO, dan dalam tingkatan banding ini, Appleate Body juga mendukung keputusan Panel dan menyatakan bahwa Uni Eropa harus mengubah kebijakannya dalam impor buah pisang tersebut di atas.
Dalam kasus buah pisang, Uni Eropa kemudian mengendurkan kebijakannya, dan memberikan kesempatan bagi negara lain termasuk Amerika Serikat untuk bisa mengekspor buah pisang ke negara -negara  anggota Uni Eropa. Namun permasalahan tidak selesai sampai disitu.  Amerika Serikat beserta negara – negara lain yang menggugat Uni Eropa  dalam menerapkan kebijakannya mengajukan permintaan kompensasi  kepada Uni Eropa berkaitan dengan penerapan kebijakan Uni Eropa  dalam melarang impor buah pisang dari negaranegara penfggugat tadi  dan hanya membolehkan impor buah pisang dari negara – negara  koloninya di Amerika Latin.
Kompensasi yang diminta oleh Amerika Serikat beserta dengan negara –  negara penggugat lainnya adalah dalam bentuk imbalan yang jumlahnya  sebesar kerugian potensial yang dialami oleh Negara-negara penggugat selama Uni Eropa memberlakukan kebijakannya tersebut.
Besaran imbalan yang diminta oleh Amerika Serikat tersebut diajukan setelah melalui serangkaian proses yang diajukan oleh Amerika Serikat  kepada Dispute Settlement Body. DSB dalam hal ini melalui keputusan  arbitrase menentukan bahwa permintaan Amerika Serikat terhadap  Uni Eropa tersebut masuk akal dan selanjutnya Amerika Serikat memberlakukan pengenaan tariff tersebut kepada beberapa produk pilihan yang diimpor dari Uni Eropa.
Amerika Serikat kemudian meminta konsesi dagang kepada Uni Eropa  sebesar US$ 520 Juta. Terhadap hal ini Uni Eropa menyatakan untuk  membawa tuntutan Amerika Serikat tersebut ke forum arbitrase. Dalam  forum arbitrase, para arbitrator memutuskan untuk mengabulkan  permintaan konsesi yang diajukan oleh Amerika Serikat namun dengan  jumlah yang dikoreksi yaitu menjadi sebesar US$ 191,4 juta. Terhadap  jumlah tersebut Amerika Serikat pada tanggal 19 April 1999  mengenakan tambahan tarif sebesar 100% untuk beberapa produk  impor dari Uni Eropa dalam suatu daftar produk dimana pengenaan tambahan tarif tersebut memiliki total nilai sebesar US$ 191,4 juta.
Daftar produk yang dikenakan tarif tambahan oleh Amerika Serikat ini  adalah suatu bentuk retaliasi yang dijalankan oleh Amerika Serikat mengingat sengketa yang dilakukan antara Uni Eropa dan negara mitra dagang lainnya tidak menghasilkan kesepakatan bahwa Uni Eropa akan merevisi ketentuan impor dagangnya khusus untuk produk buah  pisang.
Pejabat perdagangan Amerika Serikat dalam memilih daftar produk yang akan dikenakan tambahan tariff retaliasi dengan cara menentukan daftar produk yang berasal dari Uni Eropa dimana produk-produk  tersebut adalah produk yang berkaitan dengan masalah perdagangan  buah pisang. Pengenaan tarif yang tinggi yang dilakukan oleh Amerika  Serikat akan menyebakan gangguan dalam total ongkos produksi dan  dengan demikian akan menyebabkan kerugian di pihak eksportir  Amerika Serikat. Negara Uni Eropa yang paling terkena dampak dari pengenaan tarif retaliasi ini adalah Inggris dan Perancis.

C. Analisis Kasus
Mekanisme dalam melakukan retaliasi oleh Amerika Serikat dimana pejabat perdagangan memilih dan menentukan produk yang akan diretaliasi dari negara pengekspor dikenal sebagai carousel retaliation. Dengan carousel retaliation ini, maka Amerika Serikat telah memiliki peraturan nasional untuk menjalankan  hak untuk melakukan tindakan retaliasi di bidang perdagangan internasional yang diatur dalam pasal 22 DSU Agreement khususnya pasal 22 ayat 3.
Dalam Pasal 22 ayat (3) DSU Agreement menegaskan sebagai berikut:
“Dalam mempertimbangkan apa konsesi atau kewajiban lainnya untuk sementara, maka pihak yg mengeluh akan menerapkan prinsip-prinsip dan prosedur berikut ini:
a).           the general principle is that the complaining party should first seek to suspend concessions or other obligations with respect to the same sector(s) as that in which the panel or Appellate Body has found a violation or other nullification or impairment;

Terjemahan bebas :prinsip umum yg mengeluh bahwa pihak pertama harus berusaha untuk menangguhkan konsesi atau kewajiban lainnya sehubungan dengan sektor yang sama (s) seperti yang di panel atau Appellate Body telah menemukan pelanggaran atau lainnya kebatalan atau perusakan
b).          if that party considers that it is not practicable or effective to suspend concessions or other obligations with respect to the same sector(s), it may seek to suspend concessions or other obligations in other sectors under the same agreement;
Terjemahan bebas :jika pihak yang menganggap bahwa itu efektif atau tidak praktis untuk menangguhkan konsesi atau kewajiban lainnya sehubungan dengan sektor yang sama (s), mungkin berusaha untuk menangguhkan konsesi atau kewajiban lainnya di sektor lain yang sama di bawah perjanjian
c).           if that party considers that it is not practicable or effective to suspend concessions or other obligations with respect to other sectors under the same agreement, and that the circumstances are serious enough, it may seek to suspend concessions or other obligations under another covered agreement;

Terjemahan bebas :jika pihak yang menganggap bahwa itu efektif atau tidak praktis untuk menangguhkan konsesi atau kewajiban lainnya sehubungan dengan sektor lainnya di bawah perjanjian yang sama, dan bahwa keadaan tersebut cukup serius, mungkin berusaha untuk menangguhkan konsesi atau kewajiban lain yang dibahas di bawah perjanjian;
d).          in applying the above principles, that party shall take into account:
Terjemahan bebas : dalam menerapkan prinsip-prinsip di atas, bahwa pihak harus mempertimbangkan”:
(i) the trade in the sector or under the agreement under which the panel or Appellate Body has found a violation or other nullification or impairment, and the importance of such trade to that party;

Terjemahan bebas :di sektor perdagangan atau di bawah perjanjian yang di bawah panel atau Appellate Body telah menemukan pelanggaran atau lainnya kebatalan atau perusakan, dan pentingnya seperti perdagangan ke pihak tersebut
(ii) the broader economic elements related to the nullification or impairment and the broader economic consequences of the suspension of concessions or other obligations;
Terjemahan bebas :ekonomi yang lebih luas yang berhubungan dengan unsur kebatalan atau yang lebih luas dan pelemahan ekonomi akibat dari penangguhan dari konsesi atau kewajiban lainnya
e).           if that party decides to request authorization to suspend concessions or other obligations pursuant to subparagraphs (b) or (c), it shall state the reasons therefor in its request. At the same time as the request is forwarded to the DSB, it also shall be forwarded to the relevant Councils and also, in the case of a request pursuant to subparagraph (b), the relevant sectoral bodies;

Terjemahan bebas :jika pihak yang memutuskan untuk meminta otorisasi untuk menangguhkan konsesi atau kewajiban lainnya berdasarkan subparagraphs (b) atau (c), maka negara akan alasan dalam permintaan itu. Pada saat yang sama sebagai permintaan diteruskan ke DSB, hal itu juga akan diteruskan kepada Dewan dan juga, dalam hal permintaan berdasarkan subparagraph (b), badan-badan sektor yang relevan”.
f).            for purposes of this paragraph, “sector” means:
Terjemahan bebas :untuk tujuan ayat ini, “sektor” berarti
(i) with respect to goods, all goods;
Terjemahan bebas :sehubungan dengan barang, semua barang
(ii) with respect to services, a principal sector as identified in the current “Services Sectoral Classification List” which identifies such sectors;
Terjemahan bebas :sehubungan dengan layanan tersebut, yang diidentifikasi sebagai sektor utama dalam saat ini “Layanan Sektoral Klasifikasi List” yang mengidentifikasikan sektor-sektor seperti
(iii) with respect to trade-related intellectual property rights, each of the categories of intellectual property rights covered in Section 1, or Section 2, or Section 3, or Section 4, or Section 5, or Section 6, or Section 7 of Part II, or the obligations under Part III, or Part IV of the Agreement on TRIPS;

Terjemahan bebas :sehubungan dengan perdagangan yang berhubungan dengan hak kekayaan intelektual, masing-masing kategori dari hak kekayaan intelektual yang tercakup dalam Pasal 1, atau Bagian 2, Bagian atau 3, atau Pasal 4, atau Pasal 5, atau Pasal 6, atau 7 dari Bagian Bagian II, atau kewajiban berdasarkan Bagian III, Bagian IV atau dari Kesepakatan TRIPS
g).           for purposes of this paragraph, “agreement” means:
Terjemahan bebas :untuk tujuan ayat ini, “perjanjian” berarti
(i) with respect to goods, the agreements listed in Annex 1A of the WTO Agreement, taken as a whole as well as the Plurilateral Trade Agreements in so far as the relevant parties to the dispute are parties to these agreements;

Terjemahan bebas :sehubungan dengan barang, kesepakatan yang tercantum dalam lampiran 1A dari Perjanjian WTO, diambil secara keseluruhan serta dalam Perjanjian Perdagangan Plurilateral sejauh ini sebagai pihak yang terkait dengan sengketa adalah pihak untuk perjanjian ini
(ii) with respect to services, the GATS;
Terjemahan bebas :sehubungan dengan layanannya, GATS;
(iii) with respect to intellectual property rights, the Agreement on TRIPS.
Terjemahan bebas :sehubungan dengan hak kekayaan intelektual, pada Perjanjian TRIPS
Retaliasi yang dilakukan oleh Amerika kepada Uni Eropa, merupakan suatu hak yang dimiliki dan diperbolehkan oleh ketentuan GATTS/WTO.
Kebijakan penerapan retaliasi tersebut rupanya di dukung oleh seperangkat pengaturan yang telah dimiliki oleh Amerika dengan beracuan kepada ketentuan GATTS/WTO.
Kebijakan tersebut secara politis dapat dimaklumi dikarenakan Amerika sebagai Negara maju tidak banyak bergantung dengan Uni Eropa. Hal tersebut dibuktikan dengan Negara Inggris dan Prancis yang sangat merasakan dampaknya.




BAB IV
KESIMPULAN

A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka terlihat jelas bahwa US Goverment memberikan perlindungan hukum secara pasti dan tegas serta memperjuangkan kepentingan industri dalam negerinya, dengan menerbitkan peraturan-peraturan yang mengacu kepada ketentuan GATTS/WTO.
Berbeda hal nya dengan Pemerintah di Indonesia, bahwa banyak baik pakar ekonomi maupun pelaku usaha insudtri dalam negeri belum merasakan adanya perlindungan hukum oleh Pemerintah dalam kancah perdagangan internasional.
Yang menjadi persoalan dalam negeri Indonesia adalah bahwa permasalahan hukum yang kemudian diselesaikan melalui jalur politis dengan jalan bargaining. Seperti contohnya antara perkara Indonesia dengan Korea.
Nampak bahwa Pemerintah tidak berani mengambil langkah retaliasi kepada Korea, sedangkan pelaku usaha dalam negeri jelas dirugikan secara financial yang sangat besar.
B. Saran
Berkaitan dengan uraian-uraian tersebut, maka hendaknya Pemerintah bersama DPR segera mengeluarkan pengaturan mengenai Retaliasi, guna memberikan jaminan perlindungan hukum bagi industri dalam negeri.
DAFTAR PUSTAKA


1. Erman Rajagukguk. Peranan Hukum dalam Pembangunan pada Era Globalisasi: Implikasinya bagi Pendidikan Hukum di Indonesia. Pidato Pengukuhan Guru Besar di ucapkan pada upacara penerimaan guru besar bidang hukum di fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta 4 Januari 1997.
2. Richard C. Breeden, ”The globalization of Law and Business in the 1990s,” Wake Forest Law Review, vol. 28 No.3, 1993
3. Lovetya, World Trade Organisation, UNIVERSITAS BRAWIJAYA, FAKULTAS HUKUM, MALANG, Tahun 2009.
4. Lovetya, Perlindungan Terhadap Kepentingan Nasional Melalui Pengecualian Penerapan Prinsip Prinsip WTO Untuk Negara Berkembang, Universitas Brawijaya Fakutas Hukum Malang, Tahun 2008.
5. Pengaruh Globalisasi Ekonomi Dan Hukum Ekonomi Internasional Dalam Pembangunan Hukum Ekonomi Di Indonesia, Sumber: http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2009/12/pengaruh-globalisasi-ekonomi-dan-hukum-ekonomi-internasional-dalam-pembangunan-hukum-ekonomi-di-indonesia/
6. Bulletin DJKPI, Paket Juli 2004 World Trade Organization (WTO) Dan Implikasinya Terhadap Kebijakan Indonesia, Sumber: http://ditjenkpi.depdag.go.id/index.php?module=news_detail&news_content_id=422&detail=true, tanggal Selasa, 07 Februari 2006
7. “World Trade Organization Sebagai Lembaga Pelaksana Dalam Mewujudkan Liberalisasi Perdagangan Dunia”, tersedia (On-Line) di WWW: http://www.ditjenkpi.go.id/website_kpi/files/content/4/wto20041030112836.pdf.
8. Suci Yunita Siregar, Penerapan Prinsip Non Diskriminasi Pada Sistem Perdagangan Multilateral Dalam Kerangka WTO (World Trade Organization), Sumber: http://library.usu.ac.id/index.php/component/journals/index.php?option=com_journal_review&id=5579&task=view
9. “GATT Dan WTO”, Sumber: http://one.indoskripsi.com/judul-skripsi-tugas-makalah/hubungan-internasional/gatt-dan-wto, tanggal 9 November 2008
9. Freddy Josep Pelawi, Penyelesaian Sengketa WTO Dan Indonesia, Staf Advokasi Tuduhan Dumping, Direktorat Pengamanan Perdagangan, Ditjen Kerjasama Perdagangan Internasional, Departemen Perdagangan Republik Indonesia, Sumber: http://ditjenkpi.depdag.go.id/website_kpi/images/Bulletin
10. Annex 2: Understanding On Rules And Procedures Governing The Settlement Of Disputes – WTO


[1] Erman Rajagukguk. Peranan Hukum dalam Pembangunan pada Era Globalisasi: Implikasinya bagi Pendidikan Hukum di Indonesia. Pidato Pengukuhan Guru Besar di ucapkan pada upacara penerimaan guru besar bidang hukum di fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta 4 Januari 1997. [2] Pengaruh Globalisasi Ekonomi Dan Hukum Ekonomi Internasional Dalam Pembangunan Hukum Ekonomi Di Indonesia, Sumber: http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2009/12/pengaruh-globalisasi-ekonomi-dan-hukum-ekonomi-internasional-dalam-pembangunan-hukum-ekonomi-di-indonesia/
[3] Richard C. Breeden, ”The globalization of Law and Business in the 1990s,” Wake Forest Law Review, vol. 28 No.3, 1993, hlm.514
[4] Bulletin DJKPI, Paket Juli 2004 World Trade Organization (WTO) Dan Implikasinya Terhadap Kebijakan Indonesia, Sumber: http://ditjenkpi.depdag.go.id/index.php?module=news_detail&news_content_id=422&detail=true, tanggal Selasa, 07 Februari 2006
[5] Lovetya, World Trade Organisation, UNIVERSITAS BRAWIJAYA, FAKULTAS HUKUM, MALANG, Tahun 2009.
[6] “World Trade Organization Sebagai Lembaga Pelaksana Dalam Mewujudkan Liberalisasi Perdagangan Dunia”, tersedia (On-Line) di WWW: http://www.ditjenkpi.go.id/website_kpi/files/content/4/wto20041030112836.pdf.
[7] Ibid
[8] Suci Yunita Siregar, Penerapan Prinsip Non Diskriminasi Pada Sistem Perdagangan Multilateral Dalam Kerangka WTO (World Trade Organization), Sumber: http://library.usu.ac.id/index.php/component/journals/index.php?option=com_journal_review&id=5579&task=view
[9] Lovetya, 2009, Op.Cit.
[10] Lovetya, Perlindungan Terhadap Kepentingan Nasional Melalui Pengecualian Penerapan Prinsip Prinsip WTO Untuk Negara Berkembang, Universitas Brawijaya Fakutas Hukum Malang, Tahun 2008.
[11] Ibid
[12] “GATT Dan WTO”, Sumber: http://one.indoskripsi.com/judul-skripsi-tugas-makalah/hubungan-internasional/gatt-dan-wto, tanggal 9 November 2008
[13] Ibid
[14] Freddy Josep Pelawi, Penyelesaian Sengketa WTO Dan Indonesia, Staf Advokasi Tuduhan Dumping, Direktorat Pengamanan Perdagangan, Ditjen Kerjasama Perdagangan Internasional, Departemen Perdagangan Republik Indonesia, Sumber: http://ditjenkpi.depdag.go.id/website_kpi/images/Bulletin
[15] Lihat Article 6: Establishment of Panels dari Annex 2: Understanding On Rules And Procedures Governing The Settlement Of Disputes – WTO
[16] Lihat Article 17: Standing Appellate Body dari Annex 2: Understanding On Rules And Procedures Governing The Settlement Of Disputes – WTO
[17] Retaliation: Action taken by a country whose exports are adversely affected by the raising of tariffs or other trade restricting measures by another country. The GATT permits an adversely affected contracting party (CP) to impose limited restraints on imports from another CP that has raised its trade barriers (after consultations with countries whose trade might be affected). In theory, the volume of trade affected by such retaliatory measures should approximate the value of trade affected by the precipitating change in import protection
[18] Lihat Artikel 22 ayat 1, DSU Agreement
[19] Lihat Article 22: Compensation and the Suspension of Concessions. DSU – WTO

No comments:

Post a Comment