Thursday, December 9, 2010

PIDANA DAN PEMIDANAAN

Di dalam masyarakat seringkali tercampur perisitilahan pidana dengan pemidanaan. Sehingga pemahaman terhadap kedua istilah tersebut mengacaukan pemahaman terhadap fungsi dari keduanya.
Pada penulisan kali ini, penulis mencoba memberikan gambaran secara detail mengenai kedua peristilahan tersebut berdasarkan pendapat-pendapat para ahli dan yurisprudensi yang ada dan diakui dalam sistem hukum di Indonesia

A.           Pendahuluan
Hukum sering kali dipandang sebagai suatu gejala sosial yang sangat rumit. Semula pandangan tersebut dilontarkan oleh orang-orang yang memang awam dengan hukum, dalam arti tidak pernah mengalami pendidikan hukum. Mereka adalah orang-orang yang kehidupannya diatur oleh hukum, namun kadang-kadang hanya mengetahuinya, kalau terjadi suatu pelanggaran. Ada pihak yang memandang hukum sebagai sikap tindak atau perilaku yang teratur (ajeg). Metode berpikir yang dipergunakannya adalah induktif-empiris, sehingga hukum itu dilihatnya sebagai sikap tindak yang diulang-ulang dalam bentuk yang sama, yang mempunyai tujuan tertentu yaitu untuk mencapai kedamaian melalui keserasian antara ketertiban dengan ketentraman, atau antara disiplin dengan kebebasan.[1]
B. Pengertian Tindak Pidana
Tindak pidana dalam bahasa Belanda disebut Strafbaarfeit. Strafbaarfeit ini terdiri atas tiga kata yaitu straf, baar dan feit. Straf diartikan sebagi pidana dan hukum, baar diartikan sebagai dapat dan boleh, sedangkan feit diartikan sebagai tindak, peristiwa, pelanggaran dan perbuatan. Menurut Halim menyatakan delik adalah: “Suatu perbuatan atau tindakan yang terlarang dan diancam dengan hukuman oleh Undang-undang (pidana).”[2]
Menurut Adami Chazawi, bahwa tindak pidana adalah perbuatan yang oleh undang-undang dinyatakan dilarang yang disertai ancaman pidana pada barangsiapa yang melanggar larangan tersebut.[3] Prof. Moeljatno, SH, beliau menggunakan istilah perbuatan pidana, mengatakan bahwa suatu perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) berupa pidana tertentu, bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut. Dapat juga dikatakan perbuatan yang oleh satu aturan hukum dilarang dan diancam pidana, asal saja alam pada itu diingat bahwa larangan ditujukan pada perbuatan (yaitu suatu keadaan atau kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan orang), sedangkan ancaman pidananya ditujukan kepada orang yang menimbulkan kejadian itu.[4]
R. Tresna, beliau menggunakan istilah peristiwa pidana, walaupun menyatakan sulit untuk merumuskan atau memberikan definisi yang tepat perihal peristiwa pidana, namun juga beliau menarik suatu definisi, yang mengatakan bahwa peristiwa pidana itu merupakan suatu peristiwa pidana yang kemudian diartikan olehnya sebagai: “Sesuatu perbuatan atau rangkaian perbuatan manusia, yang bertentangan dengan Undang-undang dan atau peraturan perundang-undang lainnya terhadap perbuatan mana diadakan tindakan penghukuman.”[5]
Jonkers juga merumuskan Strafbaarfeit sebagai peristiwa pidana yang diartikan sebagai: “Suatu perbuatan yang melawan hukum (Wederrechtelijk) yang berhubungan dengan kesengajaan atau kesalahan yang dilakukan oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan.”[6] Straafbaarfeit atau tindak pidana menurut Wirjono Prodjodikoro adalah: “Suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana.”[7]
Van Schravendijk, merumuskan strafbaarfeit sebagai perbuatan yang boleh dihukum yang kemudian diartikannya sebagai: “Suatu kelakuan orang begitu bertentangan dengan hukum sehingga kelakuan itu, diancam dengan hukuman asal dilakukan oleh orang yang karena itu dapat dipersalahkan.”[8]
Adapun Simons merumuskan strafbaarfeit adalah: “Suatu tindakan melanggar hukum yang dengan sengaja telah dilakukan oleh seseorang yang dapat dipertanggung jawabkan atas tindakannya, yang dinyatakan sebagai dapat hukum.”[9]
Hazewinkel-Suringa mengartikan strafbaarfeit sebagai: “Suatu perilaku manusia yang pada suatu saat tertentu telah ditolak didalam sesuatu pergaulan hidup tertentu dan dianggap sebagai perilaku yang harus ditiadakan oleh hukum pidana dengan menggunakan sarana-sarana yang bersifat memaksa yang terdapat didalamnya.”[10]
Strafbaarfeit diartikan oleh Van Hamel sebagai suatu serangan atau suatu ancaman terhadap hak-hak orang lain.”[11]
Menurut Pompe mengartikan Strafbaarfeit sebagai:”Suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap tertib hukum) yang dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku, dimana penjatuhan hukuman terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum.”[12] Beliau juga mengatakan bahwa suatu strafbaar feit itu sebenarnya adalah tidak lain daripada suatu tindakan yang menurut sesuatu rumusan undang-undang telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum.[13]
Van Hattum mengartikan Strafbaarfeit sebagai :”Suatu tindakan yang karena melakukan tindakan semacam itu membuat seseorang menjadi dapat dihukum.”[14]
Antara larangan dan ancaman pidana ada hubungan erat, oleh karena antara kejadian dan orang yang menimbulkan kejadian itu, ada hubungan yang erat pula. Yang satu tidak dapat dipisahhkan dengan yang lain. Kejadian pidana tidak dapat dilarang bila yang menimbulkan bukan orang. Dan orang tidak dapat dipidana jika tidak karena kejadian yang ditimbulkan olehnya.[15]
Berdasarkan pengertian-pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa para ahli hukum dalam memakai istilah strafbaarfeit menggunakan istilah yang berbeda-beda. Ada yang menggunakan istilah peristiwa pidana, tindak pidana maupun perbuatan pidana.
Sehubungan dengan definisi-definisi di atas, Prof. Moeljatno menegaskan dua hal;[16]
  1. Bahwa hukum pidana adalah bagian dari hukum pada umumnya, yang berdiri sendiri. Dengan demikian dapat dimengerti apabila ditentukan suatu aturan hukum pidana yang melarang suatu perbuatan, perbuatan mana sebelumnya tidaklah merupakan suatu perbuatan yang di larang;
  2. Bahwa harus terlebih dahulu ditetapkan apabila seseorang telah melakukan suatu perbuatan pidana atau tidak, ketentuan mana kemudian dihubungkan dengan pertanggungjawaban pidana dari si pelaku tersebut. Dengan kata lain, bahwa hukum pidana itu berisikan perbuatan pidana, pertanggungjawaban pidana dan acara pidana.
C. Pemidanaan
Dalam menjatuhkan pidana terhadap setiap pelaku tindak pidana, menurut penulis, tidak hanya dilihat dari aspek pembuktian atas terpenuhinya unsur-unsur pidana dari tindak pidana yang didakwakan saja. Namun, penulis berkeyakinan bahwa terdapat beberpa aspek yang perlu kita kaji terlebih dari, yaitu antara lain:
1. Subyek Hukum;
Pengetahuan mengetahui subyek hukum sangat diperlukan bagi setiap orang yang berprofesi hukum. Penjatuhan pidana tidak dapat dilaksanakan bila tidak jelas siapa subyek hukum.
Menurut Van Apeldoorn, bahwa segala sesuatu yang memiliki kewenangan hukum adalah subyek hukum. Sedangkan yang beliau maksud dengan kewenangan hukum ialah kecakapan untuk menjadi pendukung subyek hukum.[17]
Dalam hukum dikatakan, bahwa tiap-tiap yang membawa hak dan kewajiban adalah subyek hukum. Oleh karena itu subyek hukum adalah setiap mahluk yang berwenang untuk memiliki, memperoleh, dan menggunakan hak serta kewajiban dalam lalu lintas hukum. Dalam literatur hukum, terdapat dua macam subyek hukum, yaitu manusia dan badan hukum.[18]
Jadi setiap subyek hukum baik orang maupun badan hukum pada umumnya dapat mempunyai hak dan kewajiban. Sehingga kewenangan untuk dapat menyandang hak dan kewajiban tersebutlah yang dinamakan kewenangan hukum.
Sedangkan Badan Hukum sebagai pembawa hak yang tak berjiwa dapat melakukan sebagai pembawa hak manusia, misalnya dapat melakukan persetujuan-persetujuan, memiliki kekayaan yang sama sekali terlepas dari kekayaan anggota-anggotanya.[19]
Sedangkan badan hukum memiliki dua macam bentuk, yaitu badan hukum publik misalnya seperti badan-badan hukum milik pemerintahan/negara dan badan hukum perdata seperti misalnya perseroan terbatas, yayasan dan lain-lain. Pada perkembangan hukum dewasa ini istilah badan hukum mengalami kemajuan terutama dalam bidang hukum pidana, badan hukum lebih dikenal dengan istilah korporasi. Sutan Remy Sjahdeini mengatakan bahwa korporasi mempunyai pengertian yang lebih luas dibandingkan dengan badan hukum. Dalam artinya yang luas korporasi dapat berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum.[20]
2. Pertanggungjawaban Pidana
Dengan diketahuinya apakah seseorang atau suatu badan adalah merupakan subyek hukum yang memiliki kewenangan hukum maka penulis berpendapat bahwa subyek hukum tersebut luar kehendaknya harus taat pada setiap peraturan yang berkenaan dengan dirinya.
Berkaitan dengan hal tersebut, menurut Roeslan Saleh, bahwa pada umumnya orang yang disangka telah melakukan perbuatan pidana harus bertanggung jawab, dan pada umumnya seseorang bertanggung jawab pada perbuatan-perbuatannya sendiri. Tetapi ada yang disebut vicarious responsibility. Dalam kejadian ini seseorang juga bertanggung jawab atas perbuatan orang lain.[21]
Pemikiran mengenai tujuan dari suatu pemidanaan yang dianut dewasa ini, sebenarnya bukan merupakan suatu pemikiran yang baru, melainkan sedikit atau banyak telah mendapat pengaruh dari pemikiran-pemikiran para ahli atau para penulis beberapa abad yang lalu, yang pernah mengeluarkan pendapat mereka tentang dasar pembenaran dari suatu pemidanaan.[22]
Sementara Muladi membagi teori-teori tentang tujuan pemidanaan menjadi 3 kelompok yakni:[23]
a).           Teori Absolut memandang bahwa pemidanaan merupakan pembalasan atas kesalahan yang telah dilakukan sehingga berorientasi pada perbuatan dan terletak pada terjadinya kejahatan itu sendiri. Teori ini mengedepankan bahwa sanksi dalam hukum pidana dijatuhkan semata-mata karena orang telah melakukan sesuatu kejahatan yang merupakan akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu pembalasan kepada orang yang melakukan kejahatan sehingga sanksi bertujuan untuk memuaskan tuntutan keadilan.
b).          Teori Teleologis (tujuan) memandang bahwa pemidanaan bukan sebagai pembalasan atas kesalahan pelaku tetapi sarana mencapai tujuan yang bermanfaat untuk melindungi masyarakat menuju kesejahteraan masyarakat. Sanksi ditekankan pada tujuannya, yakni untuk mencegah agar orang tidak melakukan kejahatan, maka bukan bertujuan untuk pemuasan absolut atas keadilan. Dari teori ini muncul tujuan pemidanaan yang sebagai sarana pencegahan, baik pencegahan khusus yang ditujukan kepada pelaku maupun pencegahan umum yang ditujukan ke masyarakat. Teori relatif berasas pada 3 (tiga) tujuan utama pemidanaan yaitu preventif, detterence, dan reformatif. Tujuan preventif (prevention) untuk melindungi masyarakat dengan menempatkan pelaku kejahatan terpisah dari masyarakat. Tujuan menakuti (detterence) untuk menimbulkan rasa takut melakukan kejahatan yang bisa dibedakan untuk individual, publik dan jangka panjang
c).           Teori Retributif-Teleologis. Teori ini memandang bahwa tujuan pemidanaan bersifat plural, karena menggabungkan antara prinsip-prinsip teleologis (tujuan) dan retributif sebagai satu kesatuan.[24] Teori ini bercorak ganda, dimana pemidanaan mengandung karakter retributif sejauh pemidanaan dilihat sebagai suatu kritik moral dalam menjawab tindakan yang salah. Sedangkan karakter teleologisnya terletak pada ide bahwa tujuan kritik moral tersebut ialah suatu reformasi atau perubahan perilaku terpidana di kemudian hari.
Pada dasarnya terdapat tiga pokok pemikiran tentang tujuan yang ingin dicapai dengan suatu pemidanaan, yaitu:[25]
  1. Untuk memperbaiki pribadi dari penjahatnya itu sendiri;
  2. Untuk membuat orang menjadi jera untuk melakukan kejahatan-kejahatan;
  3. Untuk membuat penjahat-penjahat tertentu menjadi tidak mampu untuk melakukan kejahatan-kejahatan yang lain, yakni penjahat-penjahat yang dengan cara-cara yang lain sudah tidak diperbaiki lagi.
Menurut Prof. Sudarto, SH, dalam bukunya mengatakan, pada umumnya tujuan pemidanaan dapat dibedakan sebagai berikut:[26]
1.  Pembalasan, pengimbalan atau retribusi;
Pembalasan sebagai tujuan pemidanaan kita jumpai pada apa yang dinamakan teori hukum pidana yang absolut. Didalam kejahatan itu sendiri terletak pembenaran dari pemidanaan, terlepas dari manfaat yang hendak dicapai. Ada pemidanaan, karena ada pelanggaran hukum; ini merupakan tuntutan keadilan
2.  Mempengaruhi tindak laku orang demi perlindungan masyarakat;
Pidana tidak dikenakan demi pidana itu sendiri, melainkan untuk suatu tujuan yang bermanfaat, ialah untuk melindungi masyarakat atau untuk pengayoman. Pidana mempunyai pengaruh terhadap masyarakat pada umumnya. Pengaruh yang disebut pertama biasanya dinamakan prevensi special (khusus) dan yang kedua dinamakan prevensi general (umum).
Dari berbagai rumusan mengenai pidana pada bab sebelumnya, diketahui bahwa sebenarnya hanya suatu penderitaan atau suatu alat belaka. Ini berarti bahwa pidana itu bukan merupakan suatu tujuan dan tidak mungkin dapat mempunyai tujuan. Hal ini perlu dijelaskan, agar kita di Indonesia jangan sampai terbawa oleh arus kacaunya cara berpikir dari para penulis di negeri Belanda, karena mereka itu sringkali telah menyebutkan tujuan pemidanaan dengan perkataan tujuan dari pidana, hingga ada beberapa penulis di tanah air yang tanpa menyadari kacaunya cara berpikir penulis Belanda itu. Secara harfiah telah menerjemahkan perkataan doel der straf dengan tujuan dari pidana, padahal yang dimaksud dengan doel der straf itu sebenarnya adalah tujuan dari pemidanaan.[27] Menurut Prof. Sudarto, perkataan pemidanaan itu sinonim dengan perkataan penghukuman. Tentang hal tersebut, beliau berkata, bahwa:[28]
“Penghukuman itu berasal dari kata dasar hukum, sehingga dapat diartikan sebagai menetapkan hukum atau memutuskan tentang hukumnya. Menetapkan hukum untuk suatu peristiwa itu tidak hanya menyangkut bidang pidana saja, akan tetapi juga dalam hukum perdata, maka istilah tersebut harus disempitkan artinya, yaitu penghukuman dalam perkara pidana, yang kerapkali sinonim dengan pemidanaan atau pemberian atau penjatuhan pidana oleh hakim. Penghukuman dalam hal ini mempunyai makna sama dengan sentence atau veroordeling.” Menurut beliau, Veroordeling tidak dapat diterjemahkan lain selain pemidanaan.[29]
Dalam menetapkan pidana, harus dipahami benar apa makna kejahatan, penjahat dan pidana. Tidaklah cukup untuk mengatakan bahwa pidana itu harus setimpal dengan berat dan sifat kejahatan, seperti yang tercantum dalam Surat Edaran Mahkamah Agung RI tanggal 3 September 1972 Nomor 5 Tahun 1972. KUHP kita tidak memuat pedoman pemberian pidana yang umum, ialah suatu pedoman yang dibuat oleh pembentuk undang-undang yang memuat asas-asas yang perlu diperhatikan oleh Hakim dalam menjatuhkan pidana, yang ada hanya aturan pemberian pidana.[30] Dalam menjatuhkan sesuatu pidana itu, orang yang terikat untuk hanya menjatuhkan jenis-jenis pidana pokok atau pidana tambahan seperti yang ditentukan di dalam Pasal 10 KUHP. Mahkamah Agung dalam putusannya Nomor 59 K./Kr/1969, secara tegas telah mengemukakan pendiriannya, bahwa perbuatan menambah-nambah jenis-jenis pidana yang telah ditentukan dalam Pasal 10 KUHP dengan lain-lain jenis pidana adalah terlarang.[31]
Adapun isi dari Pasal 10 KUHP adalah sebagai berikut:[32]
a)            Pidana pokok:
  1. pidana mati,
  2. pidana penjara,
  3. pidana kurungan,
  4. pidana denda.
b)            Pidana tambahan:
  1. pencabutan hak-hak tertentu,
  2. perampasan barang-barang tertentu,
  3. pengumuman putusan Hakim.
Satochid Kartanegara mengemukakan alasan mengapa pembuat/pelaku strafbaar feit diancam hukuman oleh undang-undang, yaitu dengan alasan sebagai berikut:
  1. Pelanggaran terhadap kepentingan hukum;
  2. Membahayakan kepentingan hukum;
Dengan banyaknya golongan atau jenis-jenis kejahatan dalam KUHP, berarti begitu juga banyaknya kepentingan hukum yang dilindungi oleh hukum pidana. Walaupun begitu banyak kepentingan hukum yang dilindungi oleh hukum pidana, tetapi kepentingan hukum itu dapat dikelompokan menjadi 3 (tiga) golongan besar, yakni:[33]
  1. Kepentingan hukum perorangan (individuale belangen);
  2. Kepentingan hukum masyarakat (sociale  belangen);
  3. Kepentingan hukum negara (staatsbelangen).
Kepentingan hukum perorangan terdiri antara lain:
  1. Kepentingan hukum atas nyawa, yang penyerangan terhadapnya adalah berupa kejahatan terhadap nyawa (Bab XIX).
  2. Kepentingan hukum atas tubuh, yang penyerangan terhadapnya adalah berupa kejahatan terhadap tubuh (Bab XX).
  3. Kepentingan hukum atas harta benda, yang penyerangan terhadapnya adalah berupa kejahatan terhadap harta benda (Bab XIXI, XXIII, XXIV, XXV).
  4. Kepentingan hukum atas nama baik, yang penyerangan terhadapnya adalah berupa kejahatan penghinaan (Bab XVI).
  5. Kepentingan atas kebebasan bergerak, yang penyerangan terhadapnya adalah berupa kejahatan terhadap kemerdekaan (Bab XVII).
Pada kepentingan hukum masyarakat, misalnya:
  1. Kepentingan hukum atas ketertiban umum, yang penyerangan terhadapnya adalah berupa kejahatan ketertiban umum (Bab V).
  2. Kepentingan hukum atas keamanan umum bagi orang atau benda, yang penyerangan terhadapnya adalah berupa kejahatan terhadap keamanan umum bagi orang atau benda (Bab VII).
Sedangkan kepentingan hukum negara, misalnya:
  1. Kepentingan hukum atas keamanan negara, yang penyerangan terhadapnya adalah berupa kejahatan terhadap keamanan negara (Bab I).
  2. Kepentingan hukum atas pelaksanaan hak dan kewajiban kenegaraan, yang penyerangan terhadapnya adalah berupa kejahatan terhadap melakukan kewajiban dan hak kenegaraan (Bab IV).
Walaupun kepentingan hukum itu dapat digolongkan atau dibedakan demikian, akan tetapi tidaklah dapat dipisah-pisahkan. Oleh karena itu pelanggaran atas suatu kepentingan hukum dapat juga meelanggar sekaligus terhadap kepentingan hukum yang lain. Misalnya pembunuhan yang sifat pelanggaran terhadap kepentingan hukumnya lebih banyak pada kepentingan hukum perorangan, sesungguhnya juga adalah melanggar sekaligus pada kepentingan hukum masyarakat.[34]
D.  Jenis-Jenis Pidana Dalam KUHP
KUHP sebagai induk atau sumber utama hukum pidana telah merinci jenis-jenis pidana, sebagaimana dirumuskan dalam pasal 10 KUHP. Menurut Stelsel KUHP, pidana dibedakan menjadi 2 kelompok, antara pidana pokok dan pidana tambahan.
  1. Pidana Pokok terdiri dari :
1).           Pidana Mati;
2).            Pidana Penjara;
3).            Pidana Kurungan;
4).            Pidana Denda;
5).           Pidana Tutupan;
  1. Pidana Tambahan terdiri dari :
1).           Pencabutan Hak-Hak Tertentu;
2).           Pencabutan Barang-Barang Tertentu;
3).           Pengumuman Putusan Hakim.
Dalam pasal 10 KUHP ini, penulis akan menjelaskan satu persatu jenis-jenis pidana ini, baik pidana pokok maupun pidana tambahan.
a).           Pidana Mati. Adalah pidana yang terberat yang objeknya adalah nyawa seseorang. Orang yang dijatuhi pidana mati tidak boleh dieksekusi sebelum ada fiat eksekusi dari presiden. Fiat eksekusi ini diberikan melalui grasi baik diminta atau tidak diminta terpidana atau kuasa hukumnya. Pengertian pemberian grasi dalam hal ini dapat diterima atau ditolak, artinya jika grasi diterima eksekusi tidak perlu dilakukan, tetapi jika ditolak eksekusi harus dilaksanakan.
b).          Pidana Penjara. Adalah pidana perampasan kemerdekaan terpidana dan merupakan pidana yang paling efektif untuk mencapai tujuan pemidanaan. Pidana penjara ini efektif karena waktunya relatif agak lama karena berkisar dari satu sampai lima belas tahun dan dapat dinaikan menjadi dua puluh tahun apabila ada pemberatan. Selain pidana penjara seumur hidup yaitu selama hidup terpidana harus meringkuk dalam penjara atau dua puluh lima tahun penjara.
c).           Pidana Kurungan. Adalah pidana perampasan kemerdekaan yang lebih ringan dari pidana penjara karena berkisar dari satu hari sampai satu tahun dan dapat dinaikan menjadi satu tahun empat bulan jika ada pemberantasan pidana.
Pelaksanaan dari putusan pidana kurungan ini apabila putusan hakim telah memiliki kekuatan hukum tetap, yaitu tidak ada lagi upaya hukum dari terpidana seperti banding atau kasasi.
d).          Pidana Denda. Adalah pidana untuk membayar sejumlah uang sebagaimana yang telah diputuskan hakim karena melakukan perbuatan pidana. Pidana denda ini hakekatnya untuk mengurangi harta kekayaan seseorang secara paksa. Jika denda yang dijatuhkan hakim tidak dibayarnya, maka terpidana dapat dijatuhi kurungan sebagai pengganti tidak boleh lebih dari dari delapan bulan.
e).           Pidana Tutupan. Pidana tutupan ini terdapat dalam pasal 10 KUHP melalui UU No. 20 Tahun 1946, yang lebih lanjutnya tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1948 tentang Rumah Tutupan.
f).            Pidana Tambahan.
1).          Pencabutan Hak-Hak Tertentu.
Undang-undang memberikan kekuasaan kepada Negara melalui alat atau lembaganya untuk melakukan pencabutan hak-hak tertentu saja, yang menurut pasal 35 ayat 1 KUHP hak-hak yang dapat  dicabut adalah hak memegang jabatan, memasuki angkatan bersenjata, memilih dan dipilih, menjadi penasehat hukum atau pengurus, menjalankan kekuasaan bapak atau perwalian dan hak menjalankan mata pencaharian hak-hak tertentu ini tidak boleh mengenai hak beragama ataupun hak terpidana.
Dimana hak-hak tertentu yang dapat dicabut oleh hakim, sifatnya tidak untuk selamanya, melainkan untuk sementara waktu saja, kecuali bila saja yang bersangkutan dijatuhi pidana mati atau pidana penjara seumur hidup.
2).          Pencabutan Barang-Barang Tertentu
Perampasan barang-barang tertentu adalah merampas barang-barang yang merupakan hasil kejahatan atau yang digunakan untuk melakukan kejahatan. Barang yang dirampas dapat disita Negara atau untuk dimusnahkan.
3).          Pengumuman Putusan Hakim
Setiap putusan hakim, memang harus diucapkan dalam persidangan yang terbuka untuk umum (Pasal 195 KUHP), yang mana bila tidak maka putusan hakim itu batal demi hukum. Pidana putusan hakim ini hanya dapat dijatuhakan dalam hal-hal yang telah ditentukan oleh KUHP, misalnya Pasal 128, 206, 361, 377, 395, dan 405.
Tetapi pengumuman putusan hakim sebagai suatu pidana bukanlah seperti tersebut diatas. Pidana pengumuman putusan hakim yang dimaksud disini adalah suatu publikasi ekstra dari suatu putusan pemidanaan seseorang dari pengadilan pidana.

[1]Soerjono Soekanto, Efektifitas Hukum dan Peranan Sanksi, (Bandung: Remadja Karya, 1988), hlm. 1
[2]Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian Pertama (Jakarta:Rajagrafindo Persada, 2002), hlm.72
[3]Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian Ketiga (Jakarta:Rajagrafindo Persada, 2002), hlm. 67
[4]Tofik Yanuar Chandra, Diktat Mata Kuliah Hukum Pidana, Fakultas Hukum Univ. Jayabaya, tanpa tahun.
[5] Adami Chazawi, Op. cit. Bagian Pertama , hlm. 72
[6] Zainal Abidin, Hukum Pidana, (Jakarta:Prapanca, 1962), hlm. 43
[7] Ibid.
[8]Andi Hamzah, Asas-asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta, 1994), hlm. 23
[9] R. Soesilo, Pelajaran Lengkap Hukum Pidana (Bogor:Pelitea, 1989), hlm. 29
[10] PAF.Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, (Surabaya: Citra Aditya, 1997), hlm. 34
[11] Ibid
[12] Moeljatno, Op.Cit, hlm. 55
[13] Adami Chazawi, Op. cit. Bagian Pertama
[14] Moeljatno, Azas-azas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta, 2002).
[15] Tofik Yanuar Chandra, Op. cit.
[16] Moch. Faisal Salam, Hukum Pidana Militer Di Indonesia, Bandung: Mandar Maju, 2006, hlm. 10.
[17] L.J. Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Paradnya Paramita, 1985), hlm. 203.; Beliau menggunakan istilah purusa untuk istilah subyek hukum.
[18] CST. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), hlm. 117.
[19] Ibid., hlm. 118.
[20] Sutan Remy Sjahdeini, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, (Jakarta: Grafiti Pers, 2006), hlm. 43.
[21] Roeslan Saleh, Pikiran-pikiran Tentang Pertanggungan Jawab Pidana, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986), hlm. 32.
[22] PAF. Lamintang, Hukum Penitensier Indonesia, (Bandung: Armico, 1994), hlm. 22
[23] Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat, Penerbit Alumni, Bandung, 2002, hlm. 49-51. Bambang Poernomo dan Van Bemmelen juga menyatakan ada 3 teori pemidanaan sebagaimana yang dinyatakan oleh Muladi, yakni teori pembalasan (absolute theorien), teori tujuan (relatieve theorien) dan teori gabungan atau (verenigings theorien). Lihat Bambang Poernomo, Asas-asas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, 1985, hlm. 27.
[24] Teori ini juga sering dikenal sebagai teori integratif atau juga teori paduan.
[25] Muladi, Op.cit., hlm. 23
[26] Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Bandung: Alumni, 1986), hlm. 81-83
[27] PAF. Lamintang, Op. cit., hlm. 49
[28] Ibid.
[29] Sudarto, Op. cit., hlm. 72.
[30] Ibid., hlm 79
[31] PAF. Lamintang, Op. cit., hlm. 59
[32] Moeljatno, Kitab Undang-undang Hukum Pidana, (Jakarta: Bumi Aksara, 2003), hlm. 5
[33] Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Tubuh & Nyawa, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2002), hlm. 2.
[34] Ibid, hlm. 8.

No comments:

Post a Comment