Wednesday, December 8, 2010

Penemuan Hukum (Rechtsvinding) Oleh Hakim

Makalah ini mencoba mengulas bagaimana pentingnya dan urgensinya suatu penemuan hukum (rechtsvinding) oleh hakim. Harus disadari bahwa semua permasalahan yang muncul di masyarakat tidak semua diakomodir leh peraturan perundang-undangan. Sehingga hakim tidak saja menjadi corong undang-undang saja, tapi juga sebagai penemu dan pencipta hukum khususnya bagi permasalahan yang belum diakomodir.
BAB I
PENDAHULUAN
Bahwa Wetty Trisnawati kenal dengan Harry Wisnu pada tanggal 12 November 1993 melalui seorang teman yang sama-sama sebagai guru ditempat Wetty Trisnawati mengajar, yang pernah .menjadi mahasiswa Harry Wisnu;
Bahwa perkenalan tersebut berbuntut Harry Wisnu menaruh hati pada Wetty Trisnawati, meski pada mulanya Wetty Trisnawati menganggapnya sebagai teman biasa;
Pada bulan November 1995 antara Wetty Trisnawati dan Harry Wisnu terlibat percakapan lewat telepon dimana Harry Wisnu mengungkapkan isi hatinya bahwa Harry Wisnu berniat secara sungguh-sungguh untuk menjalin hubungan asmara dengan Wetty Trisnawati.
Bahwa pada tanggal 24 November 1995, Harry Wisnu datang ke rumah Wetty Trisnawati dan pada saat ini juga Harry Wisnu dihadapan orang tua Wetty Trisnawati bahwa maksud kedatangannya untuk menjalin hubungan asmara dengan Wetty Trisnawati dan untuk meminta  Wetty Trisnawati kelak menjadi isterinya.  Bahkan dihadapan ibu dan adik Wetty Trisnawati serta Wetty Trisnawati sendiri. Harry Wisnu mengungkapkan tidak akan meninggalkan Wetty Trisnawati, dalam arti memutuskan  hubungan  dengan Wetty Trisnawati.
Semenjak saat itu, Harry Wisnu datang secara rutin ke rumah Wetty Trisnawati, bahkan tidur ditempat tinggal Wetty Trisnawati untuk beberapa hari. Orang tua Wetty Trisnawati maupun Wetty Trisnawati sendiri mengizinkan Harry Wisnu tidur ditempat tinggal Wetty Trisnawati disamping karena pertimbangan tempat tinggal Harry Wisnu yang cukup jauh dan tempat tinggal Wetty Trisnawati, juga karena orang tua Wetty Trisnawati maupun Wetty Trisnawati menganggap Harry Wisnu datang beritikad baik dan datang untuk menjalin hubungan lebih baik dengan Wetty Trisnawati.
Harry Wisnu datang setiap hari Sabtu sore dan baru pulang hari Senin pagi selama tidak kurang dari satu tahun, Wetty Trisnawati dan Harry Wisnu terlibat hubungan jauh, dalam arti melakukan hubungan seksual  sebagaimana layaknya dilakukan oleh seseorang yang telah menjadi suami isteri. Disamping itu, Wetty Trisnawati terbuai dengan rayuan Harry Wisnu karena Harry Wisnu dalam merayu juga menyebut nama Allah bahwa Harry Wisnu tidak akan meninggalkan Wetty Trisnawati atau tidak akan menghianati Wetty Trisnawati, dan kalimat tersebut diucapkan berulang kali.
Dikarenakan semakin baiknya hubungan Wetty Trisnawati dengan Harry Wisnu, termasuk hubungan Wetty Trisnawati dengan orang tua Harry Wisnu, segala biaya Harry Wisnu untuk datang ketempat tinggal Wetty Trisnawati tidak segan-segan diberi oleh Harry Wisnu.
Berdasarkan semakin meningkatnya hubungan keduanya sehingga orang tua Wetty Trisnawati berkunjung ketempat tinggal orang tua Harry Wisnu, baik orang tua Wetty Trisnawati maupun orang tua Harry Wisnu telah merestui Wetty Trisnawati dan Harry Wisnu kawin secepatnya.
Pada bulan Oktober 1996, Harry Wisnu datang ketempat tinggal Wetty Trisnawati dan menemui orang tua Wetty Trisnawati. Pada saat itulah, orang tua Wetty Trisnawati menanyakan kepastian saat perkawinan antara Wetty Trisnawati dan Harry Wisnu, namun Harry Wisnu mengatakan belum bisa berfikir dan secepatnya itu karena Harry Wisnu memberikan alas an bahwa tanggungan nya masih banyak, tanpa menjelaskan jenis tanggungan yang ditanggung oleh Harry Wisnu.
Namun setelah itu, Harry Wisnu menunjukkan gelagat tidak baik, bahkan mengatakan kepada Wetty Trisnawati dan adik-adik nya bahwa Harry Wisnu tidak mau dihubungi, baik langsung maupun melalui telepon. Harry Wisnu juga mengatakan kepada Wetty Trisnawati bahwa Harry Wisnu mau datang sebulan, dua bulan, lima bulan, mau menikahi satu tahun, dua tahun, atau lima tahun itu  bukan urusan Wetty Trisnawati. Harry Wisnu juga mengatakan bahwa tidak ada orang yang bisa memaksa Harry Wisnu, termasuk orang tua Wetty Trisnawati.
Bahwa sikap tidak baik Harry Wisnu juga ditunjukkan pada kesempatan lain ketika bertemu dengan adik Wetty Trisnawati bahwa Harry Wisnu menceritakan pengalaman hidupnya. Bahwa dulu ia pernah hidup serumah selama tujuh tahun dengan perempuan lain dan melakukan hubungan  layaknya suami isteri, perempuan itupun  tidak menuntut kawin.
Bahwa sejak saat itu Harry Wisnu sulit dihubungi bahkan sama sekali tidak pernah menghubungi, seolah-olah segala yang pernah dilakukan Harry Wisnu terhadap Wetty Trisnawati serta hubungan Wetty Trisnawati dan keluarga Wetty Trisnawati dengan orang tua Harry Wisnu yang baik dalam rangka mengharapkan antara Harry Wisnu dan Wetty Trisnawati melangsungkan perkawinan yang baik tidak berbekas sama sekali:
Sehingga semenjak saat itu, Wetty Trisnawati kehilangan komunikasi dengan Harry Wisnu, lebih-lebih pada saat Harry Wisnu meninggalkan rumah orang tua Harry Wisnu yang semula menjadi tempat tinggal Harry Wisnu. Hal tersebut dilakukan oleh Harry Wisnu untuk menghindarkan diri dari janji untuk mengawini Wetty Trisnawati dan hanya menjadikan Wetty Trisnawati sebagai sandaran untuk memenuhi kebutuhan keuangan Harry Wisnu atas segala tanggungan-tanggungan Harry Wisnu, baik kebutuhan keuangan untuk keperluan hidup sehari-hari Harry Wisnu maupun kebutuhan keuangan Harry Wisnu semasa Harry Wisnu menempuh studi S-2 (Pascasarjana).
Untuk mencari jalan keluar dan kepedihan, kesusahan dan kehancuran hati Wetty Trisnawati atas janji Harry Wisnu untuk mengawini Wetty Trisnawati yang tidak ditepati, Wetty Trisnawati masih mencari jalan kekeluargaan, hingga Wetty Trisnawati meminta bantuan Dekan FPOK IKIP Negeri Surabaya sebagai atasan langsung,  namun Harry Wisnu tetap menunjukkan  itikad buruknya.
Bahwa atas sikap Harry Wisnu tersebut Wetty Trisnawati telah melakukan pemanggilan-pemanggilan melalui Pengacara Wetty Trisnawati (UKBH UNTAG Surabaya) secara tertulis untuk membicarakan secara kekeluargaan, Harry Wisnu tidak mengindahkannya.
BAB II
PERUMUSAN MASALAH
Berkaitan dengan permasalahan tersebut di atas, maka penulis menemukan beberapa rumusan masalah yang akan Penulis bahas, yaitu antara lain sebagai berikut:
  1. Bagaimana peranan Hakim dalam mememutuskan perkara-perkara yang diajukan ke Pengadilan, dimana tidak ada ataupun kurang terakomodasi oleh peraturan perundang-undangan di Indonesia?
  2. Apakah diperbolehkan di dalam system hukum di Indonesia, seorang Hakim melakukan penjatuhan putusan berdasarkan prinsip-prinsip keadilan dan kesusilaan yang terlanggar oleh pelaku?
BAB III
PEMBAHASAN
Sejak Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya sebagai suatu bangsa yang merdeka, para pendiri bangsa ketika itu telah memilih dan sepakat menentukan bahwa negara Indonesia adalah negara hukum. Pilihan para pendiri bangsa yang mewakili seluruh rakyat Indonesia berkeyakinan bahwa hukumlah yang dapat dijadikan pijakan dan landasan hidup berbangsa dan bernegara untuk mewujudkan tujuan dan cita-cita kemerdekaan.
Sistem hukum yang dipergunakan di Indonesia adalah sistem hukum “Civil Law” yaitu sistem hukum kodifikasi atau tertulis. Hal ini dapat dimengerti bahwa proses penyebaran sistem hukum Civil Law ini sangat pesat, sehingga sistem hukum tersebut tidak hanya dijumpai di Eropa Benua, tetapi dipergunakan pula oleh negara-negara lain, oleh karenanya negara-negara tersebut dimasukkan ke dalam keluarga Civil Law.
Sehingga sangat wajar apabila kemudian penerapan hukum hanya berdasarkan ketentuan-ketentuan yang termuat di dalam peraturan perundang-undangan. Dalam pandangan masyarakat awam, maka nampak terlihat bahwa Hakim hanya merupakan corong Undang-Undang.
Namun, sejalan dengan perubahan-perubahan di dalam masyarakat, baik dalam ruang lingkup nasional maupun internasional, yang menimbulkan tuntutan akan perubahan terjadi juga di dalam bidang hukum. Dimana kebutuhan akan pemenuhan rasa keadilan masyarakat menjadi desakan kuat kepada lembaga-lembaga peradilan di Indonesia.
Selain perubahan masyarakat internasional, maka perubahan masyarakat nasional atau regional, juga memberikan pengaruh yang besar terhadap perkembangan dan perubahan sistem hukum pada suatu negara. Sebab jika terjadi perubahan sosial, maka keperluan masyarakat juga akan berubah secara kuantitatif dan kualitatif. Juga keperluan hukum masyarakat pun dengan hal itu akan berubah, dan menghendaki perubahan serta tambahan baik kaidah hukum positifnya maupun lembaga hukumnya.
Hanya saja proses penyesuaian hukum pada perubahan sosial itu biasanya berlangsung lambat. Seringkali hukum harus menunggu proses perubahan sosial mencapai tahapan kristalisasi dan kemapanan tertentu unt uk dapat memunculkan kaidah, pranata dan lembaga hukum yang baru. Kenyataan inilah yang menimbulkan ungkapan : hukum itu berjalan tertatih-tatih mengikuti kejadian (het recht hink achter de feiten aan).
Sistem hukum Indonesia yang menganut Civil Law yait u bentuk hukum yang tertulis dan kodifikasi, sudah barang tentu kodifikasi hukum itu tidak akan mampu menampung semua aspirasi masyarakat, lebih-lebih di era reformasi dan transformasi ini, dimana perubahan dan perkembangan begitu cepat, sehingga betapapun cepatnya pembuat Undang-Undang bekerja, persoalan yang timbul dalam masyarakat yang membut uhkan pengaturan, ternyata lebih cepat lagi. Oleh karena itu sering terjadi dalam masyarakat sesuatu persoalan yang belum ada peraturannya atau dengan istilah lain adalah kekosongan hukum. Pengisian kekosongan hukum ini adalah sesuatu yang harus dilakukan, sehingga apabila terjadi hal yang baru dalam kehidupan masyarakat yang tidak ada peraturannya, maka kekosongan hukum itu harus diisi oleh hakim. Pengisian kekosongan hukum dalam sistem formal dari hukum ini dilakukan oleh hakim, manakala diajukan kepadanya suatu perkara yang tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, atau peraturan perundang-undangan  yang ada dan berlaku tidaklah mungkin diterapkan walau ditafsirkan sekalipun.
Kegiatan hakim untuk mengisi kekosongan hukum dalam sistem hukum ini adalah dengan melakukan kreasi hukum. Upaya melakukan kreasi hukum tersebut hakim dapat mempergunakan bermacam cara, antara lain Penemuan Hukum (rechtsvinding) dan Penciptaan Hukum (rechtsschepping) sehingga tidak ada satu perkarapun yang tidak terselesaikan dan tidak ada persoalan yang tidak ada hukumnya. Lebih-lebih lagi penemuan hukum dan penciptan hukum tersebut dilakukan oleh Hakim Agung, sehingga hasil penemuan hukum dan penciptaan hukum lebih bermakna dalam dunia hukum. Hal ini dapat dimengerti, karena Hakim Agung itu adalah hakim tertinggi dan produk putusannya adalah merupakan putusan puncak atau terakhir yang berkekuatan hukum tetap untuk dilaksanakan, selagi pula putusan-putusan Hakim Agung itu diteladani dan menjadi ikutan sebagai yurisprudensi.
Salah satu fungsi dari hukum ialah sebagai alat untuk melindungi kepentingan manusia atau sebagai perlindungan kepentingan manusia. Upaya yang semestinya dilakukan guna melindungi kepentingan manusia ialah hukum harus dilaksanakan secara layak. Pelaksanaan hukum sendiri dapat berlangsung secara damai, normal tetapi dapat terjadi pula karena pelanggaran hukum. Dalam hal ini hukum yang telah dilanggar tersebut haruslah ditegakkan, dan diharapkan dalam penegakan hukum inilah hukum tersebut menjadikan kenyataan.
Dalam hal penegakan hukum tersebut, setiap orang selalu mengharapkan dapat ditetapkannya hukum dalam hal terjadinya peristiwa kongkrit, dengan kata lain bahwa peristiwa tersebut tidak boleh menyimpang dan harus ditetapkan sesuai dengan hukum yang ada (berlaku), yang pada akhirnya nanti kepastian hukum dapat diwujudkan. Namun perlu diingat bahwa dalam penegakan hukum ada tiga unsur yang selalu harus diperhatikan guna mewujudkan hakikat dari fungsi dan tujuan itu sendiri, yaitu: kepastian hukum (rechtssicherheit), kemanfaatan (zweckmassigkeit) dan keadilan (gerechtgkeit).
Tanpa kepastian hukum orang tidak mengetahui apa yang harus diperbuat yang pada akhirnya akan menimbulkan keresahan. Akan tetapi terlalu menitikberatkan pada kepastian hukum, terlalu ketat mentaati peraturan hukum akibatnya juga akan kaku serta tidak menutup kemungkinan akan dapat menimbulkan rasa ketidakadilan. Apapun yang terjadi peraturannya adalah demikian dan harus ditaati dan dilaksanakan. Dan kadang undang-undang itu sering terasa kejam apabila dilaksanakan secara ketat (lex dura sed tamen scripta).
Berbicara tentang hukum pada umumnya, kita (masyarakat) hanya melihat kepada peraturan hukum dalam arti kaidah atau peraturan perundang-undangan, terutama bagi para praktisi. Sedang kita sadar bahwa undang-undang itu tidaklah sempurna, undang-undang tidaklah mungkin dapat mengatur segala kegiatan kehidupan manusia secara tuntas. Ada kalanya undang-undang itu tidak lengkap atau ada kalanya undang-undang tersebut tidak jelas.
Dalam hal terjadinya pelanggaran undang-undang, penegak hukum (hakim) harus melaksanakan atau menegakkan undang-undang. Hakim tidak dapat dan tidak boleh menangguhkan atau menolak menjatuhkan putusan dengan alasan karena hukumnya tidak lengkap atau tidak jelas. Hakim dilarang menolak menjatuhkan putusan dengan dalih tidak sempurnanya undang-undang. Olehnya, karena undang-undang yang mengatur akan peristiwa kongkrit tidak lengkap ataupun tidak jelas, maka dalam hal ini penegak hukum (hakim) haruslah mencari, menggali dan mengkaji hukumnya, hakim harus menemukan hukumnya dengan jalan melakukan penemuan hukum (rechtsvinding).
Problematik yang berhubungan dengan penemuan hukum ini memang pada umumnya dipusatkan sekitar “hakim”, oleh karena dalam kesehariannya ia senantiasa dihadapkan pada peristiwa konkrit atau konflik untuk diselesaikannya, jadi sifatnya konfliktif. Dan hasil penemuan hukum oleh hakim itu merupakan hukum karena mempunyai kekuatan mengikat sebagai hukum serta dituangkan dalam bentuk putusan. Di samping itu pula hasil penemuan hukum oleh hakim itu merupakan sumber hukum.
Penemuan hukum itu sendiri lazimnya diartikan sebagai proses pembentukan hukum oleh hakim atau petugas-petugas hukum lainnya yang diberi tugas melaksanakan hukum terhadap peristiwa hukum yang kongkrit. Hal ini merupakan proses kongkretisasi dan individualisasi peraturan hukum yang bersifat umum dengan mengingat peristiwa kongkrit. Atau lebih lanjutnya dapat dikatakan bahwa penemuan hukum adalah proses konkretisasi atau individualisasi peraturan hukum (das sollen) yang bersifat umum dengan mengingat akan peristiwa konkrit (das sein) tertentu.
Dari abstraksi pemikiran yang dikemukakan di atas, terdapat beberapa hal/faktor serta alasan yang melatarbelakangi perlunya suatu analisis terhadap prosedur penemuan hukum oleh hakim dalam proses penyelesaian perkara terutama pada tahap pengambilan keputusan, antara lain sebagai berikut :
Pertama, bahwa kegiatan kehidupan manusia ini sangatlah luas, tidak terhitung jumlah dan jenisnya, sehingga tidak mungkin tercakup dalam satu peraturan perundang-undangan dengan tuntas dan jelas. Maka wajarlah kalau tidak ada peraturan perundang-undangan yang dapat mencakup keseluruhan kegiatan kehidupan manusia, sehingga tak ada peraturan perundang-undangan yang lengkap selengkap-lengkapnya dan jelas sejelas-jelasnya. Oleh karena hukumnya tidak lengkap dan tidak jelas maka harus dicari dan ditemukan.
Kedua, perhatian dan kesadaran akan sifat dan tugas peradilan telah berlangsung lama dan ajaran penemuan hukum, ajaran penafsiran hukum atau metode yuridis ini dalam abad ke 19 dikenal dengan hermeneutic yuridis (hermeneutika), namun yang menjadi pertanyaan, bagaimana dengan penerapannya.
Ketiga, adalah munculnya suatu gejala umum, yakni kurangnya serta menipisnya rasa kepercayaan sebagian “besar” masyarakat terhadap proses penegakan hukum di Indonesia. Gejala ini hampir dapat didengar dan dilihat, melalui berbagai media yang ada. Menurut hemat peneliti gejala ini lahir tidak lain adalah karena terjadinya suatu ketimpangan dari apa yang seharusnya dilakukan/diharapkan (khususnya dalam proses penegakan hukum) dengan apa yang terjadi dalam kenyataannya.
Keempat, kaitannya dengan gejala umum di atas, dari mekanisme penyelesaian perkara (kasus) yang ada, tidak jarang hakim selaku penegak hukum menjatuhkan putusan/vonis terhadap kasus yang tanpa disadari telah melukai rasa keadilan masyarakat disebabkan karena terlalu kaku dalam melihat suatu peraturan (bersifat normative/positivistik) tanpa mempertimbangkan faktor sosiologis yang ada. Salah satu contoh yang masih hangat dimemori kita pada awal bulan yang lalu yakni divonis bebasnya beberapa kasus korupsi (koruptor) kelas kakap yang nyata-nyata telah merugikan Negara.
Alasan yang lain yang tentunya sangat terkait dengan kajian ini yakni melihat bagaimana seorang hakim melakukan penemuan hukum dalam tugas dan tanggung jawabnya yang sudah menjadi kewajiban melekat pada profesinya serta sejauhmana hal itu dapat mewarnai dalam setiap putusan yang dilahirkan.
Sistem hukum mempunyai tiga komponen atau sub sistem yang saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya, yaitu substansi hukum (substance) yakni kaidah/norma hukum serta peraturan perundang-undangan, struktur hukum (structure) yakni aparat penegak hukum dan budaya hukum (legal culture). Bilamana ketiga komponen hukum tersebut bersinergi secara positif, maka akan mewujudkan tatanan sistem hukum yang ideal seperti yang diinginkan. Dalam hal ini, hukum tersebut efektif mewujudkan “tujuan hukum” (keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum). Sebaliknya, bila ketiga komponen hukum bersinergi negatif maka akan melahirkan tatanan sistem hukum yang semrawut dan tidak efektif mewujudkan tujuan hukum.
Hukum, kaidah/norma, perundang-undangan (substansi hukum) yang merupakan komponen dari sistem hukum memiliki fungsi sebagai alat untuk melindungi kepentingan manusia atau sebagai perlindungan kepentingan manusia. Upaya yang semestinya dilakukan guna melindungi kepentingan manusia ialah hukum harus dilaksanakan secara layak. Pelaksanaan hukum itu sendiri dapat berlangsung secara damai, normal tetapi dapat terjadi pula karena pelanggaran hukum. Dalam hal ini hukum yang telah dilanggar tersebut haruslah ditegakkan, dan diharapkan dalam penegakan hukum inilah hukum tersebut menjadikan kenyataan.
Dalam hal terjadinya pelanggaran undang-undang tersebut, penegak hukum (hakim) harus melaksanakan atau menegakkan undang-undang. Hakim (unsur dari struktur hukum) tidak dapat dan tidak boleh menangguhkan atau menolak menjatuhkan putusan dengan alasan karena hukumnya tidak lengkap atau tidak jelas. Hakim dilarang menolak menjatuhkan putusan dengan dalih tidak sempurnanya undang-undang.
Hal tersebut sebagaimana di tegaskan di dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman pada Pasal 16 ayat (1) yang menegaskan sebagai berikut:
Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutuskan suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya”.
Pada Pasal 16 ayat (1) undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tersebut, sangat jelas terlihat bahwa hakim tidak boleh menolak mengadili suatu perkara atas dasar ketiadaan dasar hukum. Sehingga dalam konteks hukum Indonesia kebangkrutan hukum tidaklah di perbolehkan, dengan adanya ketentuan ini. Pasal 16 ayat (1) undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 yang sebelumnya ada pada Pasal 14 ayat (1) Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang pokok kekuasaan kehakiman.
Penemuan hukum secara operasional dilakukan dengan terlebih dahulu melakukan penafsiran, yang menggunakan asas-asas logika. Namun demikian, penafsiran tidak melulu menggunakan asas-asas logika, terdapat pula aspek-aspek lain yang menjadi faktor di dalam menentukan suatu keputusan hakim menyangkut penerapan hukum ke dalam suatu perkara. Faktor-faktor yang sifatnya non logikal dan non yuridis, dapat menghaluskan hukum (rechstvervijning), dimana hukum tidak menjadi keras bagi kelompok-kelompok tertentu.
Misalkan seorang pencuri yang didesak karena kebutuhan ekonominya tentu akan berbeda hukumannya dengan pencuri yang mencuri dikarenakan ketamakan. Sehingga adagium lex dura, sed tamen scripta (hukum adalah keras, tetapi memang demikian bunyinya) menjadi tidak relevan di dalam konteks ini.
Keseluruhan operasi logika dan penafsiran menggunakan aspek-aspek lainnya, ditujukan untuk mengisi ruang kosong yang terdapat di dalam sistem formil dari hukum. Untuk memenuhi ruang kosong ini, hakim harus berusaha mengembalikan identitas antara sistem formil hukum dengan sistem materil dari hukum. Dengan mencari persamaan dalam sistem materil yang menjadi dasar lembaga hukum yang bersangkutan, sehingga membentuk pengertian hukum (rechtsbegrip). Cara kerja atau proses berpikir hakim demikian dalam menentukan hukum disebut konstruksi hukum yang terdiri dari konstruksi analogi, penghalusan hukum dan argumentum a contrario.
Di dalam melakukan penafsiran suatu aturan hukum, hakim hendaknya mengikuti beberapa prinsip di bawah ini :
  1. Prinsip objektivitas : penafsiran hendaknya berdasarkan pada arti secara literal dari aturan hukum dan berdasarkan hakekat dari aturan hukum tersebut harus dibuat sejelas mungkin untuk perkembangan selanjutnya;
  2. Prinsip kesatuan : setiap norma harus dibaca dengan teks dan tidak secara terpisah. Bagian harus berasal dari keseluruhan dan keseluruhan harus berasal dari bagiannya;
  3. Prinsip penafsiran genetis : selama melakukan penafsiran terhadap teks, keberadaan teks asli harus dijadikan pertimbangan, terutama dalam aspek objektifitas, tata bahasa, budaya dan kondisi sosial dari pembentukan hukum tersebut dan terutama dari pembuat hukum tersebut; dan
  4. Prinsip perbandingan : prinsip ini ialah prinsip untuk membandingkan suatu teks hukum dengan teks hukum lainnya menyangkut hal yang sama di suatu waktu.
Keempat prinsip tersebut merupakan prinsip yang dijadikan semacam panduan bagi penafsiran dalam rangka menemukan hukum, sehingga kepastian hukum dan keadilan di dalam masyarakat dapat terjalin secara baik.
Terkait dengan Putusan Mahakamah Agung RI No. 3277/K/Pdt/2000 yang diputus pada tanggal 18 Juli 2003, dimana Majelis Hakim memeriksa perkara Kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi/Penggugat Asli yaitu Wetty Trisnawati terhadap Termohon Kasasi/Tergugat Asli yaitu Harry Wisnu, bahwa Majelis Hakim berpedoman kepada Yurisprudensi Mahkamah Agung RI No. 3191 K/Pdt/1984 dimana di dalam putusan tersebut termuat Kaidah Hukum sebagai berikut:
Dengan tidak dipenuhinya janji untuk mengawini,  perbuatan tersebut adalah suatu perbuatan melawan hukum karena melanggar norma kesusilaan dan kepatutan dalam masyarakat.”
Berdasarkan kaidah hukum tersebut, maka Majelis Hakim berpendapat bahwa : “Dengan tidak dipenuhinya janji untuk mengawini tersebut, Tergugat asal telah melanggar norma kesusilaan dan kepatutan dalam masyarakat dan perbuatan Tergugat asal tersebut adalah suatu perbuatan  melawan hukum, sehingga  menimbulkan  kerugian terhadap diri Penggugat asal, maka Tergugat asal wajib memberi kerugian.”
Dari kasus tersebut di atas, maka Hakim dalam menjatuhkan putusannya dibimbing oleh pandangan-pandangan atau pikirannya sendiri. Sehingga di dalam melakukan penemuan hukum yang otonom ini hakim memutus menurut apresiasi pribadi. Di sini hakim menjalankan fungsi yang mandiri dalam penerapan undang-undang terhadap peristiwa hukum yang konkrit. Sehingga Majelis Hakim mampu mengkaji hukum-hukum yang hidup di dalam masyarakat. Karena terkadang peristiwa konkrit yang terjadi itu,  tidak tertulis aturannya dalam peraturan perundang-undangan.
BAB IV
KESIMPULAN
Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas baik di dalam pendahuluan maupun di dalam pembahasan, maka nampak jelas, bahwa Majelis Hakim telah mengeluarkan dirinya dari lingkar positivisme. Bahwa dalam hal ini, norma kesusilaan dan norma kepatutan yang menjadi alasan utama dari Majelis Hakim dalam menjatuhkan putusan.
Sebagaimana kita ketahui bahwa di dalam Sistem Pembuktian di dalam Hukum Acara Perdata, perjanjian tidak tertulis tidak bisa dijadikan alasan kuat untuk menjatuhkan putusan di dalam Gugatan Perbuatan Melawan Hukum (Pasal 1365 KUHPerdata).
Namun, dikarenakan perbuatan tersebut telah menimbulkan kerugian yang diderita oleh Penggugat, baik materiil maupun immateriil, serta diketahui secara nyata dan jelas adanya perikatan tidak tertulis diantara para pihak, maka perbuatan Tergugat jelas menimbulkan rasa malu kepada masyarakat.
Dengan demikian, putusan Majelis Hakim tersebut merupakan implementasi dari fungsi dan tujuan hukum itu sendiri, yaitu: kepastian hukum (rechtssicherheit), kemanfaatan (zweckmassigkeit) dan keadilan (gerechtgkeit).

No comments:

Post a Comment