Tuesday, February 15, 2011

Disparitas Putusan Hakim TIPIKOR


A.            Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi No. 06/PID.B/TPK/2010/PN.JKT.PST, Terdakwa ENDIN AKHMAD JALALUDDIN SOEFIHARA
1.             Kasus Posisi
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang memeriksa dan mengadili perkara-perkara Tindak Pidana Korupsi pada tingkat pertama telah menjatuhkan putusan sebagai berikut dalam perkara Terdakwa dengan Nama     : ENDIN AKHMAD JALALUDDIN SOEFIHARA, tempat Lahir : Pandeglang, Umur/Tanggal Lahir : 49 Tahun/17 November 1960, yang bertempat Tinggal di Jalan Mahmud Raya No. 32 Pancoran Timur, Jakarta Selatan atau Wisma DPR-RI Blok A/80 Rt. 003 RW. 05 Rawajati, Pancoran, Jakarta Selatan adalah seorang Mantan Anggota DPR RI periode Tahun 1999-2004.
Terdakwa dihadapkan kemuka persidangan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sesuai dengan surat dakwaan tertanggal 1 Maret 2010 No.: DAK-06/24/03/2010 sebagai berikut :
Dakwaan PERTAMA :
Terdakwa Endin Akhmad Jalaluddin Soefihara, baik secara sendiri-sendiri atau bersama-sama Sofyan Usman, Uray Faisal Hamid, dan Danial Tandjung, pada tanggal 8 Juni 2004 sekira jam 15.00 WIB, atau setidak-tidaknya pada waktu-waktu lain yang tidak dapat dipastikan lagi dalam tahun 2004, bertempat di Café Lantai 2 Hotel Atlet Century Park di Jl. Pintu Senayan Satu Jakarta Pusat, atau setidak-tidaknya pada suatu tempat yang berdasarkan ketentuan Pasal 5 jo. Pasal 34 huruf a Undang-Unang Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi masih termasuk dalam wilayah hukum Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang berwenang memeriksa dan mengadilinya, selaku pegawai negeri atau penyelenggara negara, yaitu sebagai Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) periode 1999-2004 pada Komisi IX dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI. Nomor : 313/M Tahun 1999 tanggal 28 September 1999 dan Surat Keputusan DPR-RI Nomor : 02/DPR-RI/I/2003-2004 tanggal 28 Agustus 2003, telah menerima pemberian atau janji, yaitu menerima pemberian uang setidak-tidaknya senilai Rp. 1.500.000.000,- (satu miliar lima ratus juta rupiah) dalam bentuk Traveller’s Check Bank Internasional Indonesia (TC BII) dari Nunun Nurbaeti melalui Ahmad Hakim Safari alias Arie Malangjudo, yang diberikan karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya, yaitu Terdakwa mengetahui bahwa pemberian tersebut diberikan karena Terdakwa selaku Anggota Komisi IX DPR-RI yang memiliki ruang lingkup tugas antara lain berhubungan dengan persetujuan DPR-RI atas pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia sebagaimana ditentukan dalam Pasal 41 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia dan Pasal 5 ayat (1) huruf i butir 5 Peraturan tata Tertib DPR Nomor : 03A/DPR-RI/I/2001-2002 tanggal 16 Oktober 2001 yaitu dalam pelaksanaan pemilihan calon Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia periode 2004-2009, yang hasilnya telah menetapkan terpilihnya Miranda Swaray Gultom, sebagai Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia untuk periode tahun 2004 – 2009, perbuatan mana dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut :
1.             Terdakwa selaku Anggota Komisi IX DPR-RI pada bulan Mei 2004 mengetahui adanya pengajuan nama Miranda Swaray Gultom, Budi Rochadi, dan Hartadi A. Sarwono sebagai calon Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia periode 2004-2009 yang diusulkan oleh Presiden RI untuk diproses dan memperoleh persetujuan dari DPR-RI, yang pelaksanaannya dilakukan oleh Anggota Komisi IX DPR-RI melalui kegiatan fit and proper test dan pemilihan (voting).
2.             Bahwa pada tanggal 7 Juni 2004 bertempat di dalam Kantor PT. Wahana Esa Sembada di Jl. Riau Nomor 17-19 Menteng Jakarta Pusat, Nunun Nurbaeti bertemu dengan Hamka Yandhu selaku Anggota Komisi IX DPR-RI dari Fraksi Partai Golkar dan Ahmad Hakim Safari MJ alias Arie Malangjudo untuk menyepakati akan adanya pemberian tanda terima kasih kepada Anggota DPR-RI melalui Arie Malangjudo, dalam pertemuan mana Hamka Yandhu menyampaikan kepada Ari Malangjudo : “Kita sudah atur, nanti ada kode merah, kuning, hijau, putih pada kantong itu” sambil menunjuk 4 buah kantong belanja yang terbuat dari karton yang terletak disamping kanan meja kerja Nunun Nurbaeti, yang kemudian dilanjutkan arahan Nunun Nurbaeti dengan mengatakan : “Nanti ada orang yang mengambil, dan kamu dikabarin lagi”.
3.             Terdakwa pada tanggal 8 Juni 2004 bertempat di Ruang Rapat Komisi IX DPR-RI Gedung Nusantara Lantai I, bersama dengan Sofyan Usman, Urai Faisal Hamid, dan Danila Tandjung serta pada Anggota DPR-RI pada Komisi IX telah mengikuti proses pemilihan 3 calon Deputi Gubernur Senor Bank Indonesia melalui pelaksanaan presentasi dalam rangka uji kepatutan dan kelayakan (fit and proper test) dan dilanjutkan dengan acara pemungutan suara (voting) yang hasilnya Miranda Swaray Gultom memperoleh jumlah suara pemilih terbanyak sehingga terpilih sebagai Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia untuk masa jabatan 2004-2009.
4.             Terdakwa saat masih berlangsungnya tahapan proses pemilihan calon Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia, telah menelepon Arie Malangjudo dan meminta bertemu dengan mengatakan : “saya mau mengambil hijau”, “Saya tunggu pukul 15.00 Wib di Hotel Atlet Century Park, Caffey lobby atas”, atas permintaan mana Arie Malanjudi saat itu juga menuju ke tempat yang telah ditentukan Terdakwa sambil membawa 4 buah kantong belanja terbuat dari karton yang terdapat kode berwarna merah, kuning, hijau, dan putih yang masing-masing berisi TC BII yang telah dipersiapkan dan diberikan sebelumnya oleh Nunun Nurbaeti kepada Aris Malanjudo di kantor PT. Wahan Esa Sejati di Jl. Riau Nomor 21 Menteng Jakarta Pusat.
5.             Terdakwa saat bertemu dengan Arie Malangjudo di Caffe Lobby atas Hotel Atlet Century Park telah menerima sebuah kantong belanja terbuat dari karton yang terdapat kode berwarna hijau yang berisi 30 lembar TC BII @ Rp. 50.000.000,- yang seluruhnya senilai Rp. 1.500.000.000,- (Satu miliar lima ratus juta rupiah), pemberian mana merupakan tanda terima kasih dari Nunun Nurbaeti kepada Terdakwa maupun Sofyan Usman, Uray Faisal Hamid, dan Danial Tandjung selaku anggota DPR-RI pada Komisi IX dari Fraksi PPP yang saat itu sedang melaksanakan proses pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia periode 2004-2009.
6.             Atas penerimaan 30 lembar TC BII dari Nunun Nurbaeti tersebut, selanjutnya pada bulan Juni dan Juli 2004 terdakwa telah membagikan kepada Anggoat DPR-RI pada Komisi IX dari Fraksi Partai Persatuan Pembanguan, masing-masing sebagai berikut :
(a).         Sofyan Usman sebanyak 5 lembar yang seluruhnya senilai Rp. 250.000.000,- (dua ratus lima puluh juta rupiah).
(b).        Urai Faisal Hamid sebanyak 5 lembar yang seluruhnya senilai Rp. 250.000.000,- (dua ratus lima puluh juta rupiah).
(c).         Danial Tandjung sebanyak 10 lembar yang seluruhnya senilai Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah).
Sedangkan sisanya sebanyak 10 lembar senilai Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) menjadi bagian untuk Terdakwa.
7.             Terdakwa mengetahui bahwa penerimaan TC BII tersebut berkaitan dengan proses pemenangan Miranda Swaray Gultom dalam pelaksanaan Pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia bertentangan dengan kewajiban Terdakwa sebagai Anggota Komisi IX DPR-RI yang dilarang menerima imbalan atau hadirah dari pihak lain dalam menjalankan tugasnya serta melakukan hubungan dengan mitra kerjanya dengan maksud meminta atau menerima imbalan atau hadiah untuk kepentingan pribadi, sebagaimana ditentukan dalam Keputusan DPR-RI Nomor : 03B/DPR RI/2001-2002 tanggal 16 Oktober 2001 tentang Kode Etik Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia.
Perbuatan Terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 5 ayat (2) jo. Pasal 5 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana.
ATAU
Dakwaan KEDUA :
Terdakwa Endin Akhmad Jalaluddin Soefihara, baik secara sendiri-sendiri atau bersama-sama Sofyan Usman, Urai Faisal Hamid, dan Danial Tandjung, pada tanggal 8 Juni 2004 sekira jam 15.00 WIB, atau setidak-tidaknya pada waktu-waktu lain yang tidak dapat dipastikan lagi dalam tahun 2004, bertempat di Café Lantai 2 Hotel Atlet Century Park di Jl. Pintu Senayan Satu Jakarta Pusat, atau setidak-tidaknya pada suatu tempat yang berdasarkan ketentuan Pasal 5 jo. Pasal 34 huruf a Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi masih termasuk dalam wilayah hukum Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang berwenang memeriksa dan mengadilinya, selaku pegawai negeri atau penyelenggara negara, yaitu sebagai Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) periode 1999-2004 pada Komisi IX dari Fraksi Parta Persatuan Pembangunan berdasarkan Surat Keputusan DPR-RI. Nomor : 313/M Tahun 1999 tanggal 28 September 1999 dan Surat Keputusan DPR-RI Nomor : 02/DPR-RI/I/2003-2004 tanggal 28 Agustus 2003, telah menerima hadiah atau janji, yaitu menerima pemberian uang setidak-tidaknya senilai Rp. 1.500.000.000,- (satu miliar lima ratus ribu rupiah) dalam bentuk Traveller’s Check Bank Internasional Indonesia (TC BII) dari Nunun Nurbaeti melalui Ahmad Hakim Safari MJ alias Arie Malangjudo, padahal diketahui dan patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberikan orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya, yaitu diberikan karena kewenangan dan kedudukan Terdakwa selaku Anggota DPR-RI periode 1999-2004 pada Komisi IX yang mempunyai wewenang untuk memberikan persetujuan terhadap Presiden RI atas pengusulan maupun pengangkatan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia, sebagaimana diatur dalam Pasal 41 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia dan Pasal 5 ayat (1) huruf i butir 5 Peraturan Tata Tertib DPR Nomor : 03A/DPR-RI/2001-2002 tanggal 6 Oktober 2001, perbuatan mana dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut :
1.             Terdakwa selaku Anggota Komisi IX DPR-RI pada bulan Mei 2004 mengetahui adanya pengajuan nama Miranda Swaray Gultom, Budi Rochadi, dan Hartadi A. Sarwono sebagai calon Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia periode 2004-2009 yang diusulkan oleh Presiden RI untuk diproses dan memperoleh persetujuan dari DPR-RI, yang pelaksanaannya dilakukan oleh Anggoat Komisi IX DPR-RI melalui kegiatan fit and proper test dan pemilihan (voting).
2.             Bahwa pada tanggal 7 Juni 2004 bertempat di dalam Kantor PT. Wahana Esa Sembada di Jl. Riau Nomor 17-19 Menteng Jakarta Pusat, Nunun Nurbaeti bertemu dengan Hamka Yandhu selaku Anggota Komisi IX DPR-RI dari Fraksi Partai Golkar dan Ahmad Hakim Safari MJ alias Arie Malangjudo untuk menyepakati akan adanya pemberian tanda terima kasih kepada Anggota DPR-RI melalui Arie Malangjudo, dalam pertemuan mana Hamka Yandhu menyampaikan kepada Ari Malangjudo : “Kita sudah atur, nanti ada kode merah, kuning, hijau, putih pada kantong itu” sambil menunjuk 4 buah kantong belanja yang terbuat dari karton yang terletak disamping kanan meja kerja Nunun Nurbaeti, yang kemudian dilanjutkan arahan Nunun Nurbaeti dengan mengatakan : “Nanti ada orang yang mengambil, dan kamu dikabarin lagi”.
3.             Terdakwa pada tanggal 8 Juni 2004 bertempat di Ruang Rapat Komisi IX DPR-RI Gedung Nusantara Lantai I, bersama dengan Sofyan Usman, Urai Faisal Hamid, dan Danila Tandjung serta pada Anggota DPR-RI pada Komisi IX telah mengikuti proses pemilihan 3 calon Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia melalui pelaksanaan presentasi dalam rangka uji kepatutan dan kelayakan (fit and proper test) di Ruang Rapat Komisi IX DPR-RI Gedung Nusantara Lantai I.
4.             Terdakwa saat masih berlangsungnya tahapan proses pemilihan calon Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia, telah menelepon Arie Malangjudo dan meminta bertemu dengan mengatakan : “saya mau mengambil hijau”, “Saya tunggu pukul 15.00 WIB di Hotel Atlet Century Park, Caffe lobby atas”, atas permintaan mana Arie Malangjudo saat itu juga menuju ke tempat yang telah ditentukan Terdakwa sambil membawa 4 buah kantong belanja terbuat dari karton yang terdapat kode berwarna merah, kuning, hijau, dan putih yang masing-masing berisi TC BII yang telah dipersiapkan dan diberikan sebelumnya oleh Nunun Nurbaeti kepada Arie Malanjudo di kantor PT. Wahan Esa Sejati di Jl. Riau Nomor 21 Menteng Jakarta Pusat.
5.             Terdakwa saat bertemu dengan Arie Malangjudo di Caffe Lobby atas Hotel Atlet Century Park telah menerima sebuah kantong belanja terbuat dari karton yang terdapat kode berwarna hijau yang berisi 30 lembar TC BII @ Rp. 50.000.000,- yang seluruhnya senilai Rp. 1.500.000.000,- (Satu miliar lima ratus juta rupiah), pemberian mana merupakan tanda terima kasih dari Nunun Nurbaeti kepada Terdakwa maupun Sofyan Usman, Uray Faisal Hamid, dan Danial Tandjung selaku anggota DPR-RI pada Komisi IX dari Fraksi PPP yang saat itu sedang melaksanakan proses pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia periode 2004-2009.
6.             Terdakwa setelah menerima 30 lembar TC BII tersebut, selanjutnya kembali mengikuti tahapan proses pemilihan 3 calon Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia melalui pelaksanaan kegiatan pemungutan suara (voting) di Ruang Rapat Komisi IX DPR-RI Gedung Nusantara Lantai I pada malam hari tanggal 8 Juni 2004 yang hasilnya Miranda Swaray Gultom memperoleh jumlah suara pemilih terbanyak sehingga terpilih sebagai Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia untuk masa jabatan 2004-2009.
7.             Atas penerimaan 30 lembar TC BII dari Nunun Nurbaeti tersebut, selanjutnya pada bulan Juni dan Juli 2004 terdakwa telah membagikan kepada Anggoat DPR-RI pada Komisi IX dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan dengan mengatakan “Pak ini ada rezeki dari Miranda, masing-masing sebagai berikut :
(a).         Sofyan Usman sebanyak 5 lembar yang seluruhnya senilai Rp. 250.000.000,- (dua ratus lima puluh juta rupiah).
(b).        Urai Faisal Hamid sebanyak 5 lembar yang seluruhnya senilai Rp. 250.000.000,- (dua ratus lima puluh juta rupiah).
(c).         Danial Tandjung sebanyak 10 lembar yang seluruhnya senilai Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah).
Sedangkan sisanya sebanyak 10 lembar senilai Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) menjadi bagian untuk Terdakwa.
8.             Terdakwa mengetahui atau patut menduga bahwa penerimaan TC BII tersebut berkaitan dengan kewenangannya selaku Anggota Komisi IX DPR-RI dalam rangka pengusulan maupun pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia.
Perbuatan Terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana.

2.             Fakta-Fakta Hukum Yang Muncul Dalam Persidangan
Berdasarkan keterangan saksi-saksi, keterangan Terdakwa dan barang bukti lainnya yang bersesuaian dipersidangan diperoleh fakta-fakta sebagai berikut :
a.             Terdakwa Endin Akhmad Jalaluddin Soefihara adalah Anggota Komisi IX Dewak Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) periode 1999 sampai dengan 2004 yang keanggotaannya berdasarkan Surat Keputusan Presisen Republik Indonesia No. 313/M tahun 1999, tanggal 28 September 1999, dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan.
b.             Terdakwa Endin Akhmad Jalaluddin Soefihara menjadi anggota Komisi IX DPR-RI bersanam enam anggota lainnya dari Fraksi Persatuan Pembangunan yaitu : H. Faisal Ba’asir, SH., H.M. Danial Tandjung, H. Sofyan Usman, Drs. Nu’man Abdul Hakim, H. Urai Faisal Hamid dan H. Habi Marati, SE.
c.             Sesuai dengan lingkup tugas Terdakwa sebagai Anggota Komisi IX DPR-RI periode 1999 sampai dengan 2004 telah melakukan pemilihan Deputi Senior Gubernur Bank Indonesia, pada tanggal 8 Juni tahun 2004, bersama-sama dengan Anggota Komisi IX DPR-RI lainnya.
d.             Mekanisme yang harus dilalui sebelum dilakukan pemilihan atau fit and proper test terkait dengan pemilihan Deputi Senior Gubernur Bank Indonesia adalah diawali dengan adanya Surat Presiden Republik Indonesia yang ditujukan kepada DPR-RI, dilanjutkan dengan Rapat Paripurna DPR-RI, kemudian Badan Musyawarah DPR RI menugaskan Komisi IX untuk melakukan proses pemilihan Deputi Senior Gubernur Bank Indonesia.
e.             Nama-nama yang diajukan ke DPR-Ri, untuk mengikuti proses pemilihan atau Fit and Proper Test calon Deputi Senior Gubernur Bank Indonesia tahun 2004 adalah : Miranda Swaray Gultom, Budi Rochadi dan Hartadi A. Sarwono.
f.               Dari ketiga nama calon Deputi Senior Gubernur Bank Indonesia, setelah melalui pemilihan dan fit and proper test di Komisi IX DPR RI pada tanggal 8 Juni tahun 2004, yang terpilih sebagai Deputi Senior Gubernur Bank Indonesia adalah Miranda Swaray Gultom dengan melalui Voting.
g.             Terkait dengan keikutsertaan Terdakwa Endin Akhmad Jalaluddin Soefihara bersanam enam orang anggota lainnya dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan, baik Terdakwa maupun anggota lainnya dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan tidak ada instruksi untuk memilih Miranda Swaray Gultom dari Insitusinya Partai Persatuan Pembangunan, dan ternyata Terdakwa memang tidak memilih Miranda Swaray Gultom.
h.             Pemilihan Deputi Senior Gubernur Bank Indonesia tersebut, Terdakwa selaku Anggota Komisi IX DPR-RI yang ikut dalam proses pemilihan telah menerima pemberian berupa Treveller’s Cheque Bank Internasional Indonesia sebanyak 30 lembar dengan nilai Rp. 1.500.000.000,- (Satu miliar lima ratus juta rupiah) dari saksi Ahmad Hakim Safari Malangjudo alias Arie Malangjudo di Hotel Atlet Century.
i.               Pemberian Trevel Cek Bank Internasional Indonesia yang dilakukan oleh saksi Ahmad Hakim Safari Malangjudo alias Arie Malangjudo di Hotel Atlet Century sebagai titipan ucapan terima kasih dari Nunun Nurbaeti, dan Trevel Cek Bank Internasional Indonesia diterima oleh saksi Ahmad Hakim Safari Malangjudo alias Arie Malangjudo dari Nunun Nurbaeti di Kantor PT. Wahana Esa Sejati di Jalan Riau Nomor 21 Menteng Jakarta Pusat.
j.               Setelah Terdakwa Endin Akhmad Jalaluddin Soefihara menerima ucapan terima kasih dari saksi Ahmad Hakim Safari Malangjudo alias Arie Malangjudo tersebut, selanjutnya membagi-bagikan Treveller’s Cheque Bank Internasional Indonesia tersebut, kepada rekannya dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan yang ada di Komisi IX DPR RI yaitu : kepada Sofyan Usman sebanyak 5 lembar yang keseluruhannya berjumlah Rp. 250.000.000,- (dua ratus lima puluh juta rupiah), Uray Faisal Hamid sebanyak 5 lembar yang keseluruhannya berjumlah Rp. 250.000.000,- (dua ratus lima puluh juta rupiah), dan Danila Tandjung ssebanyak 10 lembar yang keseluruhannya berjumlah Rp. 500.000.000,- (lima ratus  juta rupiah), sedangkan sisanya sebanyak 10 lembar dengan jumlah Rp. 500.000.000,- (lima ratus  juta rupiah) adalah untuk Terdakwa sendiri.

3.             Pertimbangan Majelis Hakim
Menimbang, bahwa selanjutnya Majelis Hakim akan mempertimbangkan dari fakta-fakta tersebut diatas, apakah perbuatan Terdakwa dapat dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana didakwakan Penuntut Umum Komisi Pemberantasan Korupsi dalam dakwaannya tersebut.
Menimbang, bahwa untuk menentukan apakah Terdakwa dapat dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana didakwakan Penuntut Umum dalam surat dakwaannya, terlebih dahulu akan dipertimbangkan tentang tindak pidana korupsi yang menjadi dasar dakwaan Penuntut Umum tersebut :
Menimbang, bahwa Terdakwa diajukan dipersidangan dengan dakwaan sebagai berikut :
Pertama : Diatur dan diancam pidana dalam pasal 5 ayat (2) jo. Pasal 5 ayat (1) huruf b Undang-undang No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 20 tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-undang No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana;
Atau :
Kedua : Diatur dan diancam pidana dalam pasal 11 Undang-undang No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 20 tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-undang No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat ke-1 KUHPidana;
Menimbang, bahwa surat dakwaan Penuntut Umum tersebut diatas disusun dalam bentuk alternatif, maka sesuai dengan Hukum Acara Pidana, Majelis dapat memilih langsung dakwaan mana yang terbukti atas perbuatan Terdakwa.
Menimbang, bahwa sesuai dengan ketentuan tersebut, maka berdasarkan fakta-fakta yang terungkap dipersidangan bahwa Terdakwa Endin Akhmad Jalaluddin Soefihara, adalah Anggota DPR. RI., periode 1999 sampai dengan tahun 2004 yang ditempatkan sebagai Anggota pada Komisi IX DPR. RI. mempunyai tugas dan tanggung jawab salah satunya adalah melakukan pemilihan dan melakukan fit and proper test terhadap calon Deputi Senior Gubernur Bank Indonesia, dimana Terdakwa tidak memilih Miranda Swaray Gultom sebagai Deputi Senior Gubernur Bank Indonesia dan Terdakwa telah menerima pemberian berupa Traveller’s Cheque Bank Internasional Indonesia sebanyak 30 lembar dengan nilai seluruhnya Rp. 1.500.000.000,- (satu miliar lima ratus juta rupiah), maka Majelis Hakim berpendapat lebih tepat untuk membuktikan dakwaan kedua;
Menimbang, bahwa dalam Dakwaan KEDUA, Terdakwa telah didakwa melakukan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diatur dan diancam dalam Pasal 11 Undang-undang No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 20 tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-undang No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 yang unsur-unsurnya sebagai berikut :
1.      Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara;
2.      Menerima hadiah atau janji;
3.      Diketahui atau Patut diduga; Karena Kekuasaan atau Kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya atau menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungannya dengan jabatannya.
4.      Unsur Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana.
Menimbang bahwa berdasarkan fakta hukum tersebut telah dapat dibuktikan bahwa Terdakwa Endin Akhmad Jalaluddin Soefihara tidak berdiri sendiri dalam mewujudkan perbuatan yang dilakukan, melainkan bersama-sama dengan Sofyan Usman, Uray Faisal Hamid dan Danial Tandjung, sehingga dengan demikian telah terjadi hubungan kerjasama yang erat dan diinsyafi.
Menimbang adanya kerjasama yang diinsyafi tersebut, telah terwujud pula dengan adanya pembagian traveller’s cheque yang diterimanya Terdakwa bersama-sama rekannya sebagaimana dimaksud diatas, sehingga unsur pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana telah terpenuhi dan ada dalam perbuatan Terdakwa;
Menimbang, bahwa dari rangkaian-rangkain pertimbangan hukum sebagaimana yang telah diuraikan dalam kaitannya satu sama lain, maka Majelis Hakim berpendapat Terdakwa telah terbukti menurut hukum melakukan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana yang didakwakan dalam dakwaan kedua;
Menimbang, bahwa Terdakwa dan Tim Penasehat hukum Terdakwa sebagaimana yang telah diuraikan dalam kaitannya satu sama lain, maka Majelis Hakim berpendapat Terdakwa telah terbukti menurut hukum melakukan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana yang didakwakan dalam dakwaan kedua;
Menimbang, bahwa Terdakwa dan Tim Penasehat hukum Terdakwa dalam pembelaannya pada pokoknya mohon kepada Majelis Hakim agar Terdakwa dinyatakan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana dimaksud dalam Dakwaannya dan membebaskan Terdakwa dari segala Dakwaan dan Tuntutan hukum.
Menimbang, bahwa Terhadap Pembelaan Terdakwa dan Penasihat Hukumnya yang menyatakan bahwa Treveller’s Cheque Bank Internasional Indonesia yang diterimanya sebanyak 30 lembar dengan jumlah keseluruhannya Rp. 1.500.000.000,- (satu miliar lima ratus juta rupiah) yang telah dibagi-bagikannya kepada sesama anggota Komsi IX DPR RI dari Fraksi Persatuan Pembangunan, sedangkan yang diterima oleh Terdakwa sendiri tidak pernah dinikmatinya, yaitu sebesar Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah), akan tetapi dititipkannya kepada saksi Danial Tandjung dan oleh saksi Danial Tandjung dititipkan kepada saksi H. Abdul Aziz, karena menganggap pemberian tersebut sebagai uang subhat, sehingga tidak dapat dikatakan bahwa pemberian dimaksud mempunyai kaitan dengan pemilihan Deputi Senior Gubernur Bank Indonesia;
Menimbang, bahwa terhadap pembelaan Terdakwa dan Penasihat Hukumnya tersebut diatas Majelis Hakim tidak sependapat, karena perbuatan Terdakwa yang telah menerima pemberian Traveller’s Cheque yang dilakukan saksi Ahmad Hakim Safari Malangjudi alias Arie Malangjudo telah selesai dilakukan dan Terdakwapun membagi-bagikan pemberian dimaksud kepada rekan-rekannya sesama anggota Komisi IX DPR RI yang telah melakukan pemilihan Deputi Senior Gubernur Bank Indonesia pada saat ini itu, jadi Terdakwa mestinya tahu atau patut menduga bahwa pemberian tersebut berkaitan dengan jabatannya sebagai Anggota Komisi IX DPR-RI;
Menimbang, bahwa Majelis Hakim telah mempelajari dan mencermati satu persatu alasan yang termuat dalam nota pembelaannya tersebut, dan ternyata tidak ada satu alasanpun yang sesuai dengan fakta hukum yang dapat dijadikan dasar hukum untuk membebaskan Terdakwa dari Dakwaan Kesatu maupun dan Dakwaan Kedua;
Menimbang, bahwa oleh karena Majelis Hakim tidak sependapat dengan Nota Pembelaan Terdakwa dan Penasihat Hukumnya, maka Pembelaan Terdakwa maupun Penasihat Hukumnya haruslah dikesampingkan;
Menimbang, bahwa dengan telah dipenuhi seluruh unsur-unsur Dakwaan kedua, dan Nota Pembelaan Terdakwa dan Penasihat Hukum tersebut dikesampingkan, maka Terdakwa haruslah dinyatakn telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan Tindak Korupsi sebagaimana yang diatur dalam Pasal 11 Undang-undang No. 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana;
Menimbang, bahwa oleh karena Terdakwa telah dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan Tindak Pidana Korupsi, maka Terdakwa haruslah dijatuhi hukuman yang setimpal dengan perbuatannya.
Menimbang, bahwa berdasarkan pemeriksaan dalam persidangan Majelis Hakim tidak diketemukan alasan-alasan pemaaf maupun pembenar yang dapat mengecualikan atau menghapuskan pidana bagi Terdakwa, sehingga Terdakwa haruslah dianggap mampu bertanggung jawab atas perbuatannya.
Menimbang, bahwa keran Terdakwa ditahan, maka sesuai dengan pasal 22 ayat (4) KUHAP pidana yang akan dijatuhkan kepadanya akan dikurangi seluruhnya dengan lamanya Terdakwa tersebut ditahan.
Menimbang, bahwa oleh karena hukuman yang akan dijatuhkan lama dari pada tahanan yang telah dijalani oleh Terdakwa, maka Terdakwa diperintahkan tetap berada dalam tahanan.
Menimbang, bahwa oleh karena Terdakwa dijatuhi pidana, maka Terdakwa dibebani biaya perkara;

4.             Putusan Majelis Hakim
Mengingat Pasal 11 Undang-undang No. 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) KUHP, dan KUHAP serta praturan perundang-undangan lainnya yang berkaitan. Menyatakan dalam putusan Majelis Hakim dengan amar putusan sebagai berikut:
1.             Menyatakan Terdakwa Endin Akhmad Jalaluddin Soefihara., terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan Tindak Pidana Korupsi;
2.             Menjatuhkan Pidana terhadap Terdakwa dengan Pidana penjara selama 1 (satu) tahun dan 3 (tiga) bulan dan denda sebesar Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah) subsidair 3 (tiga) bulan kurungan;
3.             Menetapkan masa Penahanan yang telah dijalani Terdakwa tersebut dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan;
4.             Memerintahkan Terdakwa tetap berada alam tahanan;
5.             Menyatakan barang bukti berupa :
(a).         Bukti-Bukti Surat agar tetap Terlampir dalam berkas;
(b).        Uang Pengembalian dari Saksi Sofyan Usman, Saksi Danial Tandjung, dan Saksi Uray Faisal Hamid dengan total jumlah sebesar Rp 1.500.000.000 (satu miliar lima ratus juta rupiah), dirampas untuk Negara
6.             Membebani Terdakwa untuk membayar biaya perkara sebesar Rp 10.000,- (sepuluh ribu rupiah)

B.            Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi No. 07/PID.B/TPK/2010/PN.JKT.PST, a/n Terdakwa HAMKA YANDHU. Y.R.
1.             Kasus Posisi
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang memeriksa dan mengadili perkara-perkara Tindak Pidana Korupsi pada tingkat pertama telah perkara atas nama Terdakwa HAMKA YANDHU. Y.R., Tempat Lahir : Watampone, Umur/Tanggal Lahir : 52 Tahun/14 Maret 1957,. Yang bertempat tinggal di Jalan Rambutan Kav. 39 K, Kelurahan Pejaten Barat, Kecamatan Pasar Minggu, Jakarta Selatan dengan pekerjaan Mantan Anggota DPR RI.
Telah didakwa oleh Jaksa Penuntut Umum dalam Surat Dakwaan yang dibacakan dimuka persidangan sebagai berikut:
Dakwaan PERTAMA:
Bahwa terdakwa HAMKA YANDHU. YR selaku Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara yaitu Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) masa jabatan Tahun 1999-2004 berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor : 313/M Tahun 1999 tanggal 28 September 1999 dan Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Nomor : 02/DPR RI/2003-2004 tanggal 28 Agustus 2003 selaku Anggota Komisi IX DPR RI baik bertindak sendiri-sendiri atau bersama-sama dengan T.M. NURLIF, BAHARUDDIN ARITONANG, ANTHONY ZEIDRA ABIDIN, ACHMAD HAFIZ ZAWAWI, H. PASKAH SUZETTA, ASEP RUCHIMAT SUDJANA, BOBBY SH. SUHARDIMAN, MARTHIN BRIA SERAN, HENGKY BARAMULI, REZA KAMARULLAH, pada hari dan tanggal yang tidak dapat dipastikan lagi dalam bulan Juni 2004 atau setidak-tidaknya pada waktu-waktu lain dalam tahun 2004, bertempat di Kantor PT. Wahana Esa Sejati, Jalan Riau No. 21 Menteng Jakarta Pusat, atau setidak-tidaknya di tempat-tempat lain yang berdasarkan Pasal 5 jo Pasal 34 huruf a Undang-undang No. 46 Tahun 2009, termasuk dalam wilayah hukum Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang berwenang memeriksa dan mengadilinya telah menerima pemberian atau janji yaitu menerima pemberian uang setidak-tidaknya senilai Rp. 7.350.000.000,- (Tujuh miliar tiga ratus lima puluh juta rupiah) dalam bentuk Traveller’s Cheque Bank Internasional Indonesia (TC BII) dari NUNUN NURBAETI melalui AHMAD HAKIM SAFARI MJ alias ARIE MALANGJUDO, yang diberikan karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya yaitu Terdakwa HAMKA YANDHU. YR mengetahui bahwa pemberian tersebut karena Terdakwa selaku Anggota Komisi IX DPR RI yang memiliki ruang lingkup tugas antara lain berhubungan dengan persetujuan DPR RI atas pemilihan Deputi Senior Gubernur Bank Indonesia sebagaimana ditentukan dalam pasal 41 Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana diubah dengan Undang-unang Nomor 3 Tahun 2004 serta Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Nomor : 02 A DPR RI/I/2001-2002 tanggal 10 September 2001 yaitu dalam pelaksanaan Pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia, yang hasilnya telah memilih MIRANDA SWARAY GOELTOM, perbuatan mana dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut :
(a).        Terdakwa selaku Anggota Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) dari Fraksi Partai Golongan Karya (FPG), pada sekitar awal bulan Mei 2004 bersama dengan Anggota Komisi IX lainnya menerima tugas dari Pimpinan DPR-RI untuk melaksanakan proses uji kepatutan dan kelayakan (fit and proper test) dalam rangka pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia sebagaimana yang diusulkan oleh Presiden RI MEGAWATI SOEKARNOPUTRI, sebagai pelaksanaan ketentuan pasal 41 Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2004, dengan 3 (tiga) orang calon yaitu MIRANDA SWARAY GOELTOM, HARTADI A. SARWONO, dan BUDI ROCHADI.
(b).        Terdakwa menjelang pelaksanaan proses uji kepatutan dan kelayakan (fit and proper test) terhadap 3 (tiga) orang calon Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia tersebut mengikuti rapat rutin Kelompok Fraksi (Poksi) di ruang Poksi lantai 14 Gedung DPR-RI, yang mana dalam rapat tersebut PASKAH SUZETTA menyampaikan hasil konsultasi dengan pimpinan Fraksi Partai Golkar yang menginginkan agar Poksi mendukung MIRANDA SWARAY GOELTOM sebagai Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia, dan dalam rapat tersebut juga ada pembicaraan informal tentang adanya dukungan dana yang akan dikucurkan melalui fraksi.
(c).        Terdakwa pada sekitar tanggal 7 Juni 2004 menemui NUNUN NURBAETI di Kantor PT. Wahana Esa Sejati Jalan Riaun No. 21 Menteng Jakarta Pusat, dalam pertemuan tersebut Terdakwa dikenalkan dengan seseorang yang bernama AHMAD HAKIM SAFARI MJ alias ARIE MALANGJUDO oleh NUNUN NURBAETI, pada kesempatan tersebut NUNUN NURBAETI mengatakan : “Saya ingin Pak ARI membantu saya untuk menyampaikan tanda terima kasih kepada Anggota Dewan”. Kemudian AHMAD HAKIM SAFARI MJ alias ARIE MALANGJUDO memenuhi permintaan NUNUN NURBAETI dan menanyakan kapan waktu pelaksanaannya, dan dijawab oleh NUNUN NURBAETI “Nanti Bapak ini akan menghubungi Pak Arie”, sambil menunjuk ke arah Terdakwa. Selanjutnya Terdakwa berbicara dengan AHMAD HAKIM SAFARI MJ alias ARIE MALANGJUDO dan mengatakan “Kita sudah atur, nanti ada kode merah, kuning, hijau, putih, kode pada kantong itu” sambil menunjuk kearah samping kanan meja kerja NUNUN NURBAETI yang terdapat 4 (empat) buat kantong belanja dari karton.
(d).        Terdakwa pada tanggal 8 Juni 2004, bertempat di ruang rapat Komisi IX DPR-RI periode tahun 1999-2004 lantai 1 Gedung Nusantara I DPR-RI, bersama-sama dengan anggota Komisi IX DPR-RI lainnya dari Fraksi Golkar mengikuti pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia yang dilakukan melalui mekanisme voting, dan dalam voting tersebut MIRANDA SWARAY GOELTOM terpilih sebagai Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia untuk masa jabatan 2004-2009.
(e).        Terdakwa beberapa saat setelah pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia tersebut kemudian menghubungi AHMAD HAKIM SAFARI MJ alias ARIE MALANGJUDO melalui telepon dengan mengatakan : “Saya mau datang ke kantor Bapak untuk mengambil yang kuning”, di jawab oleh AHMAD HAKIM SAFARI MJ alias ARIE MALANGJUDO “Ya silahkan Pak”. Tidak beberapa lama kemudian Terdakwa datang di Kantor PT. Wahana Esa Sejati Jalan Riaun No. 21 Menteng Jakarta Pusat langsung menemui AHMAD HAKIM SAFARI MJ alias ARIE MALANGJUDO dan mengatakan “Saya mau mengambil titipan Ibu NUNUN”, lalu AHMAD HAKIM SAFARI MJ alias ARIE MALANGJUDO menyerahkan kantong berisi TC BII dengan kode kuning kepada Terdakwa.
(f).          Terdakwa setelah menerima uang dalam bentuk TC BII tersebut kemudian membagi-bagikan kepada anggota Komisi IX dari Fraksi Golkar dengan perincian Terdakwa mendapat bagian 45 lembar senilai Rp. 2.250.000.000,- (dua miliar dua ratus lima puluh juta rupiah), dan selebihnya dibagikan kepada :
§         T.M NURLIF senilai Rp. 650.000.000,00;
§         BAHARUDIN ARITONANG senilai Rp. 350.000.000,00;
§         ANTHONY ZEDRA ABIDIN senilai Rp. 600.000.000,00;
§         ACHMAD HAFIZ ZAWAWI senilai Rp. 600.000.000,00;
§         BOBBY S.H. SUHARDIMAN senilai Rp. 500.000.000,00;
§         PASKAH SUZETTA senilai Rp. 500.000.000,00;
§         HENGKY BARAMULI senilai Rp. 500.000.000,00;
§         H. ASEP RUCHIMAT SUDJANA senilai Rp. 150.000.000,00;
§         AZHAR MUKLIS (alm) senilai Rp. 500.000.000,00;
§         MARTHIN BRIA SERAN senilai Rp. 250.000.000,00;
(g).        Terdakwa mengetahui bahwa pemberian TC BII tersebut berkaitan dengan proses pemenangan MIRANDA SWARAY GOELTOM sebagai Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia dalam pelaksanaan Pemilihan Gubernur Senior Bank Indonesia, bertentangan dengan kewajiban Terdakwa sebagai anggota Komisi IX DPR-RI yang dilarang menerima imbalan dari pihak lain dalam menjalankan tugasnya
Perbuatan Terdakwa HAMKA YANDHU YR sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam pasal 5 ayat (1) jo. Pasal 5 ayat (1) huruf b Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana.
ATAU
Dakwaan KEDUA:
Bahwa Terdakwa HAMKA YANDHU. YR selaku Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara yaitu Anggota Dewan Peewakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) masa jabatan Tahun 1999-2004 berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor : 313/M Tahun 1999 tanggal 28 September 1999 dan Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Nomor : 02/DPR RI/2003-2004 tanggal 28 Agustus 2003 selaku Anggota Komisi IX DPR RI baik bertindak sendiri-sendiri atau bersama-sama dengan T.M. NURLIF, BAHARUDDIN ARITONANG, ANTHONY ZEIDRA ABIDIN, ACHMAD HAFIZ ZAWAWI, H. PASKAH SUZETTA, ASEP RUCHIMAT SUDJANA, BOBBY SH. SUHARDIMAN, MARTHIN BRIA SERAN, HENGKY BARAMULI, REZA KAMARULLAH, pada hari dan tanggal yang tidak dapat dipastikan lagi dalam bulan Juni 2004 atau setidak-tidaknya pada waktu-waktu lain dalam tahun 2004, bertempat di Kantor PT. Wahana Esa Sejati, Jalan Riau No. 21 Menteng Jakarta Pusat, atau setidak-tidaknya di tempat-tempat lain yang berdasarkan Pasal 5 jo Pasal 34 huruf a Undang-undang No. 46 Tahun 2009, termasuk dalam wilayah hukum Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang berwenang memeriksa dan mengadilinya telah menerima pemberian atau janji yaitu menerima pemberian uang setidak-tidaknya senilai Rp. 7.350.000.000,- (Tujuh miliar tiga ratus lima puluh juta rupiah) dalam bentuk Traveller’s Cheque Bank Internasional Indonesia (TC BII) dari NUNUN NURBAETI melalui AHMAD HAKIM SAFARI MJ alias ARIE MALANGJUDO, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya yaitu Terdakwa HAMKA YANDHU. YR  mengetahui bahwa pemberian tersebut diberikan karena kedudukan Terdakwa selaku Anggota Komisi IX DPR RI yang memiliki kewenangan dalam pemilihan Deputi Senior Gubernur Bank Indonesia sebagaimana diatur dalam pasal 41 Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana diubah dengan Undang-unang Nomor 3 Tahun 2004 serta Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Nomor : 02 A DPR RI/I/2001-2002 tanggal 10 September 2001 perbuatan mana dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut :
(a).        Terdakwa selaku Anggota Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) dari Fraksi Partai Golongan Karya (FPG), pada sekitar awal bulan Mei 2004 bersama dengan Anggota Komisi IX lainnya menerima tugas dari Pimpinan DPR-RI untuk melaksanakan proses uji kepatutan dan kelayakan (fit and proper test) dalam rangka pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia sebagaimana yang diusulkan oleh Presiden RI MEGAWATI SOEKARNOPUTRI, sebagai pelaksanaan ketentuan pasal 41 Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2004, dengan 3 (tiga) orang calon yaitu MIRANDA SWARAY GOELTOM, HARTADI A. SARWONO, dan BUDI ROCHADI.
(b).        Terdakwa menjelang pelaksanaan proses uji kepatutan dan kelayakan (fit and proper test) terhadap 3 (tiga) orang calon Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia tersebut mengikuti rapat rutin Kelompok Fraksi (Poksi) di ruang Poksi lantai 14 Gedung DPR-RI, yang mana dalam rapat tersebut PASKAH SUZETTA menyampaikan hasil konsultasi dengan pimpinan Fraksi Partai Golkar yang menginginkan agar Poksi mendukung MIRANDA SWARAY GOELTOM sebagai Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia, dan dalam rapat tersebut juga ada pembicaraan informal tentang adanya dukungan dana yang akan dikucurkan melalui fraksi.
(c).        Terdakwa pada sekitar tanggal 7 Juni 2004 menemui NUNUN NURBAETI di Kantor PT. Wahana Esa Sejati Jalan Riaun No. 21 Menteng Jakarta Pusat, dalam pertemuan tersebut Terdakwa dikenalkan dengan seseorang yang bernama AHMAD HAKIM SAFARI MJ alias ARIE MALANGJUDO oleh NUNUN NURBAETI, pada kesempatan tersebut NUNUN NURBAETI mengatakan : “Saya ingin Pak ARI membantu saya untuk menyampaikan tanda terima kasih kepada Anggota Dewan”. Kemudian AHMAD HAKIM SAFARI MJ alias ARIE MALANGJUDO memenuhi permintaan NUNUN NURBAETI dan menanyakan kapan waktu pelaksanaannya, dan dijawab oleh NUNUN NURBAETI “Nanti Bapak ini akan menghubungi Pak Arie”, sambil menunjuk ke arah Terdakwa. Selanjutnya Terdakwa berbicara dengan AHMAD HAKIM SAFARI MJ alias ARIE MALANGJUDO dan mengatakan “Kita sudah atur, nanti ada kode merah, kuning, hijau, putih, kode pada kantong itu” sambil menunjuk kearah samping kanan meja kerja NUNUN NURBAETI yang terdapat 4 (empat) buat kantong belanja dari karton.
(d).        Terdakwa pada tanggal 8 Juni 2004, bertempat di ruang rapat Komisi IX DPR-RI periode tahun 1999-2004 lantai 1 Gedung Nusantara I DPR-RI, bersama-sama dengan anggota Komisi IX DPR-RI lainnya dari Fraksi Golkar mengikuti pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia yang dilakukan melalui mekanisme voting, dan dalam voting tersebut MIRANDA SWARAY GOELTOM terpilih sebagai Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia untuk masa jabatan 2004-2009.
(e).        Terdakwa beberapa saat setelah pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia tersebut kemudian menghubungi AHMAD HAKIM SAFARI MJ alias ARIE MALANGJUDO melalui telepon dengan mengatakan : “Saya mau datang ke kantor Bapak untuk mengambil yang kuning”, di jawab oleh AHMAD HAKIM SAFARI MJ alias ARIE MALANGJUDO “Ya silahkan Pak”. Tidak beberapa lama kemudian Terdakwa datang di Kantor PT. Wahana Esa Sejati Jalan Riau No. 21 Menteng Jakarta Pusat langsung menemui AHMAD HAKIM SAFARI MJ alias ARIE MALANGJUDO dan mengatakan “Saya mau mengambil titipan Ibu NUNUN”, lalu AHMAD HAKIM SAFARI MJ alias ARIE MALANGJUDO menyerahkan kantong berisi TC BII dengan kode kuning kepada Terdakwa.
(f).          Terdakwa setelah menerima uang dalam bentuk TC BII tersebut kemudian membagi-bagikan kepada anggota Komisi IX dari Fraksi Golkar dengan perincian Terdakwa mendapat bagian 45 lembar senilai Rp. 2.250.000.000,- (dua miliar dua ratus lima puluh juta rupiah), dan selebihnya dibagikan kepada :
1.             T.M NURLIF senilai Rp. 650.000.000,00;
2.             BAHARUDIN ARITONANG senilai Rp. 350.000.000,00;
3.             ANTHONY ZEDRA ABIDIN senilai Rp. 600.000.000,00;
4.             ACHMAD HAFIZ ZAWAWI senilai Rp. 600.000.000,00;
5.             BOBBY S.H. SUHARDIMAN senilai Rp. 500.000.000,00;
6.             PASKAH SUZETTA senilai Rp. 500.000.000,00;
7.             HENGKY BARAMULI senilai Rp. 500.000.000,00;
8.             H. ASEP RUCHIMAT SUDJANA senilai Rp. 150.000.000,00;
9.             AZHAR MUKLIS (alm) senilai Rp. 500.000.000,00;
10.         MARTHIN BRIA SERAN senilai Rp. 250.000.000,00;
(g).        Terdakwa mengetahui atau patut diduga bahwa pemberian TC BII tersebut berkaitan dengan kewenangannya selaku anggota Komisi IX DPR-RI dalam rangka pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia
Perbuatan Terdakwa HAMKA YANDHU YR sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam pasal 11 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana.

TUNTUTAN JAKSA PENUNTUT UMUM:
Di dalam salah satu point dari isi tuntutan Jaksa Penuntut Umum adalah sebagai berikut:
“Menyatakan Terdakwa Hamka Yandhu YR terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 5 ayat (2) jo Pasal 5 ayat (1) huruf b Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana.”
2.             Pertimbangan Majelis Hakim
Dalam perkara ini Terdakwa didakwa dengan Surat Dakwaan yang disusun secara alternatif, yaitu pertama : melakukan tindak pidana korupsi yang diatur dan diancam pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 ayat (2) jo. Pasal 5 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP); atau ke-dua : melakukan tindak pidana korupsi yang diatur dan diancam pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
Oleh karena Surat Dakwaan Penuntut Umum in casu disusun secara alternatif, maka Majelis akan memilih untuk mempertimbangkan dan memberi penilaian hukum atas salah satu dari dua dakwaan yang dialternatifkan tersebut.
Mahkamah Agung Republik Indonesia dalam Jurisprudensinya Nomor : 50K/Kr/1960 tanggal 13 Desember 1960, menyatakan bahwa undang-undang atau hukum tidak mengenal ketentuan apabila seorang Pegawai Negeri dituduh melakukan kejahatan yang dimaksudkan oleh Pasal 418 KUHP, yang memberi pemberian kepada Pegawai Negeri itu harus dituntut berdasarkan Pasal 209 KUHP. Dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, ketentuan Pasal 209 ayat (1) ke-1 dan ke-2 KUHP tersebut diadopsi ke dalam pasal 5 ayat (1) huruf a dan b, sedangkan ketentuan Pasal 418 KUHP diadopsi ke dalam Pasal 11.
Dalam KUHP, Pasal 418 ini tidak ada pasangannya, namun dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, dirumuskan pasangan Pasal 11 ini adalah Pasal 13.
Dengan demikian, untuk menuntut seorang Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara melakukan Tindak Pidana Korupsi berupa Penyuapan Pasif (passieve omkoping) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, terlebih dahulu harus terjadi Tindak Pidana Korupsi berupa Penyuapan Aktif (actieve omkoping) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a atau huruf b.
Sedangkan untuk menuntut seorang Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara melakukan Tindak Pidana Korupsi berupa Penyuapan Pasif sebagaimana dimaksud dalam pasal 11 Undang-Undang yang sama, tidak perlu harus menuntut terlebih dahulu orang yang memberikan atau menjanjikan sesuatu kepada Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara tersebut berdasarkan ketentuan Pasal 13.
Di dalam Dakwaan Pertama Surat Dakwaan Penuntut Umum a quo, Terdakwa didakwa melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam pasal 5 ayat (2) jo. Pasal 5 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, yaitu karena Terdakwa menerima pemberian uang setidak-tidaknya senilai Rp. 7.350.000.000,00 (tujuh miliar tiga ratus lima puluh juta rupiah) dalam bentuk Travellers Cheque Bank Internasional Indonesia (TC BII) dari Nunun Nurbaeti melalui Ahmad Hakim Safari MJ alias Arie Malangjudo, yang diberikan karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya, yaitu Terdakwa mengetahui bahwa pemberian tersebut karena Terdakwa selaku anggota Komisi IX DPR-RI yang memiliki ruang lingkup tugas antara lain berhubungan dengan persetujuan DPR-RI atas pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia sebagaimana ditentukan dalam pasal 41 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 serta Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Nomor : 02A DPR-RI/I/2002 tanggal 20 September 2001 yaitu dalam pelaksanaan pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia yang hasilnya telah memilih Miranda Swaray Goeltom.
Berdasarkan rumusan Dakwaan Pertama dari Surat Dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) tersebut, maka terlihat bahwa Terdakwa didakwa melakukan tindak pidana korupsi penyuapan pasif (passive omkoping), yaitu menerima TC BII dari Nunun Nurbaeti melalui Ahmad Hakim Safari alias Arie Malangjudo sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 5 ayat (2) jo Pasal 5 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.
Sehingga dengan mengikuti pendapat para Ahli Hukum dan Jurisprudensi Mahkamah Agung R.I. tersebut diatas, Majelis berpendapat bahwa untuk terjadinya Tindak Pidana Korupsi Penyuapan Pasif (passive omkoping) yang didakwakan kepada Terdakwa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) dalam perkara ini, harus terjadi terlebih dahulu Tindak Pidana Penyuapan Aktif (actieve omkoping) oleh Nunun Nurbaeti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b dimaksud. Akan tetapi, apabila uraian dakwaan pertama a quo dikaitkan dengan fakta-fakta yang terungkap di depan persidangan perkara ini, baik dari keterangan saksi-saksi, alat bukti surat, keterangan Terdakwa atau alat bukti lainnya, tidak diperoleh adanya fakta persidangan bahwa telah terjadi terlebih dahulu Tindak Pidana Penyuapan Aktif atau setidak-tidaknya penuntutan perkara Tindak Pidana Korupsi Penyuapan Aktif oleh saksi Nunun Nurbaeti berkaitan dengan perkara a quo. Malah sekedar menghadirkan Nunun Nurbaeti sebagai saksi sekalipun Penuntut Umum tidak mampu dalam persidangan perkara ini.
Sehingga keharusan terjadinya tindak pidan korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b untuk terjadinya tindak pidana korupsi pada Pasal 5 ayat (2) dalam perkara ini, menjadi tidak terpenuhi. Dengan demikian keterkaitan Pasal 5 ayat (1) huruf b yang dijuncto-kan dengan Pasal 5 ayat (2) tidak terlihat dalam perkara ini.
Berdasarkan pertimbangan tersebut diatas, Majelis memilih untuk tidak mempertimbangkan Dakwaan PERTAMA dari Surat Dakwaan Jaksa Penuntut Umum, melainkan akan mempertimbangkan Dakwaan KEDUA, yaitu Terdakwa didakwa melakukan tindak pidana sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana.
Adapun unsur-unsur dari Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 adalah sebagai berikut:
1.    Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara;
Bahwa unsur ini mengandung dua elemen yang sifatnya alternatif, yaitu Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara, yang pembuktiannya cukup salah satu dari dua elemen tersebut bila terbukti, maka unsur ini terpenuhi.
Berdasarkan Pasal 1 ayat (2) menjelaskan pengertian Pegawai Negeri sebagai berikut:
(a).         Pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang tentang Kepegawaian;
(b).        Pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana;
(c).         Orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah;
(d).        Orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah; atau
(e).         Orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang mempergunakan modal atau fasilitas dari negara atau masyarakat.
Sedangkan pengertian Penyelenggara Negara didasari pada Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih Dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepostisme, menegaskan bahwa Penyelenggara Negara adalah Pejabat Negara yang menjalankan fungsi eksekutif, legislatif, atau yudikatif, dan pejabat lain yang funsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Kemudian pada Pasal 2 Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih Dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepostisme, menyebutkan bahwa Penyelenggara Negara meliputi:
Ø             Pejabat Negara pada Lembaga Tertinggi Negara;
Ø             Pejabat Negara pada Lembaga Tinggi Negara;
Ø             Menteri;
Ø             Gubernur;
Ø             Hakim;
Ø             Pejabat negara yang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; dan
Ø             Pejabat lain yang memiliki fungsi strategis dalam kaitannya dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Sehingga berdasarkan fakta-fakta yang terungkap di dalam pemeriksaan di depan persidangan bahwa adanya fakta hukum dimana Terdakwa adalah anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR-RI) periode Tahun 1999 – 2004 dari Fraksi Partai Golongan Karya (GOLKAR) yang ditempatkan di Komisi IX, berdasarkan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 313/M Tahun 1999 tertanggal 28 September 1999.
Berdasarkan uraian tersebut, maka Majelis Hakim berpendapat bahwa unsur Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara telah terpenuhi.
2.    Menerima hadiah atau janji;
Bahwa unsur ini mengandung dua elemen yang sifatnya alternatif, yaitu “menerima hadiah” atau “menerima janji”, yang pembuktiannya cukup salah satu dari dua elemen tersebut bila terbukti, maka unsur ini terpenuhi.
Berdasarkan Yurisprudensi Mahkamah Agung RI Nomor 77 K/Kr./1973 tanggal 19 November 1974 yang menegaskan bahwa “tidaklah perlu bahwa pemberian atau janji yang bersangkutan harus diterima secara langsung oleh pelaku sebagai seorang Pegawai Negeri, melainkan juga dapat dilakukan oleh isteri pelaku atau anak-anak pelaku.”
Berkaitan dengan pengertian dari “hadiah” telah dirumuskan dalam Yurisprudensi, bahwa “hadiah” itu segala sesuatu yang mempunyai nilai (Putusan Hoge Raad tanggal 25 April 1916, Burgersdijk: 275). Adapun yang dimaksud dengan janji menurut R. Wiryono adalah Tawaran sesuatu yang diajukan dan akan dipenuhi oleh si pemberi tawaran.
Dan sebagaimana diuraikan bahwa telah terjadi perbuatan menerima hadiah oleh Terdakwa, maka unsur “menerima hadiah atau janji” telah terpenuhi.
3.    Diketahui atau patut diduga bahwa hadiah dan janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya.
Bahwa unsur ini mengandung dua elemen yang sifatnya alternatif, yaitu “Diketahui atau patut diduga bahwa hadiah dan janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya” sebagai elemen unsur pertama dan “yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya” sebagai elemen unsur ke dua, yang pembuktiannya cukup salah satu dari dua elemen tersebut bila terbukti, maka unsur ini terpenuhi.
Maka berdasarkan uraian-uraian yang telah disebutkan diatas, maka dengan demikian unsur “diketahui atau patut diduga bahwa hadiah dan janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya” ini telah terpenuhi.
Sedangkan rumusan Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) adalah mengenai Penyertaan (deelneming), yang rumusannya berbunyi : “Dipidana sebagai pelaku tindak pidana orang yang melakukan, yang menyuruh melakukan dan yang turut serta melakukan.”
Bahwa berdasarkan fakta-fakta yang terungkap di dalam pemeriksaan di depan persidangan diperoleh adanya fakta hukum dimana disertai bukti-bukti dan keterangan saksi-saksi dan keterangan terdakwa bahwa Majelis Hakim berpendapat bahwa seharusnya Terdakwa bisa berbuat lain jika memang tidak ingin berbuat demikian, yaitu tidak menerima amplop berisi TC BII tersebut. Akan tetapi Terdakwa tidak melakukan itu, sehingga kesalahan ada pada diri Terdakwa. Maka unsur ini pun telah terpenuhi.
3.             Putusan Majelis Hakim
Dengan memperhatikan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan Pasal 25 Undang-undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi jo. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) serta ketentuan-ketentuan peraturan perundang-undangan dan hukum yang berkenaan dengan perkara ini.
Maka Majelis Hakim menyatakan dalam amar putusannya adalah sebagai berikut:
(1).        Menyatakan Terdakwa HAMKA YANDHU terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan Tindak Pidana Korupsi secara bersama-sama.
(2).        Menjatuhkan pidana oleh karenanya terhadap Terdakwa HAMKA YANDHU dengan pidana penjara selama 2 (dua) tahun dan 6 (enam) bulan dan pidana denda sebesar Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah) dengan ketentuan apabila denda tidak dibayar, diganti dengan pidana kurungan selama 3 (tiga) bulan kurungan;
(3).        Memerintahkan barang-barang bukti berupa : dirampas untuk negara dan tetap terlampir di dalam berkas.
(4).        Menetapkan kepada Terdakwa biaya perkara sebesar Rp 10.000,- (sepuluh ribu rupiah).

C.            Analisis Putusan
Sebelum melakukan analisa lebnih jauh terhadap ke dua putusan Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi tersebut, maka ada baiknya kita cermati terlebih dahulu Dakwaan dari Jaksa Penuntut Umum. Hal tersebut dikarenakan adanya asas dalam Hukum Acara Pidana di Indonesia bahwa Hakim tidak dapat menuntut melebihi apa yang di dakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum.
Ada beberapa kesamaan yang terdapat di dalam perkara tersebut, hal tersebut dikarenakan memang semuanya berawal dari satu tindak pidana yang dilakukan secara bersama-sama oleh para anggota Komisi IX DPR RI terkait dengan pemilihan Deputi Senior Bank Indonesia.
Dimana para terdakwa didakwa dengan Dakwaan Alternatif, yaitu Dakwaan Pertama: melakukan tindak pidana korupsi yang diatur dan diancam pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 ayat (2) jo. Pasal 5 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP); atau Dakwaan Kedua: melakukan tindak pidana korupsi yang diatur dan diancam pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).

Pasal 5 ayat (2) Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001, yang didakwakan dalam dakwaan pertama rumusannya berbunyi :
“Bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau huruf b, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)”.
Sedangkan pasal 5 ayat (1) huruf b Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 rumusannya berbunyi :
“Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling sedikit Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 250.000.000,- (dua ratus lima puluh juta rupiah), setiap orang yang memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya”
Dan Pasal 11 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 yang didakwakan dalam dakwaan kedua, rumusannya berbunyi :
“Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 250.000.000,- (dua ratus lima puluh juta rupiah), pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan dan kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberi hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya”.
Baik di dalam perkara Terdakwa Hamka Yandhu maupun Terdakwa Endhin Akhmad Jalaluddin Soefihara, kedua Majelis Hakim berpendapat sama, bahwa di dalam dakwaan yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum adalah Dakwaan KEDUA yang dapat dipertimbangkan unsur-unsurnya. Karena menurut Majelis Hakim tersebut bahwa untuk terjadinya korupsi ayat (2) Pasal 5, harus terjadi terlebih dahulu Korupsi Suap menurut ayat (1) huruf a atau huruf b. Dengan terjadinya Korupsi Suap ayat (1), dengan sendirinya terjadi pula korupsi suap ayat (2). Tidak sebaliknya, korupsi Pasal 5 ayat (2) tidak dapat dipisahkan dengan Korupsi pada Ayat (1). Sedangkan Korupsi Pasal 11 adalah korupsi yang berdiri sendiri. Terjadinya Korupsi Pasal 5 ayat (1) huruf a dan b, tidak otomatis terjadi korupsi pasal 11, walau pun mungkin dalam kasus tertentu dapat terjadi, tetapi bukan suatu keharusan.
Dan yang mengherankan adalah bahwa Jaksa Penuntut Umum (JPU) justru menuntut Dakwaan PERTAMA yang terbukti dengan sah. Secara keilmuan ini adalah suatu keanehan, karena mengapa bisa terjadi perbedaan pemahaman mengenai suatu tindak pidana yang terjadi.
Tindak Pidana Korupsi adalah suatu tindak pidana yang sangat luarbiasa (extra ordinary crime), maka seharusnya Penegak Hukum yang berkecimpung secara khusus di dalam penegakan hukum terhadap Tindak Pidana Korupsi seharusnya mempunyai satu suara, satu misi dan visi. Sehingga menurut Penulis, penyajian Surat Dakwaan dan Surat Tuntutan dalam perkara ini ada keganjalan.
Berdasarkan Surat Dakwaan Dan Surat Tuntutan Jaksa Penuntut Umum, bahwa Terdakwa Hamka Yandhu telah melakukan Tindak Pidana Korupsi sebesar Rp 7.500.000.000 ,- (tujuh miliar lima ratus juta rupiah), namun dalam pemeriksaan diketahui bahwa Hamka Yandhu hanya menerima Rp 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah). Sedangkan Terdakwa Endhin Akhmad Jalaluddin Soefihara menerima Rp 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) namun tidak dinikmatinya dan dititipkan ke Saksi Danial Tandjung dan Saksi H. Abdul Aziz.
Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa para terdakwa dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 11 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001. Pasal ini mengandung pemidanaan kumulatif-imperatif, yaitu pidananya merupakan gabungan dari dua jenis atau lebih pidana yang wajib diterapkan. Maka berdasarkan Pasal 11 UU TIPIKOR tersebut maka pemidanaannya adalah gabungan atau kumulatif antara Pidana Penjara dan/atau Pidana Denda.
Dilihat dari isi putusan kedua perkara tersebut, bahwa kedua majelis hakim selain menjatuhkan Pidana Penjara juga menjatuhkan Pidana Denda kepada Terdakwa, dimana sebelumnya uang hasil pencairan TC BII telah dirampas untuk Negara. Secara umum, pengaturan Tindak Pidana Korupsi dikarenakan adanya unsur kerugian keuangan negara yang terjadi sehingga Terdakwa wajib mengembalikan kerugian keuangan Negara tersebut.
Namun dalam perkara ini, perkara ini adalah pada prinsipnya bukan perkara Tindak Pidana Korupsi murni, namun Tindak Pidana Suap yang ditarik ke dalam UU TIPIKOR sehingga menjadi Tindak Pidana Korupsi. Sehingga menurut Penulis, tidak ada kerugian Keuangan Negara pada perkara ini. Namun dengan dirampasnya uang hasil pencarian TC BII tersebut merupakan hal yang wajar. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah merupakan suatu keadilan hukum bila Terdakwa dikenakan pula Pidana Denda selain Pidana Penjara. Menurut Penulis, walaupun UU TIPIKOR membolehkan atau bahkan mewajibkan untuk menggunakan Lembaga Pidana Denda kepada Terdakwa namun bila ternyata tidak ada unsur yang merugikan keuangan negara, adalah melanggar keadilan hukum.
Dilihat dari sisi kualitas putusan, menurut Penulis, ada yang mengganjal dan patut dicermati dengan seksama. Yaitu kedua perkara tersebut berasal dari perkara yang sama dan para pihak yang sama, hanya kemudian pemeriksaannya perkara tersebut dipisah menjadi beberapa berkas (splitsing). Sehingga perkara tersebut memiliki ciri dana karakteristik yang sama mulai dari dakwaan, tuntutan, pemeriksaan bukti dan saksi bahkan seharusnya hingga putusan dijatuhkan.
Namun, dikarenakan perkara tersebut dipisah menjadi beberpaa berkas (splitsing), maka konsekwensinya adalah tiap-tiap berkas diperiksa dengan Majelis Hakim yang berbeda. Dan ketidakseragaman pemahaman terhadap hukum tindak pidana korupsi akan menjadi penghalang dalam penegakan hukum.
Terbukti dalam perkara dengan terdaka Hamka Yandhu dan Endhin Akhmad Jalaluddin Soefihara, berasal dari satu perkara yang sama kemudian terjadi splitsing namun masih dalam ciri dan karakter perkara yang sama namun berbeda putusan (Disparitas Putusan). Terdakwa Hamka Yandhu di vonnis dengan Pidana Penjara selama 2 (dua) tahun 6 (enam) bulan dan terdakwa Endhin Akhmad Jalaluddin Soefihara di vonnis dengan Pidana Penjara selama 1 (satu) tahun 3 (tiga) bulan. Padahal baik proses pemeriksaan hingga pertimbangan hukum kedua perkara tersebut hampir dipastikan sama persis namun berbeda putusan.
Ini merupakan suatu hal yang sangat merupakan proses penegakan hukum, karena Hakim TIPIKOR ternyata tidak sama pemahamannya tentang Tindak Pidana Korupsi, sehingga terjadi Disparitas Putusan Pidana.

No comments:

Post a Comment