Tuesday, February 15, 2011

Tindak Pidana Penempatan Tenaga Kerja Di Bawah Umur Ke Luar Negeri


Tulisan ini merupakan pembahasan dari sebuah putusan Hakim atas perkara Tindak Pidana dalam penempatan anak di bawah umur sebagai Pekerja ke luar Negeri. 

A.           Analisis Undang Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2004
Pembahasan utama dari penulisan  ini adalah bahwa penulis mencoba untuk melihat dari 3 (tiga) sisi undang-undang dalam memandang tindak pidana penempatan TKI di bawah umur secara illegal, yaitu melalui Undang-undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan & Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri, Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, dan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak.
Awal dari pembahasan ini, penulis berangkat dari surat pemberitahuan yang dikeluarkan oleh Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) berkaitan dengan maraknya penempatan TKI ke luar negeri secara illegal. Pemberitahuan tersebut di keluarkan pada hari Senin tanggal 16 Juni 2008, yang isi nya sebagai berikut:[1]

“Diberitahukan kepada seluruh perusahaan yang menempatkan Tenaga Kerja Indonesia untuk kepentingan sendiri di luar negeri baik dalam rangka ekspansi usaha, memperoleh kontrak pekerjaan, hubungan kepemilikan dengan perusahaan di luar negeri maupun peningkatan kualitas SDM, harus memperoleh persetujuan dari pemerintah dan proses penempatan melalui: BADAN NASIONAL PENEMPATAN DAN PERLINDUNGAN TENAGA KERJA INDONESIA.
Fasilitas yang diberikan oleh pemerintah adalah bebas pembayaran fiscal luar negeri, pembekalan akhir pemberangkatan dan Kartu Tenaga Kerja Luar Negeri (KTKLN) berbentuk SMART CARD. Dengan mengikuti ketentuan tersebut berarti anda telah memberikan perlindungan terhadap tenaga kerja yang akan bekerja di luar negeri.
Penempatan TKI secara “non prosedural” dapat dipidana dengan kurungan 1 (satu) tahun dan atau denda Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) sesuai dengan Pasal 104 Ayat 1 Undang Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2004 dan mengarah kepada tindakan perdagangan manusia (Trafficking).”
Melalui pemberitahuan tersebut, nampaknya BNP2TKI mencoba mengarahkan bahwa pelanggaran terhadap Pasal 104 UU No. 39 Tahun 2004 dapat di pidana penjara karena merupakan tindak pidana kejahatan.
Bila melihat dari uraian-uraian sebelumnya, maka tindak pidana perdagangan orang terutama anak, berawal dari perekrutan yang marak tanpa melalui prosedur yang jelas. Sehingga tidak memiliki kepastian hukum dan perlindungan hukum bagi calon TKI yang akan bekerja di luar negeri.
Berdasarkan kasus-kasus yang terjadi terhadap TKI di Luar Negeri, dimana penempatannya tidak melalui prosedur yang resmi (illegal), mengalami banyak pelecehan dan eksploitasi yang merendahkan harkat dan martabatnya sebagai manusia.
Berdasarkan bukti empiris, perempuan dan anak adalah kelompok yang paling banyak menjadi korban tindak pidana perdagangan orang. Korban diperdagangkan tidak hanya untuk tujuan pelacuran atau bentuk eksploitasi seksual lainnya, tetapi juga mencakup bentuk eksploitasi lain, misalnya kerja paksa atau pelayanan paksa, perbudakan, atau praktik serupa perbudakan itu. Pelaku tindak pidana perdagangan orang melakukan perekrutan, pengangkutan, pemindahan, penyembunyian, atau penerimaan orang untuk tujuan menjebak, menjerumuskan, atau memanfaatkan orang tersebut dalam praktik eksploitasi dengan segala bentuknya dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, atau memberi bayaran atau manfaat sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas korban.[2]
Kondisi tersebut jelas melanggar hak-hak TKI sebagai tenaga kerja yang dilindungi keberadaannya oleh Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, dimana disebutkan bahwa pembangunan ketenagakerjaan harus diatur sedemikian rupa sehingga terpenuhi hak-hak dan perlindungan yang mendasar bagi tenaga kerja dan pekerja/buruh.[3]
Pembangunan ketenagakerjaan mempunyai banyak dimensi dan keterkaitan. Keterkaitan itu tidak hanya dengan kepentingan tenaga kerja selama, sebelum dan sesudah masa kerja tetapi juga keterkaitan dengan kepentingan pengusaha, pemerintah, dan masyarakat.
Dalam kaitannya dengan penempatan anak di bawah umur sebagai TKI  di luar negeri, maka dalam permasalahan ini masuk pula ke dalam ruang lingkup Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Berkaitan dengan perlindungan terhadap anak sebagai TKI illegal, maka acuannya dapat melalui Keputusan Presiden (Keppres) No.36 tahun 1990 tentang Konvensi Hak Anak (KHA) yang telah diratifikasi. Sehingga secara normatif, bahwa pemerintah harus secara luas melakukan konsolidasi dalam negaranya sendiri terhadap standard yang ada dalam konvensi dan memulai melakukan identifikasi hukum nasional dan praktek-praktek yang dibutuhkan untuk menyesuaikannnya dengan standard yang ada dalam KHA. Ratifikasi adalah langkah selanjutnya, yang secara formal mengikat negara, atas nama rakyat, untuk memenuhi kewajiban dan tanggungjawab yang digariskan dalam KHA.
Keberadaan ketiga Undang-undang tersebut, terkait dengan permasalahan penempatan anak di bawah umur sebagai TKI di luar negeri, sangatlah erat kaitannya antara satu dengan yang lainnya.
Sebagaimana dikemukakan sebelumnya bahwa anak dapat saja dipekerjakan dengan memperhatikan jenis pekerjaan yang tidak mengganggu perkembangan baik fisik maupun mentalnya. Sehingga tidak memungkinkan bila seorang anak di bawah umur dapat ditempatkan sebagai TKI secara formal (sah). Hal tersebut dikarenakan prosedur yang panjang dan beberapa kali penyaringan, jelas sangat mengganggu perkembangan mental dan fisiknya.
Maka UU Perlindungan Anak (UUPA) diharapkan banyak pihak untuk mampu memberikan perlindungan terhadap tenaga kerja anak yang mengalami eksploitasi tersebut. Namun, walaupun Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sudah disahkan, tetapi pelaksanaan di lapangan belum berjalan seperti yang diharapkan. Masing-masing pihak yang terlibat dalam pelaksanaan undang-undang itu menyampaikan sederet persoalan yang secara nyata mereka hadapi sehari-hari di lapangan dalam pelaksanaan undang-undang tersebut.[4]
Masih banyak terjadi praktek pengeksploitasian anak sebagai pekerja di luar negeri. Sehingga untuk mendukung UUPA, maka Pemerintah melakukan Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak yang dituangkan di dalam Keputusan Presiden RI No. 88 Tahun 2002, yang menyebutkan bahwa negara wajib melindungi dan menjaga kehormatan martabat bangsa, secara hukum, ekonomi, politik, sosial dan budaya tanpa membedakan suku, agama, ras dan golongan.
Perlindungan terhadap anak di bawah umur tidak berhenti hingga di situ saja. Pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat sebagai pembentuk undang-undang, menerbitkan Undang-undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan & Perlindungan TKI di Luar Negeri (UU P2TKILN), sebagai manifestasi atau perwujudan amanat yang dibebankan oleh UU Ketenagakerjaan.
Dimana melalui undang-undang tersebut, dibentuklah Badan Nasional Penempatan Dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI). Dengan dibentuknya BNP2TKI, maka seluruh perekrutan calon TKI dapat terpantau, dan perekrutan illegal dapat dihentikan.
Namun, dengan dikeluarkannya pemberitahuan kepada badan pelaksana perekrutan TKI tersebut diatas, dan dengan di dukung oleh beberapa data-data, ternyata perekrutan illegal masih berlangsung.
Dengan adanya desakan dari berbagai pihak, baik secara nasional maupun internasional, kembali Pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat menerbitkan Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTPPO).
Namun patut disayangkan, bahwa yang menjadi dasar hukum atas terbentuknya UU PTPPO hanya UUPA saja. UU P2TKILN tidak menjadi dasar hukum dari UU PTPPO, hal ini menandakan bahwa mekanisme pembentukan undang-undan tidak berjalan secara menyeluruh.
Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat hanya melihat permasalahan dari salah satu sisi semata yaitu sisi perlindungan anak saja. Sedangkan apabila kita melihat modus operandi dari perdagangan orang ataupun anak, adalah perekrutan calon TKI. Dimana pelaku usaha tersebut sepatutnya menundukkan diri pada UU P2TKILN.
Berkaitan dengan UU PTPPO dengan penempatan anak di bawah umur sebagai TKI, maka perlu dicermati batasan anak yang diberikan oleh UU PTPPO yaitu pada Pasal 1 angka 5 yang menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Demikian pula sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 angka 1 UUPA yang menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Dan juga dalam Pasal 35 huruf ‘a’ yang menegaskan bahwa Perekrutan calon TKI oleh pelaksana penempatan TKI swasta wajib dilakukan terhadap calon TKI yang telah memenuhi persyaratan: berusia sekurang-kurangnya 18 (delapan belas) tahun kecuali bagi calon TKI yang akan dipekerjakan pada Pengguna perseorangan sekurang-kurangnya berusia 21 ( dua puluh satu) tahun.
Sehingga bila terdapat pelaku usaha melakukan penempatan terhadap anak di bawah umur dapat di jerat dengan UU PTPPO dan UUPA serta UU P2TKILN.
Secara khusus di sebutkan berkaitan dengan anak yang menjadi korban dapat ditemui dalam Pasal 6 UU PTPPO yang menyebutkan sebagai berikut:
“Setiap orang yang melakukan pengiriman anak ke dalam atau ke luar negeri dengan cara apa pun yang mengakibatkan anak tersebut tereksploitasi dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).”
Bila dihubungkan dengan ketentuan dalam UU P2TKILN, maka ketentuan yang mengikat adalah Pasal 103 ayat (1) huruf c, dimana disebutkan bahwa  dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp. l.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah), setiap orang yang: melakukan perekrutan calon TKI yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35;

B.            Kasus Posisi
Bahwa ia terdakwa SAMACHA binti SUNGKAR alias MAYA, pada hari senin tanggal 30 Juli 2007 sekira pukul 05.30 WIB, atau setidak-tidaknya pada suatu waktu di bulan Juli 2007 bertempat di jalan Asem Baris Jl. K No. 5A Kel. Kebon Baru, Kecamatan Tebet, Jakarta Selatan atau setidak-tidaknya disuatu tempat dalam daerah hukum Pengadilan Ngeri Jakarta Selatan yang berwenang memeriksa dan mengadili perkara ini, telah melakukan perbuatan pengiriman anak keluar negeri dengan cara apapun yang mengakibatkan anak tersebut tereksploitasi.
Awalnya berdasarkan informasi dari masyarakat yang diterima petugas di Polda Metro Jaya, bahwa di Bandara Soekarno-Hatta sering ada kegiatan pemberangkatan Tenaga Kerja Indonesia/TKI untuk bekerja di luar negeri yang diduga tidak memiliki Surat Ijin dari pihak berwenang.
Atas informasi tersebut, pada tanggal 30 Juli 2007 pada pukul 03.15 WIB beberapa anggota dari Unit IV Sat. Sumdaling Dit. Reskrimsus Polda Metro Jaya yang dipimpin oleh Komisaris Polisi Ajie Indra Dwiatma, Sik. Serta anggota antara lain AKP. Sumarjo, AKP. Sadjimin, AKP. Sudarto dan BRIPKA M. Hutahaen diberi tugas melakukan penyelidikan didaerah tersebut.
Sesampainya di lokasi, kemudian dilakukan pemeriksaan terhadap sebuah mobil kijang No. POl. B-2701-DZ yang dikemudikan oleh saksi Wawan Ridwan dan ternyata didalam mobil tersebut ada penumpangnya yaitu saksi Suhermin bin Jisan dan saksi Somadi bin Rosid (berkas perkara mereka disidangkan tersendri) serta 7 (tujuh) anak perempuan antara lain saksi Siti Sadiyah binti Hadad, saksi Tunisiah binti Karda dan Ratna binti Intra yang akan diberangkatkan ke luar negeri untuk menjadi tenaga kerja di Negara Syiria, sesuai dengan passport yang saat itu dipegang oleh saksi Somadi bin Rosid, karena saat itu saksi Suhermin bin Jisan dan saksi Somadi bin Rosid tidak bisa menunjukan surat ijin dari pihak berwenang atas pemberangkatan 7 (tujuh) orang calon tenaga kerja tersebut, kemudian saksi Suhermin bin Jisan dan saksi Somadi bin Rosid beserta barang buktinya diserahkan ke Polda Metro Jaya untuk pengusutan lebih lanjut.
Dari hasil pemeriksaan penyidik di Kantor Polda Metro Jaya terhadap saksi Somadi bin Rosid dan saksi Suhermin bin Jisan, antara lain menerangkan bahwa mereka adalah pegawai freelance dari terdakwa, dan pagi itu disuruh terdakwa untuk membawa 7 (tujuh) orang tenaga kerja tersebut dari rumah terdakwa di Jalan Asem Baris Jl. K No. 5A Kelurahan Kebon Baru, Kecamatan Tebet Jakarta Selatan.
Ketika diperiksa, terdakwa mengakui pada hari Senin tanggal 30 Juli 2007 telah menyuruh saksi Suhermin bin Jisan untuk mengantar 7 (tujuh) orang calon tenaga kerja yang akan dipekerjakan di Syiria, namun karena tidak mempunyai ijin resmi terdakwa menyuruh saksi Somadi bin Rosid selaku pegawai terdakwa untuk mengurus prosedur pemberangkatan ke-7 (tujuh) orang calon TKI tersebut di Bandara Soekarno-Hatta sebagai penumpang umum, yaitu dengan menggunakan Paspor Umum dan Tiket Umum dan sekaligus mengurus prosedur Boarding Passnya di Bandara, saat itu telah disiapkan tiket pesawat Air Asia untuk transit dulu di Malaysia dan uang sejumlah Rp. 4.400.000,- untuk biaya pembayaran Airport Tax, agar bisa diberangkatkan ke Syiria.
Bahwa selain 7 (tujuh) orang tersebut, didalam rumah terdakwa tersebut masih ada 37 (tiga puluh tujuh) orang lagi calon TKI yang siap diberangkatkan dan diantaranya ada yang berumur dibawah 18 tahun. Para calon tenaga kerja tersebut, selama dirumah penampungan tersebut, tidak ada yang dimintakan biaya oleh terdakwa, namun terdakwa mendapat pembayaran dari Agency di Negara Syiria dan Dubai sekitar US.$ 250 untuk setiap orang calon tenaga kerja ;
1.             Dakwaan Dan Tuntutan Jaksa Penuntut Umum
Dakwaan Jaksa Penuntut Umum:
KESATU: Primair :
Perbuatan terdakwa SAMACHA binti SUNGKAR alias MAYA, diatur dan diancam pidana dalam Pasal 6 Undang-Undang Republik Indonesia No. 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang
Subsidair:
Perbuatan terdakwa Samacha binti Sungkar alias Maya, diatur dan diancam pidana dalam Pasal 53 ayat (1) KUHP jo Pasal 6 Undang-Undang Republik Indonesia No. 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
KEDUA: Primair:
Perbuatan terdakwa SAMACHA binti SUNGKAR alias MAYA, diatur dan diancam pidana dalam Pasal 102 ayat (1) huruf a Undang-Undang Republik Indonesia No. 39 Tahun 2004 Tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri.
Subsidair:
Perbuatan terdakwa SAMACHA binti SUNGKAR alias MAYA, diatur dan diancam pidana dalam Pasal 103 ayat (1) huruf f Undang-Undang Republik Indonesia No. 39 Tahun 2004 Tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri
2.             Putusan Majelis Hakim
M  E  N  G  A D  I  L  I
1.             Menyatakan bahwa terdakwa : Samacha bin Sungkar alias Maya dengan identitas tersebut diatas, telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana : “ Orang perorangan melakukan penempatan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri tanpa izin dari pihak berwenang “ ;
2.             Menghukum oleh karena itu terdakwa tersebut dengan pidana penjara selama : 1 (satu) tahun, denda Rp. 2.000.000.000,- (dua milyar) dan subsider 1 (satu) bulan kurungan ;
3.             Menetapkan bahwa lamanya masa penahanan yang telah dijalani terdakwa, dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan kepadanya ;
4.             Memerintahkan supaya terdakwa tetap dalam tahanan ;
5.             Memerintahkan agar barang bukti dalam perkara ini berupa : “Beberapa buku pasport TKI antara lain an.Siti Sadiyah binti Hadad Ratna binti Intra, Tunisiah, uang sejumlah Rp. 4.400.000,- tiket pesawat Air Asia tujuan Negara Malaysia, 1 buah kunci mobil, 2 buah Handphone merk Nokia, 1 lembar kwitansi surat bukti kontrak rumah, Ijasah SD dan akte kelahiran. Tunisiah binti Karda, Siti Sadiyah binti hadad dan an. Ratna binti Intra dan 1 (satu) set komputer digunakan dalam perkara. Terdakwa Somadi bin Rosid dan Suhermin bin Jisan;
6.             Membebankan pula terdakwa untuk membayar onkos pekara sebesar Rp. 2.000,-(dua ribu rupiah ) ;

C.           Analisis Putusan No. 2127 / Pid.B / 2007 / PN.Jkt.Sel
Melihat surat dakwaan dari Jaksa Penuntut Umum, maka diketahui bahwa JPU menggunakan dakwaan Kumulatif, dimana pada Dakwaan Kesatu terdakwa dijerat dengan Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, yaitu pada diancam Pasal 6 Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007, yang menegaskan sebagai berikut:
Setiap orang yang melakukan pengiriman anak ke dalam atau ke luar negeri dengan cara apa pun yang mengakibatkan anak tersebut tereksploitasi dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).”
Dalam ketentuan tersebut terdapat unsur-unsur sebagai berikut:
a.             Setiap orang
Setiap orang dalam unsur pertama dapat saja berupa orang perseorangan maupun berupa badan hukum (korporasi), unsur tersebut merupakan sinonim dengan unsur “barang siapa” dalam KUHP.

b.             yang melakukan pengiriman anak ke dalam atau ke luar negeri;
Terkait dengan unsur kedua yaitu berupa kegiatan dari subyek hukum (orang atau badan hukum) yang melakukan pengiriman obyek hukum berupa anak. Untuk diketahui obyek nya adalah anak sebagaimana terungkap dalam pemeriksaan di depan persidangan, maka berpatokan kepada Pasal 1 angka 1 Undang-undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang menegaskan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Demikian pula ditegaskan dalam Pasal 1 angka 5 UU No. 21/2007 yang menegaskan bahwa yang dimaksud dengan Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.
Berkaitan dengan kegiatannya dengan “pengiriman” ke luar negeri, maka kegiatan tersebut masuk pula dalam ruang lingkup Undang-undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan & Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri yaitu pada Pasal 102 dan 103 ayat (1) huruf c yang menegaskan sebagai berikut:
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp. l.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp.5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah), setiap orang yang: melakukan perekrutan calon TKI yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35.”
Pasal 35 UU No. 39/2004 dengan jelas menegaskan sebagai berikut:
a.
berusia sekurang-kurangnya 18 (delapan belas) tahun kecuali bagi calon TKI yang akan dipekerjakan pada Pengguna perseorangan sekurang-kurangnya berusia 21 (dua puluh satu) tahun;
b.
sehat jasmani dan rohani;
c.
tidak dalam keadaan hamil bagi calon tenaga kerja perempuan; dan
d.
berpendidikan sekurang-kurangnya lulus Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) atau yang sederajat.
c.              Dengan cara apa pun ;
Dalam unsur yang ke tiga yaitu “dengan cara apapun”, unsur tesebut menimbulkan penafsiran yang sangat luas, dalam artian bahwa dapat saja perbuatannya dilakukan dengan cara-cara yang illegal.
d.            Yang mengakibatkan anak tersebut tereksploitasi
Sedangkan pada unsur ke empat yaitu “yang mengakibatkan anak tersebut tereksploitasi”, melihat unsur tersbut maka perlu diadakan pembuktian terlebih dahulu, apakah anak tersebut telah tereksploitasi atau kah belum. Atau dapat saja menafsirakan bahwa perbuatan terdakwa di duga cukup kuat akan berakibat terjadinya eksploitasi terhadap anak sebagai korban.
Yang mengherankan penulis adalah tata cara penyusunan surat dakwaan tersebut terkesan tidak professional dan tidak lazim dalam praktek peradilan. Hal tersebut terlihat dalam Dakwaan Kesatu Subsidair, dimana JPU meletakan pasal KUHP yaitu penyertaan di depan pasal yang menajdi pokok dakwaan. Sehingga terlihat tidak lazim seperti sebagai berikut : “Pasal 53 ayat (1) KUHP jo Pasal 6 Undang-Undang Republik Indonesia No. 21 Tahun 2007.”
Dalam praktek peradilan, Pasal penyertaan biasanya diletakan di belakang setelah pasal pokok yang menjadi dakwaan. Sedangkan dalam dakwaan kedua, JPU hanya menjerat dengan Pasal 102 ayat (1) huruf ‘a’ dan Pasal 103 ayat (1) huruf ‘f’.
Padahal dalam pemeriksaan diketahui bahwa perbuatan terdakwa dalam melakukan pengiriman tenaga kerja illegal tersebut terdapat beberapa TKI yang masih di bawah umur.
Seharusnya tuntutan terhadap dapat dilakukan dengan pemeriksaan yang terpisah, yaitu memisahkan para korban menjadi dua kelompok terdiri dari kelompok dewasa dengan kelompok anak di bawah umur.
Dalam bentuk surat Dakwaan Kumulatif seperti yang diajukan oleh JPU, maka Majelis Hakim wajib membuktikan kesemua dakwaan dari JPU terhadap diri terdakwa.
Melihat putusan dari Majelis Hakim tersebut, penulis tidak sepakat bila terdakwa dinyatakan bersalah dengan Pasal 102 ayat (1) UU No. 39/2004. Menurut penulis, bahwa dengan terungkapnya kegiatan terdakwa dengan melakukan pengiriman anak di bawah umur sebagai TKI dengan cara yang illegal, maka terdakwa jelas melanggar UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang juga dan bukan hanya UU No. 39 Tahun 2004 semata.
Kelemahan dari Pasal 6 UU No. 21/2007 berkaitan dengan unsur ke empat yaitu “yang mengakibatkan anak tersebut tereksploitasi”, memang harus dibuktikan adanya akibat yang diderita oleh korban. Namun, bila melihat dari niat dan perbuatan permulaan serta pelaksanaan nya seharusnya sudah dapat diduga dengan kuat akan akibat yang diderita oleh anak tersebut.



[1] Sumber: http://www.bnp2tki.go.id/content/view/195/56/lang,id/
[2] Indonesia, Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor  58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4720.
[3] Indonesia, Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279.
[4] Harian Kompas, Undang-Undang Perlindungan Anak. Pelaksanaan Masih Jauh dari Harapan, Senin, 20 Desember 2004.

No comments:

Post a Comment