Tuesday, December 7, 2010

PERLAWANAN PIHAK III TERHADAP DEPONIR KEJAKSAAN MELALUI GUGATAN PERADILAN TATA USAHA NEGARA (PTUN)

Oleh:
Rocky Marbun, S.H., M.H.
Keluarnya keputusan untuk men-deponeering perkara Bibit-Chandra menimbulkan pro kontra di kalangan akademisi dan praktisi hukum bahkan para politisi di negeri ini. Pada awal perkara Bibit-Chandra bergulir ke tangan Kejaksaan setelah dari Kepolisian, maka begitu bergemuruh suara-suara agar perkara tersebut di deponir saja, dengan alasan demi “pemberantasan korupsi” di Indonesia yang semakin parah. Karena perkara tersebut dianggap oleh beberapa pihak sebagai upaya melemahkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Alasan kepentingan umum yang kemudian menjadi tolak ukur atas permintaan deponeering tersebut.
Namun sejauh mana alasan “kepentingan umum” ini dapat dipergunakan? Apakah kemudian dengan alasan “kepentingan umum” tersebut kemudian diperbolehkan untuk melukai perasaan keadilan beberapa pihak yang merasa dirugikan? Sejauhmana Jaksa Agung diperbolehkan menggunakan diskresinya untuk mengeluarkan deponeering tersebut?

Hal-hal seperti itu, hendaknya patut kita jadikan perenungan, bahwa Jaksa Agung adalah manusia biasa yang penuh dengan kekurangan. Sehingga kewenangan yang didasarkan pada asas diskresi yang tanpa batas akan menjadikan ketidakpastian hukum dan melukai rasa keadilan dari sebagian masyarakat.
Perlu diingat, bahwa dengan dikeluarkannya keputusan men-deponeering perkara Bibit-Chandra, maka keduanya akan menyandang status sebagai Tersangka seumur hidupnya, dan tanpa kejelasan dan ketidakpastian. Yang kemudian dapat ditarik kesimpulan sementara adalah bahwa KPK dipimpin oleh seseorang dengan status Tersangka.
Namun tulisan ini tidak membahas perkara Bibit-Chandra secara khusus, dimana penulis dalam tulisan ini akan mencoba menelaah sisi hukum dan keadilan atas dikeluarkannya deponeering yang dikaitkan dengan upaya hukum yang dapat ditempuh bila keputusan deponeering tersebut adalah merupakan suatu ketidakadilan dan penzoliman terhadap seseorang atau sekelompok masyarakat.
Pertama-tama yang harus kita pahami bersama adalah bahwa terdapat perbedaan yang mendasar antara “deponeering” dengan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) atau Surat Keputusan Penghentian Penuntutan (SKPP). Salah satu perbedaannya adalah bahwa Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) dapat dikeluarkan oleh lembaga POLRI melalui penyidik dan Surat Keputusan Penghentian Penuntutan (SKPP) melalui lembaga Kejaksaan. Namun, deponir perkara hanya dapat dilakukan dalam pemeriksaan penyidikan oleh kejaksaan.
Deponir perkara di atur dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia yaitu pada Pasal 35 huruf c, yang berbunyi sebagai berikut:
“Jaksa Agung mempunyai tugas dan wewenang: d. mengesampingkan perkara demi kepentingan umum.”
Dari bunyi pasal tersebut diketahui bahwa penentuan suatu perkara dapat dikesampingkan (di-deponir) berada dalam kewenangan Jaksa Agung.
Sedangkan dalam penjelasan pasal tersebut diungkapkan Yang dimaksud dengan “kepentingan umum” adalah kepentingan bangsa dan negara dan/atau kepentingan masyarakat luas. Mengesampingkan perkara sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini merupakan pelaksanaan Asas Oportunitas, yang hanya dapat dilakukan oleh Jaksa Agung setelah memperhatikan saran dan pendapat dari badan-badan kekuasaan negara yang mempunyai hubungan dengan masalah tersebut.
Berdasarkan ketentuan tersebut maka dapat dilihat perbedaan lain yang sangat krusial, yaitu adalah bahwa perkara yang mendapat Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) dapat dibuka kembali dengan adanya bukti baru (Novum). Sedangkan perkara yang di-deponir oleh Jaksa Agung tidak dapat dibuka kembali untuk diperiksa, sudah barang tentu dengan pertimbangan demi kepentingan umum tersebut.
Deponeering atau deponir tidak diatur secara tegas dalam KUHAP, hanya tersirat dalam penjelasan Pasal 77 KUHAP yang menyatakan, yang dimaksud dengan “penghentian penuntutan” tidak termasuk penyampingan perkara untuk kepentingan umum yang menjadi wewenang Jaksa Agung. Pengaturan lebih jelas terdapat dalam Pasal 35 huruf -c UU No.16/2004 tentang Kejaksaan RI yang menyatakan, Jaksa Agung mempunyai tugas dan wewenang untuk menyampingkan perkara demi kepentingan umum.
Menurut penjelasan Pasal 35 huruf c UU No.16/2004, yang dimaksud dengan “kepentingan umum” adalah kepentingan bangsa dan negara dan/atau kepentingan masyarakat luas.
Di dalam penjelasan resmi UU Kejaksaan, maka sebelum mengeluarkan deponeer perkara, Jaksa Agung harus memperhatikan dan mempertimbangkan saran dan pendapat dari badan-badan kekuasaan negara yang mempunyai hubungan dengan perkara yang akan di deponeer. Sehingga tidak serta merta Jaksa Agung dapat mengeluarkan deponeer perkara.
Adapun badan-badan kekuasaan negara yang dimaksud adalah badan-badan yang terkait secara langsung terhadap perkara yang dimaksud, antara lain sebagai berikut:
1.             Kepolisian
2.             Mahkamah Agung
3.             Departemen Hukum dan HAM
4.             Lembaga Negara lainnya disesuaikan dengan jenis perkara.
Hal tersebut merupakan signal bahwa Jaksa Agung harus berkoordinasi dengan lembaga-lembaga penegak hukum lainnya. Ini merupakan cerminan dari Sistem Peradilan Pidana Terpadu.
Namun yang disayangkan adalah bahwa ketentuan tersebut bersifat fakultatif (tidak wajib). Sehingga Jaksa Agung dapat saja melakukan diskresi atas keluarnya deponeering tersebut. Ini merupakan celah terjadinya penyimpangan perilaku dari Jaksa Agung.
Sebagaimana telah sempat disinggung sebelumnya bahwa deponeering tidak dapat dilakukan upaya hukum apapun dikarenakan merupakan Hak Istimewa dari Jaksa Agung. Benarkah demikian??
Beberapa pendapat hukum mengatakan tidak demikian. Mereka menyebutkan bahwa deponeering dapat dibatalkan, yaitu melalui Gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara.
Pada prinsipnya, Penulis sepakat dengan pendapat tersebut, karena bila lembaga Deponeering atau deponir diberlakukan berdasarkan Asas Oportunitas dan Asas Diskresi Jaksa Agung tanpa alasan yang tidak jelas, karena tidak ada definisi yang pasti mengenai demi “kepentingan umum”, maka akan menjadi alat untuk memandulkan hukum dan justru merugikan kepentingan umum. Sehingga menurut Penulis, lembaga Deponeering atau deponir harus bisa diterobos demi kepentingan umum pula. Sebagaimana pendapat beberapa hakim yang menganggap pengajuan PK atas PK adalah merupakan terobosan hukum.
Bagaimana melakukan pembenaran atas pendapat tersebut diatas? Ijinkan Penulis untuk menelaah lebih jauh.
Pertama, bahwa objek sengketa pada Peradilan Tata Usaha Negara (untuk selanjutanya di sebut PTUN) adalah Keputusan Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata tertentu.
Keputusan Deponir merupakan keputusan Jaksa Agung secara administratif kenegaraan yang bersifat konkret karena berbentuk keputusan, individual karena mengacu secara khusus kepada seseorang dan/atau badan hukum, dan final karena hanyalah Jaksa Agung adalah pemilik kewenangan tersebut. Dari sisi ini maka keputusan deponir dapat diklasifikasikan sebagai objek sengketa.
Kedua, mengacu kepada Pasal 2 huruf d Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yang menegaskan bahwa :
“Tidak termasuk dalam pengertian Keputusan Tata Usaha Negara menurut Undang-Undang ini: Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau peraturan perundang-undangan lain yang bersifat hukum pidana.”
Lembaga Deponeer tidak diatur baik di dalam KUHAP maupun di dalam KUHP, karena KUHAP hanya mengatur mengenai penghentian penuntutan, bukan mengesampingkan perkara. Sebagaimana ditegaskan di dalam Penjelasan Pasal 77 KUHAP yang menegaskan bahwa yang dimaksud dengan “penghentian penuntutan” tidak termasuk penyampingan perkara untuk kepentingan umum yang menjadi wewenang Jaksa Agung. Deponir diatur dalam Pasal 35 huruf c Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.
Pada Pasal 2 huruf d KUHAP tersebut terdapat kalimat “………………atau peraturan perundang-undangan lain yang bersifat hukum pidana.”
Yang menjadi pertanyaan adalah apakah Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI merupakan suatu peraturan perundang-undangan yang bersifat hukum pidana? Apa yang dimaksud dengan “bersifat hukum pidana”?
Sebelum dibahas lebih jauh, maka mari kita telaah terlebih dahulu pengertian dari “bersifat hukum pidana”. Sehingga akan menjadi 3 (tiga) suku kata, yaitu bersifat, hukum, dan pidana.
Berkaitan dengan istilah “Pidana” Para ahli hukum memberikan definisi yang berbeda dari sisi redaksional namun pada dasarnya memiliki kesamaan.
Pidana berasal dari kata straf (Belanda), yang pada dasarnya dapat dikatakan sebagai suatu penderitaan (nestapa) yang sengaja dikenakan/dijatuhkan kepada seseorang yang telah terbukti bersalah melakukan suatu tindak pidana.
Menurut Sudarto bahwa pidana adalah penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu.
Menurut Satochid Kartanegara, bahwa hukuman (pidana) itu bersifat siksaan atau penderitaan, yang oleh undang-undang hukum pidana diberikan kepada seseorang yang melanggar sesuatu norma yang ditentukan oleh undang-undang hukum pidana, dan siksaan atau penderitaan itu dengan keputusan hakim dijatuhkan terhadap diri orang yang dipersalahkan itu.
Dari uraian-uraian tersebut, maka istilah “Pidana” disetarakan dengan istilah hukuman atau sanksi yang dijatuhkan kepada seseorang berdasarkan hukum pidana.
Kemudian, apa yang dimaksud dengan “Hukum Pidana” itu sendiri?
Menurut Prof. Pompe, bahwa yang dimaksud dengan “Hukum Pidana” adalah kesemuanya perintah-perintah dan larangan-larangan yang diadakan oleh negara dan yang diancam dengan suatu nestapa (pidana) barangsiapa yang tidak mentaatinya, kesemuanya aturan-aturan yang menentukan syarat-syarat bagi akibat hukum itu dan kesemuanya aturan-aturan untuk mengadakan (menjatuhi) dan menjalankan pidana tersebut.
Dan menurut Prof. Van Hamel adalah bahwa yang dimaksud dengan Hukum Pidana adalah adalah semua dasar-dasar dan aturan-aturan yang dianut oleh suatu negara dalam menyelenggarakan ketertiban hukum (rechtsorde) yaitu dengan melarang apa yang bertentangan  hukum dan mengenakan suatu nestapa kepada yang melanggar larangan-larangan tersebut.
Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa Hukum pidana adalah hukum yang mengatur kepentingan dan hubungan perseorangan dengan negara. Dengan kata lain hukum pidana ialah hukum yang mengatur hubungan antara warganegara dengan negara. Hukum pidana di Indonesia dikodifikasikan dalam buku KUHPidana (Kitab Undang-undang Hukum Pidana).
Dan terakhir adalah kata “bersifat”. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia kata “bersifat” mengandung makna “mempunyai sifat”, sedangkan kata “sifat” itu sendiri bermakna “rupa dan keadaan yang tampak pada suatu benda”. Kata benda dapat dimaknai sebagai Undang-undang.
Berdasarkan uraian makna diatas, maka makna dari “bersifat hukum pidana” menurut Penulis adalah suatu undang-undang haruslah mempunyai sifat yang mengandung perintah-perintah dan larangan-larangan yang diadakan oleh negara dan yang diancam dengan suatu nestapa (pidana) barangsiapa yang tidak mentaatinya, kesemuanya aturan-aturan yang menentukan syarat-syarat bagi akibat hukum itu dan kesemuanya aturan-aturan untuk mengadakan (menjatuhi) dan menjalankan pidana tersebut.
Berdasarkan penjelasannya tersebut, maka yang dapat dikatakan “bersifat hukum pidana” adalah Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) sedangkan KUHAP tidak dapat disebut sebagai memiliki “bersifat hukum pidana”, karena KUHAP merupakan Hukum Pidana Formil.
Artinya di dalam KUHAP tidak ada perintah atau larangan yang menyebabkan seseorang bila melanggarnya akan dikenakan pidana, namun KUHAP berisikan tata cara atau prosedur tetap (Protap) menjalankan sistem peradilan pidana dan bukan untuk mempertahankan Hukum Pidana Materiil.
Bagaimana dengan UU Kejaksaan RI, apakah dapat disebut “bersifat hukum pidana”?? Bila kita teliti UU Kejaksaan RI, maka secara umum dapat kita lihat sebagai pengaturan internal administrasi lembaga Kejaksaan, tidak satupun memuat pasal atau ketentuan yang mengindentifikasikan bahwa UU Kejaksaan RI mengandung unsur pidana dan memang secara nyata tidak ada pasal-pasal yang memuat ancaman pidana. Sehingga menurut Penulis, Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI tidak bersifat hukum pidana.
Hal tersebut ditegaskan di dalam Penjelasan Umum UU Kejaksaan yang menegaskan sebagai berikut:
“Pembaharuan Undang-Undang tentang Kejaksaan Republik Indonesia tersebut dimaksudkan untuk lebih memantapkan kedudukan dan peran Kejaksaan Republik Indonesia sebagai lembaga negara pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan harus bebas dari pengaruh kekuasaan pihak mana pun, yakni yang dilaksanakan secara merdeka terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh kekuasaan lainnya.
Dalam melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenangnya, Kejaksaan Republik Indonesia sebagai lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan harus mampu mewujudkan kepastian hukum, ketertiban hukum, keadilan dan kebenaran berdasarkan hukum dan mengindahkan norma-norma keagamaan, kesopanan, dan kesusilaan, serta wajib menggali nilai-nilai kemanusiaan, hukum, dan keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Jelas sekali disebutkan diatas, bahwa UU Kejaksaan adalah lembaga negara pemerintahan, sehingga isi dan konteks yang termuat di dalam UU Kejaksaan adalah bersifat khusus dan bukan umum. UU Kejaksaan hanya ditujukan dan diperuntukan bagi Korps Kejaksaan sendiri. Apakah UU Kejaksaan tidak bersinggungan dengan warganegara?? Iya bersinggungan, namun tidak mengikat warganegara untuk mematuhi UU Kejaksaan, melainkan Anggota Kejaksaan yang wajib mematuhi UU Kejaksaan. Sedangkan pengertian Hukum Pidana sebagaimana disebutkan diatas maka obyeknya adalah hubungan antara warganegara dengan negara.
Sebagai organ negara, Kejaksaan bertindak untuk dan atas nama negara. Sedangkan sebagai administrasi negara, Kejaksaan dapat bertindak baik di lapangan pengaturan (regelen) maupun dalam lapangan pelayanan (bestuuren).
Menurut S. Prajudi Atmosudirdjo, Birokrasi (Bureaucracy) atau Administrasi Negara atau Tata Usaha Negara (TUN) meliputi tiga hal, yaitu:
a.              Aparatur negara, aparatur pemerintah, atau institusi politik (kenegaraan);
b.             Fungsi atau aktivitas melayani atau sebagai kegiatan pemerintah operasional; dan
c.              Proses teknis penyelenggaraan undang-undang.
Ketiga unsur tersebut dapat diwujudkan dalam kenyataan melalui aktivitas pejabat birokrasi atau “aparatur negara yang menjalankan tugas administrasi melalui pengambilan keputusan-keputusan administratif (administratieve beschikking) yang bersifat individual, kasual, faktual, teknis penyelenggaraan, dan tindakan administratif, yang bersifat organisasional, manajerial, informasional atau operasional. Keputusan maupun tindakan pejabat birokrasi itu dapat dilawan melalui berbagai bentuk peradilan administrasi negara”.
Berangkat dari logika tersebut, Penulis sependapat dengan adanya pendapat bahwa keputusan Deponeer dapat di gugat melalui Peradilan Tata Usaha Negara.
Hanya saja hingga saat ini, melakukan hal demikian merupakan tantangan berat bagi penegakan hukum, karena sepanjang sepengetahuan Penulis belum pernah ada yang melakukannya. Dan salah satu cara yang aman dan sederhana adalah melakukan judcial review terhadap Pasal 35 huruf c UU Kejaksaan RI.

No comments:

Post a Comment