Tuesday, December 7, 2010

PERANAN KOMISI PENYIARAN INDONESIA DALAM PENEGAKAN HUKUM PENYIARAN DI INDONESIA

Oleh:
Rocky Marbun, S.H., M.H
A. Pendahuluan
Perkembangan industri media informasi pada zaman sekarang ini di era reformasi dan demokrasi dengan sangat cepat dan pesat sekali. Bahkan terkesan tidak terkontrol dengan baik dan serius oleh para penegak hukum.
Media cetak maupun elektronik merupakan media massa yang paling banyak digunakan oleh masyarakat di berbagai lapisan sosial, terutama di masyarakat kota. Oleh karena itu, maka media massa sering digunakan sebagai alat mentransfomasikan informasi dari dua arah, yaitu dari media massa kearah masyarakat atau di antara masyarakat itu sendiri.


Sebagaimana sifat media informasi, maka media massa selain mengandung nilai manfaat sebagai alat transformasi, namun juga sering tidak sengaja menjadi media informasi yang ampuh menebarkan nilai-nilai baru yang tidak diharapkan masyarakat itu sendiri.
Untuk meningkatkan daya saing suatu media massa, maka tak jarang media massa menggunakan berita atau gambar erotika dan/atau porno bahkan menampilkan kekerasan baik berbentuk kekerasan fisik maupun kekerasan psikis sebagai daya tarik media tersebut. Berita erotika atau porno yang dimasud adalah pemberitaan baik artikel, gambar atau film yang mengandung makna erotika atau porno.
Maraknya media massa yang bermuncullan khususnya media penyiaran bak cendawan di musim hujan merupakan wujud dari kebebasan berekspresi yang sedang diagung-agungkan oleh seluruh pihak. Namun pada kenyataannya, sejalan dengan pesatnya pertumbuhan media penyiaran sehingga kebebasan berekspresi justru mengalami degradasi atau penurunan kontrol sosial baik oleh pemerintah maupun oleh masyarakat sendiri sehingga mengakibatkan terjadinya dekadensi moral yang struktural.
Bahwa kemerdekaan menyatakan pendapat, menyampaikan, dan memperoleh informasi, bersumber dari kedaulatan rakyat dan merupakan hak asasi manusia dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang demokratis. Dengan demikian, kemerdekaan atau kebebasan dalam penyiaran harus dijamin oleh negara. Dalam kaitan ini Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengakui, menjamin dan melindungi hal tersebut. Namun, sesuai dengan cita-cita Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, maka kemerdekaan tersebut harus bermanfaat bagi upaya bangsa Indonesia dalam menjaga integrasi nasional, menegakkan nilai-nilai agama, kebenaran, keadilan, moral, dan tata susila, serta memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Dalam hal ini kebebasan harus dilaksanakan secara bertanggung jawab, selaras dan seimbang antara kebebasan dan kesetaraan menggunakan hak berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Perkembangan teknologi komunikasi dan informasi telah melahirkan masyarakat informasi yang makin besar tuntutannya akan hak untuk mengetahui dan hak untuk mendapatkan informasi. Informasi telah menjadi kebutuhan pokok bagi masyarakat dan telah menjadi komoditas penting dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Namun yang menjadi sangat ironis adalah ketika perangkat hukum di Indonesia baik peraturan perundang-undangannya maupun penegak hukumnya seperti tidak mempunyai batasan yang jelas tentang apa yang di maksud dengan penayangan program-program penyiaran yang mengandung unsur-unsur kesusilaan dan kekerasan tersebut, karena semua opini dibangun berdasarkan pandangan yang subyektif. Sehingga terjadi perdebatan sengit di masyarakat dan kerancuan dalam pola pikir.
Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sebagai sebuah lembaga independen yang pembentukkannya merupakan amanah Undang-undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang penyiaran berkewajiban untuk mengawal dan menjaga tujuan dari dibentuknya Undang-undang tersebut.
Sebagaimana di sebutkan dalam Pasal 2 yang menegaskan bahwa Penyiaran diselenggarakan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dengan asas manfaat, adil dan merata, kepastian hukum, keamanan, keberagaman, kemitraan, etika, kemandirian, kebebasan, dan tanggung jawab.
Dan dalam Pasal 3 yang menyebutkan bahwa Penyiaran diselenggarakan dengan tujuan untuk memperkukuh integrasi nasional, terbinanya watak dan jati diri bangsa yang beriman dan bertakwa, mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan umum, dalam rangka membangun masyarakat yang mandiri, demokratis, adil  dan sejahtera, serta menumbuhkan industri penyiaran Indonesia.
Serta ditegaskan pula di dalam Pasal 4 bahwa Penyiaran sebagai kegiatan komunikasi massa mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan yang sehat, kontrol dan perekat sosial serta mempunyai fungsi ekonomi dan kebudayaan.
B. Identifikasi Masalah
1.             Perkembangan tekhnologi memicu perkembangan media massa hingga dapat dijangkau oleh seluruh lapisan masyarakat.
2.             Media massa sebagai media transformasi nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakat.
3.             Pergesekan antar budaya melalui media massa merubah nilai dan norma yang hidup di dalam masyarakat.
4.             Norma kesusilaan, dalam perkembangannya pun mengalami perubahan definisi dan penggunaannya.
5.             Indonesia sebagai negara yang memiliki 5 (lima) agama dan 1 (satu) kepercayaan yang diakui, diharapkan mampu menjaga nilai dan norma yang hidup di dalam masyarakat

C. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas, maka penulis menemukan permasalahan yang mendasar, yaitu Bagaimanakah kewenangan KPI dalam melakukan penegakan hukum terhadap lembaga penyiaran yang melanggar UU No 32 Tahun 2002.

D. Maksud dan Tujuan Pembentukan Komisi Penyiaran Indonesia
Sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 8 ayat (3) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, menegaskan bahwa Komisi Penyiaran Indonesia mempunyai tugas dan kewajiban sebagai berikut:
a.             menjamin masyarakat untuk memperoleh informasi yang layak dan benar sesuai dengan hak asasi manusia;
b.             ikut membantu pengaturan infrastruktur bidang penyiaran;
c.             ikut membangun iklim persaingan yang sehat antarlembaga penyiaran dan industri terkait;
d.             memelihara tatanan informasi nasional yang adil, merata, dan seimbang;
e.             menampung, meneliti, dan menindaklanjuti aduan, sanggahan, serta kritik dan apresiasi masyarakat terhadap penyelenggaraan penyiaran; dan
f.               menyusun perencanaan pengembangan sumber daya manusia yang menjamin profesionalitas di bidang penyiaran.
Melihat ketentuan dalam ketentuan tersebut, maka KPI berkewajiban melakukan pengawasan dan mengontrol program-program dari semua lembaga penyiaran. Disamping itu, Undang-undang meberikan kebebasan seluas-luas bagi peranan masyarakat untuk melakukan pemantauan terhadap program-program penyiaran yang ada.
Hal tersebut di dukung dengan proses pemiliham anggota KPI yang mendapat dukungan dari masyarakat, sehingga diharapkan para anggota KPI mampu menyelami dan memahami kondisi sosial di masyarakat.
E. Komisi Penyiaran Indoensia Sebagai Lembaga Extra Yudisial
Keberadaan KPI adalah bagian dari wujud peran serta masyarakat dalam hal penyiaran, baik sebagai wadah aspirasi maupun mewakili kepentingan masyarakat. Yang menarik adalah kedudukan lembaga KPI baik dari sisi Hukum amupun politik, dimana KPI diposisi dan didudukkan sebagai lembaga kuasi negara atau auxilarry state institution. Posisi tersebut menyetarakan posisi KPI dengan lembaga-lembaga lainnya seperti KPK, Lembaga Arbitrase, BPSK, ataupun KPPU.
Dalam rangka menjalankan fungsinya KPI memiliki kewenangan menyusun dan mengawasi berbagai peraturan penyiaran yang menghubungkan antara lembaga penyiaran, pemerintah dan masyarakat. Pengaturan ini mencakup semua daur proses kegiatan penyiaran, mulai dari tahap pendirian, operasionalisasi, pertanggungjawaban dan evaluasi. Dalam melakukan kesemua ini, KPI berkoordinasi dengan pemerintah dan lembaga negara lainnya, karena spektrum pengaturannya yang saling berkaitan. Ini misalnya terkait dengan kewenangan yudisial dan yustisial karena terjadinya pelanggaran yang oleh UU Penyiaran dikategorikan sebagai tindak pidana. Selain itu, KPI juga berhubungan dengan masyarakat dalam menampung dan menindaklanjuti segenap bentuk apresiasi masyarakat terhadap lembaga penyiaran maupun terhadap dunia penyiaran pada umumnya.
Dengan demikian KPI berhak mengeluarkan sebuah pengaturan yang berkaitan dengan kegiatan penyiaran sebagaimana ditegaskan dalam Undang-undang Penyiaran bahwa KPI berhak mengeluarkan Strandar Program Penyiaran dan Pedoman Perilaku Penyiaran.
Dimana disebutkan bahwa Standar Program Siaran adalah merupakan panduan tentang batasan-batasan apa yang boleh dan tidak boleh dalam penayangan program siaran. Sedangkan Pedoman Perilaku Penyiaran adalah ketentuan-ketentuan bagi Lembaga Penyiaran yang ditetapkan oleh Komisi Penyiaran Indonesia untuk menyelenggarakan dan mengawasi sistem penyiaran nasional Indonesia.
Maka di simpulkan bahwa Standar Program siaran ditujuakn terhadap materi-materi dari program yang akan ditayangkan atau disiarkan oleh Lembaga Penyiaran. Sedangkan Pedoman Perilaku Penyiaran lebih menitikberatkan pada pedoman perilaku secara administratif kepada Lembaga-lembaga Penyiaran.
Yang kemudian menjadi persoalan adalah bahwa seringkali lembaga-lembag penyiaran tersebut beberapa diantaranya sering mendapat teguran karena menyiarkan suatu program yang telah diberikan batasan-batasannya melalui Standar Program Siaran.
Di dalam kedua pengaturan KPI tersebut terdapat ketentuan yang sama, yaitu penghormatan terhadap nilai-nilai social, norma yang hidup dan norma-norma agama yang ada di Indonesia.
Bahkan pelanggaran terhadap norma tersebut merupakan suatu tindak pidana, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 36  UU Penyiaran, yang menyebutkan sebagai berikut:
1.             Isi siaran wajib mengandung informasi, pendidikan, hiburan, dan manfaat untuk pembentukan intelektualitas, watak, moral, kemajuan, kekuatan bangsa, menjaga persatuan dan kesatuan, serta mengamalkan nilai-nilai agama dan budaya Indonesia.
2.             Isi siaran dari jasa penyiaran televisi, yang diselenggarakan oleh Lembaga Penyiaran Swasta dan Lembaga Penyiaran Publik, wajib memuat sekurang-kurangnya 60% (enam puluh per seratus) mata acara yang berasal dari dalam negeri.
3.             Isi siaran wajib memberikan perlindungan dan pemberdayaan kepada khalayak khusus, yaitu anak-anak dan remaja, dengan menyiarkan mata acara pada waktu yang tepat, dan lembaga penyiaran wajib mencantumkan dan/atau menyebutkan klasifikasi khalayak sesuai dengan isi siaran.
4.             Isi siaran wajib dijaga netralitasnya dan tidak boleh mengutamakan kepentingan golongan tertentu.
5.             Isi siaran dilarang :
a.             bersifat fitnah, menghasut, menyesatkan dan/atau bohong;
b.             menonjolkan unsur kekerasan, cabul, perjudian, penyalah-gunaan narkotika dan obat terlarang; atau
c.             mempertentangkan suku, agama, ras, dan antargolongan.
6.             Isi siaran dilarang memperolokkan, merendahkan, melecehkan dan/atau mengabaikan nilai-nilai agama, martabat manusia Indonesia, atau merusak hubungan internasional
Dimana dalam  Pasal 57 UU Penyiaran pelanggaran terhadap ketentuan tersebut diancam pidana selama 5 (lima) tahun dan pidana denda sebanyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar  rupiah).
Dalam memberikan sanksi pidana maka KPI berkewajiban berkoordinasi dengan lembaga penegak hukum lainnya. Yang kemudian menjadi permasalahan adalah kewenangan dalam menjatuhkan sanksi administratif.
Bahwa sebagai lembaga quasi negara, seharunya KPI memiliki kewenangan mengeluarkan keputusan layaknya lembaga extra yudisial lainnya, seperti lembaga arbitrase, KPPU, ataupun BPSK. Sehingga untuk menjatuhkan sanksi secara administratif bila melihat ketentuan undang-undang tersebut KPI harus melalui Pengadilan Perdata terutama yang menyangkut hajat hidup orang banyak seperti pencabutan izin penyelenggara penyiaran.
F. Kesimpulan Dan Saran
1) Kesimpulan
Sebagai wujud dari bentuk peranan hukum KPI, maka KPI memiliki kelemahan dalam melakukan penegakan hukum, khususnya dalam penerapan sanksi administratif.
Bahwa menurut penulis, KPI tidak berhak menjatuhkan sanksi administratif khususnya pencabutan izin. Karena UU tidak memberikan kewenangan hal tersebut kepada KPI. Namun seharusnya melalui Lembaga Peradilan.
Dalam hal adanya dugaan tindak pidana, KPI juga tidak memiliki kewenangan untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan secara mandiri dan independen sebagaimana dimiliki oleh lembaga KPK.
KPI hanya memberikan laporan adanya dugaan tindak pidana kepada pihak yang berwajib, sehingga akan menambah panjang proses hukum yang berlangsung.
Dari sisi penyelenggaraan penyiaran, terbukti masih banyak nya program-program yang tidak sesuai dengan Standar Program Siaran dan Pedoman Perilaku Penyiaran, ini membuktikan bahwa kurangnya sosialisasi dan pembekalan terhadap pelaku-pelaku penyiaran.
2) Saran
a)             Melakuan sosialisasi yang komprehensif terhadap pelaku penyiaran
b)            Mengajukan amandemen UU No 32 Tahun 2002 dalam hal penambahan kewenangan secara yudisial

No comments:

Post a Comment